Pagi hari itu kembali disesaki udara dingin. Sang baskara seakan enggan menampakkan diri, sedang angin dari selatan berhembus menerbangkan gorden-gorden yang menutupi setiap jendela. Dingin hawanya membuat Biru meremang. Seingatnya musim hujan telah berakhir, tapi ternyata pagi ini alam memberi pertanda, seperti akan terjadi badai hari ini.
Sejak sepuluh menit yang lalu Biru duduk sendiri di meja makan. Ia selesai menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Gilang, tapi anak itu belum juga terlihat penampakannya.
Cowok itu tersenyum geli saat mengingat kejadian absurd yang kembali mempertemukan dirinya dengan Naomi, teman dekatnya di kantor. Gadis polos dengan lesung pipi yang terlukis manis di kedua pipinya jala tersenyum. Namun, sayangnya, perasaan mereka satu sama lain harus sama-sama dipendam karena satu dan lain hal.
Mulai bosan, Biru akhirnya bersenandung kecil sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja, menciptakan nada teratur yang lumayan enak didengar. Sampai akhirnya ia mengintip jam di ponselnya. Pukul 07.15. Ini sudah terlalu siang. Tak mau menunggu terlalu lama lagi, ia akhirnya beranjak untuk menghampiri Gilang di kamar.
Biru mengetuk beberapa kali, "Gem, sarapan!" Pemuda itu sedikit meninggikan suaranya. Namun, tak ada jawaban.
Ia lantas membuka pintu itu dengan sekali dorongan. Penampakan ranjang yang berantakan adalah hal pertama yang Biru saksikan ketika pintu kayu itu terbuka lebar. Sprei berwarna hijau tua yang menutupi ranhang juga telah terjun bebas ke lantai, sedang selimutnya bergelung tak karuan di atas kasur. Dan si pemilik tampak meringkuk di sudut ruangan.
"Gem?" Biru lantas menghampiri. Batinnya menangkap bahwa ada yang tidak beres di sini.
Anak itu duduk meringkuk sambil menekuk lutut. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutup kedua telinga, sedang matanya ia paksakan terpejam. Pemandangan lain yang menambah keterkejutan Biru ialah ... darah yang mengucur deras dari hidung adiknya. Serta bercak darah yang sudah membasahi hampir sekujur dada hingga perutnya membuat Biru mulai menerka-nerka ─sudah berapa lama anak itu mimisan?
"Astaga!" Biru segera berhambur untuk membersihkan darah di hidung adiknya itu. Namun anak itu masih diam di tempatnya, seakan tidak terusik oleh keberadaan sang kakak. Bibirnya tampak begitu pucat, memberikan tanda akan seberapa banyak darah yang telah tubuh anak itu keluarkan.
Tanpa banyak bicara, Biru langsung berhambur memeluk sang adik. Tak peduli jika darah Gilang akan mengotori pakaiannya, yang jelas, untuk sekarang Biru hanya ingin adiknya tenang.
Awalnya Gilang sama sekali tidak membalas pelukan, tapi lama-kelamaan ketika perasaan nyaman itu tersalurkan, remaja yang hampir menuju 17 tahun itu akhirnya membalas peluk sang kakak meski dengan tangan gemetar.
Mungkin karena kehabisan banyak darah, Gilang akhirnya pingsan.
───
Biru kembali masuk ke kamar adiknya yang ia tinggal beberapa saat yang lalu, sambil membawa segelas air putih di tangannya. Dilihatnya Gilang masih tidur terlentang dengan tenang. Bajunya sudah diganti, tapi seiring siang telah beranjak, mata Gilang yang terpejam sangat jelas menampakkan sembabnya. Mungkinkah anak itu menangis serta ketakutan sejak malam?
Pemuda itu lantas mendekat, duduk di tepian ranjang sambil menaruh punggung tangannya di kening Gilang. Tidak panas, tapi dingin sekali. Mata anak itu juga terpejam tanpa terusik.
Entah berapa kali dalam beberapa hari ini Biru selalu menaruh jarinya di bawah hidung Gilang kala anak itu tertidur. Pemuda itu mendesah lega saat masih menemukan deru napas menyapu permukaan kulit jari telunjuknya. Beberapa hari belakangan ini, rasa takut selalu mengganggunya. Biru bahkan sering terbangun di tengah malam dan datang ke kamar adiknya hanya untuk memastikan anak itu masih bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Fiksi Remaja"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether