25. Perasaan Bersalah.

766 84 7
                                    

"Lo kenapa lagi?"

Sesorean itu Gilang habiskan dengan bungkam sambil mematut lantai. Pertama kali dalam hidupnya melihat Jaka sedingin dan semarah itu. Penyebabnya ialah keributan yang Gilang ciptakan saat menghancurkan gitarnya terdengar hingga ke lantai bawah. Situasi di rumah itu sedang kedatangan teman-teman sekelas dan wali kelas mereka. Perbuatan Gilang membuat mereka takut dan berakhir satu persatu dari mereka undur diri hingga yang tersisa kini hanya Jaka dan Shabin.




"Gue gak tau apa yang bikin lo diem gak mau ngomong, tapi bisa gak lo ngehargain mereka yang udah nyempetin dateng ke sini cuma buat nengokin lo?" Nada bicaranya begitu tegas, Gilang tahu Jaka benar-benar marah dan mungkin ... kecewa.


"Lang, ngomong! Gak punya mulut lo?"



"Jek, udah." Shabin yang menyadari situasi yang semakin tak terkendali berusaha melerai, tapi Jaka masih teguh di atas angin kemarahannya.

"Gue yang bawa gitar itu ke depan kamar lo, Ayah lo ngasih itu ke gue. Gak tau beliau kesambet setan mana tapi gue tau Meru bisa jadi penyemangat lo. Dan apa yang lo lakuin ke dia? Lo hancurin. Sebenernya mau lo apa sih Lang?"

Sekarang, udara sekitar jadi begitu mencekam. Gilang yang menyadari kesalahannya hanya mampu tertunduk sambil menatap gusar jari-jari tangan. Sedang Shabin menatap Gilang dan Jaka bergantian dengan hati cemas. Bisa saja Gilang kumat karena Jaka yang terkendali begini.

Gilang tahu ia salah. Dirinya bahkan merasa menyesal sudah melakukan hal seburuk itu pada Meru. Ia pun tak mengerti apa yang ada di pikiran hingga kalap menghantam gitar tak bersalah itu dengan kursi.



'Ini orang bacot banget!'



Gilang lantas meremat kepalanya sambil mendesis pelan, mencoba abai oleh bisikan-bisikan yang mulai berdatangan.


"Gue tau gue salah ... gue minta maaf," ujar Gilang lirih.

"Lo minta maaf ke siapa? Gue?" Jaka menarik sudut bibirnya ke atas, tertawa sinis. "Minta maaf sama abang lo."




'Dia nyalahin kamu, Gilang!'

'Mending kamu pukul wajahnya!'

'Pukul!'





Gilang meremat kepalanya saat lagi-lagi suara menyebalkan itu memerintahnya ini dan itu. Melihat gelagat sang teman yang semakin aneh, Shabin lantas berdiri dan mendekat ke sisi Gilang. "Jek, udah. Lo ngapain, sih? Nanti dia kumat gimana?" tegurnya setengah panik.



"Lo gak kasihan sama abang lo?"

"Abang─" Gilang ingin menyangkal, tapi disaat bersamaan, otaknya seakan diingatkan tentang hal-hal yang membuat Biru menjadi kesal atau marah. Kakaknya selalu mengusahakan yang terbaik agar ia sembuh, tapi yang Gilang lakukan selalu membuat pemuda itu susah. Mulai dari melukai diri sendiri, sampai percobaan bunuh diri. Maka , semua kalimat yang ingin Gilang lontar pada akhirnya kembali ia telan. Binar di sepasang iris gelapnya pun memudar saat Jaka kembali menuturkan kalimatnya dengan penuh penekanan.

"Lo gak kasihan lihat Bang Abi yang kerja banting tulang buat lo. Habisin masa mudanya cuma buat ngurusin lo keluar masuk rumah sakit. Dia bahkan rela ngelawan bokap lo cuma biarin lo tetap waras. Dia lakuin semuanya buat lo tapi lo selalu ngecewain dia."

Gilang dibuat bungkam, kalimat Jaka benar-benar menohoknya. Cowok itu sadar kalau selama ini ia sering kekanakan, ingin selalu diberi pengertian, tapi tak ingin memberi pengertian. Gilang tahu belakangan Biru tertekan oleh pekerjaan dan ... mengurusinya. Gilang juga tahu kakaknya sedang banyak pikiran hingga berujung pada pola makan yang berantakan. Gilang mengenal kakaknya lebih dari siapapun, ia tahu Biru merasa kesulitan walau tidak mengungkapkan. Tapi mengapa Gilang selalu membuat pemuda itu susah?

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang