24. Diam dan Luka.

863 94 12
                                    

Dokter Saga telah membicarakan perihal operasi dengannya. Dan direncanakan esok hari Gilang sudah bisa kembali ke rumah sambil menunggu informasi pendonor yang cocok.


Biru benar-benar kaget. Malam-malam sekembalinya dari ruangan Saga, tau-tau adiknya sudah dalam keadaan kacau. Lagi.

Hawa ruang rawat itu berubah menjadi sekelam teluk. Biru terlihat sangat fustasi, mungkin setelah ditimbun banyak masalah perihal keuangan serta pendonor sum-sum tulang yang belum juga ditemukan untuk Gilang. Ditambah lagi fakta bahwa hati adiknya juga memiliki masalah yang cukup membuat kepalanya pusing lima belas keliling.







"Ikut gue!"

Tak perduli oleh fakta bahwa Gita tak mampu menyamai langkah kakinya yang sangat cepat, Biru menggenggam tangan gadis itu sambil menyeretnya menuju sebuah lorong rumah sakit yang cukup sepi dengan penerangan seadanya.

"Apa itu tadi?" Tanya Biru pada akhirnya, lidahnya sempat kelu. Merasa semua usahanya untuk kesembuhan Gilang akan berujung sia-sia karena perbuatan adik perempuannya sendiri.

Jantung Biru kembali terasa jatuh saat melihat Gita mulai menjatuhkan air mata. Lorong sepi dengan cahaya remang itu terasa semakin mencekam diingi suara tangis Gita yang tertahan.

Tangan Biru mengepal. Sungguh dirinya tak sekali pun berniat meninggikan suara kepada adik perempuan satu-satunya itu. Tapi, sikap dan perilaku Gita yang selalu kelewat batas selalu menguji kesabaran Biru. Apakah kehilangan kemampuan berjalan normal tak sanggup menahan gadis itu untuk berhenti mengganggu Gilang?

"Kenapa nangis? Setelah melakukan hal jahat selalu nangis, kenapa? Biar orang-orang kasihan? Biar orang-orang berpihak ke lo? Iya?"

Perlahan Gita mengangkat pandangan. Netra kembar kecoklatan tampak berbinar oleh air mata yang menggenang. "Apa, sih, hebatnya si penyakitan itu sampai-sampai Abang peduli banget ke dia? Abang aja gak pernah jengukin aku waktu kakiku patah. Abang gak pernah nanyain kabar aku. Kenapa 'sih sepeduli itu ke dia? Kerjaan dia itu cuma nyusahin, pembawa sial! Kalau bukan karena dia Ibu─"

"Jangan pernah lagi ungkit-ungkit soal Ibu!" Tanpa sadar Biru menaikkan nada bicaranya. "Itu semua takdir. Lo dan semua orang gak bisa nyalahin dia karena udah lahir! Dia bahkan gak minta dilahirin kalau taruhannya itu nyawa Ibu kita. Harus berapa kali lagi gue nasihatin lo supaya bersikap baik ke Gilang? Dia adik kita, Gita."

"Aku gak peduli!"

Gita menutupi wajahnya dengan telapak tangan saat air matanya tak dapat lagi ia bendung, diiringi oleh tangis hujan yang seakan mendukung untuk menangis lebih keras.

Biru tak habis pikir, bukannya tak peduli, tapi rasa-rasanya seakan tak pantas jika Gita menangis disaat dirinya-lah yang bersalah.

"Udah, gak usah nangis."

Biru membuang napas kasar kemudian mendekat dan memeluk adiknya erat, mengusap puncak kepala Gita dengan sayang guna menenangkan. Pelukan itu berlangsung cukup lama, Biru melepaskannya saat tangis gadis itu mulai mereda.

"Kita gak pernah meminta dilahirkan dalam keadaan ini, lalu kenapa kita harus saling melempar genderang perang?" Biru mengusap air mata Gita dengan ibu jari saat isakan gadis itu masih terdengar menyakitkan di telinga Biru.

Kalau boleh jujur, Biru tidak pernah berniat memilih satu diantara kedua adiknya, bagi pemuda itu keduanya sama-sama adiknya yang manis. Namun ada satu dan lain hal yang membuat Biru sering marah sebab perbuatan tak terpuji sang gadis lakukan terhadap adik bungsu mereka.

"Gilang itu adik kita."



"Gue gak sudi punya adik kayak dia!"

Biru kira dengan menangis mampu membuat gadis itu berpikir dengan lebih lembut, namun ternyata tak ada yang berubah. Keras kepada yang ada pada Gita tak bisa dilunakkan. Entah dengan cara apa lagi Biru meyakinkan gadis itu bahwa apa yang sudah ia lakukan itu salah.

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang