9. Alasan Untuk Tinggal

1K 128 6
                                    

Entah sejak kapan suara detik konstan jarum jam terasa menyesakkan. Udara serempak hilang, yang tersisa hanya siksa dalam setiap helaan napas yang melebur di tengah keheningan.

Dean melihat sendiri bagaimana Gilang berteriak, menggila, memaki semua orang yang menahan ketika cowok itu berulang kali ingin menusuk gendang telinganya menggunakan pisau buah. Benda tajam yang sempat ia raih di atas meja sesaat setelah bunda mengatakan bahwa ia ingin anak itu menghilang.

Dean tak mengerti semua ini. Rasa-rasanya ia sadar bahwa semua yang ia dan keluarganya lakukan terhadap Gilang sudah sangat keterlaluan. Ia bisa menerima jika hanya Gita yang terluka. Namun kenyataannya, mereka jatuh bersama, terluka bersama. Tapi, ketidakadilan itu tetap berpihak pada Gilang.

Seketika pikiran Dean ditarik ke belakang. Saat ia dengan jelas melihat Gilang jatuh. Dunia anak itu seketika dihentikan.

Dean benci mengingatnya, tapi, ia harus mengakui bahwa dirinya turut andil atas gangguan psikis yang Gilang derita. Jika saja saat itu ia mau mengalah dan tak menyebar berita bohong dan berakhir dengan terenggutnya satu nyawa kala itu, mungkin Gilang masih baik-baik saja.

Namun, apa yang lebih besar dari sebuah egoisme? Ditengah Gilang yang masih berjuang melawan sakitnya, diam-diam Dean juga merasa lega. Setidaknya, dengan ini Gilang tak lagi mengotot ingin mengikuti kompetisi itu. Meskipun anak itu bersikeras, ada Biru yang akan menentang kemauannya. Kalau begitu, ia tak perlu mengotori tangan untuk mengancam anak itu, lagi, bukan?






"Adek, kamu ngapain disini?"

Dean mendongak pada Leo yang baru datang. Berdiri di hadapannya dengan raut kebingungan. Segaris senyum menghiasi wajah lesunya kemudian.

"Nunggu Gilang, yah. Dia lagi diperiksa."

Pria yang masih lengkap dengan pakaian kerjanya itu mendesah pelan.

"Ngapain pake ditungguin? Mending temenin ayah sini, ayah gak tau kamarnya kakakmu dimana. "

Merasa heran? Tentu tidak. Justru ketidak pedulian Leo terhadap Gilang merupakan hal yang normal di keluarga ini.

"Ayah gak mau liat Gilang dulu? Dia muntah darah banyak banget tadi, yah."

Leo menggeleng pelan. "Nanti-nati aja, ayah mau liat kakak kamu dulu."

Pria itu meraih pergelangan tangan Dean untuk ditarik pergi. Jika itu Gilang, anak itu pasti akan memberontak dan bersikeras untuk tetap berada disini. Namun, ini Dean. Jangankan menolak, bahkan membentak kedua orang tuanya saja terbilang tak pernah.

Langkah pelan Dean akhirnya mengikuti sang ayah yang berjalan di sampingnya. Sambil mengobrol ringan, akhirnya mereka sampai di depan pintu rawat Gita yang tak jauh dari ruang IGD tempat Gilang ditangani.

Belum sempat kakinya melangkah masuk, suara ribut-ribut dari tempat Gilang tadi menyita perhatiannya kembali.

Cowok itu hanya mampu terpaku di tempatnya ketika Gilang menggila. Pintu kamar itu terbuka. Gilang tampak disana, berlari kencang menjauh bersamaan dengan darah yang berceceran mengotori koridor rumah sakit.

Ada rasa ingin mengejar dan merangkul Gilang kembali ke sisinya. Namun, ada sesuatu tak kasat mata yang menahannya disini. Hingga berakhirlah dengan terpakunya dia melihat bagaimana Gilang berlari disusul oleh beberapa perawat yang turut kepayahan menyamai langkahnya.

Di sisinya, masih ada Leo yang ikut menyaksikan drama itu. Gemelatuk gigi dan rahang yang menajam seolah bisa Dean rasakan tanpa perlu melihat. Laki-laki yang ia sebut ayah ini tak akan pernah tinggal diam jika nama baiknya dipermalukan.


REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang