14. Ucapan yang Sampai ke Langit

936 101 16
                                    

Bunga mawar itu merunduk ke bawah, hampir layu dimakan waktu. Gilang menurunkan bunga mawar ungu itu lalu membenahi batangnya, meskipun beberapa kali jemarinya tertusuk duri yang melekat pada batang si bunga.

Di halaman belakang, ada satu pot bunga mawar, selebihnya adalah sayuran. Entah sejak kapan Biru menjadi terobsesi dengan tumbuh-tumbuhan hijau tersebut, yang jelas, pemuda itu akan sibuk dengan tanaman-tanamannya jika akhir pekan telah menjelang.

Sambil terus berusaha, Gilang mencoba membuat bunga itu kembali menegakkan tangkainya. Namun, bunga mawar ungu itu terus tertunduk. Beberapa kali ia coba tegakkan lagi, tangkainya akan kembali tertunduk layu. Gilang menyerah. Ia takut jika terlalu dipaksakan, tangkai yang kecil itu akan patah.


"Gem."

Suara Biru yang datang dari arah pintu belakang berhasil meraih atensi Gilang. Hanya menoleh sebentar, kemudian kembali membuang pandang ke arah si bunga.

"Sarapan dulu."

Gilang mengangguk, tanpa niat menjawab, bangkit dan berjalan begitu saja melewati Biru.

"Habisin, ya. Setelah itu siap-siap, jam 8 kita berangkat."

Gilang menyendok suapan pertama dari nasi goreng yang Biru sodorkan, lalu mengangguk sebagai jawaban. Selanjutnya, kakak beradik itu sarapan dalam diam.

Ingatannya kembali ditarik pada kejadian semalam. Ketika Biru ia pergoki tengah memandang buku tabungan dengan kerutan di dahi. Dari situ, dapat Gilang simpulkan bahwa keuangan semakin menipis.

"Bang, kalau gue bilang mau berhenti, boleh, gak?"

Biru yang sedang menyuap santapan paginya lantar berhenti, dan menatap Gilang dengan bingung. Namun, laki-laki itu merespon dengan tawa kecil. "Apanya?"

"Berobat ... terapi."

Gilang tiba-tiba teringat pada hari setelah kejadian gelang palsu itu. Biru membelikan banyak buku bacaan, gitar, dan berbagai alat-alat lainnya. Pemuda 24 tahun itu juga memasang cctv di setiap sudut rumah termasuk di kamarnya. Jujur saja, Gilang tak suka diperlakukan begini. Seharusnya jika rasa khawatir itu memang nyata, Biru bisa saja mengirimnya kembali ke sekolah agar tidak terus-terusan melamun dalam kesendirian dan berakhir berhalusinasi lagi. Bukan malah mengungkungnya dalam pengawasan 24 jam.

"Gue mau berhenti transfusi darah, juga."

Cowok dengan kaus hitam polos itu mengangkat kepala. Gilang bisa merasakan bahwa kakaknya tersinggung, tapi pemuda itu tetap memasang ekspresi tenang. Tak lupa senyum setenang air danau itu terpatri. "Lo ngomong apa, sih?"

"Gue tau lo capek, jangan nyerah, dong. Dua bulan lagi lo udah bisa operasi, sabar, ya."

Jantung Gilang seakan diremas kuat. Ia sungguh tak tahan jika terus-menerus membebani kakaknya. Biru sudah sepantasnya memikirkan untuk mencari pendamping hidup dan memikirkan masa depan. Jika Gilang terus menjadi prioritasnya, pemuda itu akan menjadi kolot dan bertransformasi menjadi bujang lapuk. Maka dari itu, setelah percakapan berakhir, Gilang memilih bungkam.








---







"Masih sakit?" Suara Biru detik itu membawa Gilang dari pekat yang menjebak. Seketika cowok itu menyentuh lututnya yang sudah tertempel plester luka dan menggeleng singkat.

"Lain kali, kalau mau pergi itu bilang dulu mau kemana. Jangan ngambek-ngambek gak jelas kayak tadi. Lo gak tau gimana stress-nya gue tadi, ditelfon gak diangkat-angkat, obat gak dibawa."

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang