20. Bulan Mei Itu Harusnya Cerah.

819 102 10
                                    

Remaja 16 tahun itu selamat, meski tubuhnya tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Kerusakan di hatinya bertambah parah akibat pengonsumsian obat-obatan dosis tinggi dalam sekali tenggak. Untungnya, semua bisa ditangani dengan baik. Meskipun saat terbangun malam itu Gilang muntah sangat banyak serta mengeluh kesemutan di seluruh badannya.








"Kita ngapain disini?"

"Pengen pulang."

Entah sudah berapa kali telinga Biru mendengar kalimat itu dari bibir adiknya. Dan sudah puas pula bibir pemuda itu menjawab dengan jawaban yang sama.

"Jangan banyak ngomong dulu, Gem... nanti tenggorokannya sakit."

"Kenapa?"

Sebanyak kalimat yang keluar dari mulut Gilang, sebanyak itu pula agaknya Biru melafalkan kalimat istighfar di dalam hatinya. Menyabarkan hati supaya tidak kalap meninggikan suara. Oleh karena itu, ia lanjut saja menyelesaikan pekerjaannya di laptop yang ia pangku dan mengabaikan ocehan Gilang. Entah sejak kapan adiknya itu hobi mengoceh dan begitu cerewet. Dokter mengatakan jika overdosis obat penenang bisa menyebabkan sesak napas, kejang-kejang, muntah, serta pelupa. Ketiga hal di atas sudah Gilang alami tadi malam. Dimana anak itu memuntahkan seluruh isi perutnya, mengalami kejang, lalu tertidur oleh waktu yang cukup lama. Dan Biru harap ini merupakan efek lupa. Sepertinya Gilang tidak ingat oleh kejadian kemarin, ia juga lupa akan alasan mengapa ia mencoba mengakhiri hidupnya. Mungkin terdengar buruk, tapi Biru ingin Gilang lupa selamanya.




"Bang."

Biru hanya merespon dengan deheman. Lalu beberapa detik kemudian mulai mengangkat kepala guna melihat Gilang yang tak kunjung kembali membuka kata.

"Kenapa?" tanya pemuda itu lembut.

"Abang jangan jauh-jauh duduknya, gue takut..."

Tanpa berpikir lama, Biru meletakkan laptopnya di atas sofa, sebelum berjalan mendekat ke tempat sang adik yang masih berbaring. Tak perlu menanyakan kenapa, meskipun anak itu lupa, jauh di hatinya masih merasakan trauma mendalam.

Biru menarik kursi yang diletakkan di dekat nakas mendekat, kemudian duduk di sana. Matanya menangkap sebuah karet gelang tergeletak di bawah kakinya, sepertinya karet bekas pembungkus makanan Jaka yang numpang makan di sini siang tadi. Biru mengulurkan tangan untuk mengambilnya.

"Gem bisa duduk, gak?"


Gilang menggeleng, "Gak bisa, lemes," keluhnya.

"Ya udah, angkat dikit aja kepalanya."

Alis Gilang bertaut bingung, menatap kakaknya dengan heran. "Mau ngapain?" tanyanya penasaran. Tapi masih menurut dengan mengangkat kepalanya sedikit. Sebelum ia merasakan rambut hitamnya yang awalnya menusuk-nusuk mata disugar ke belakang, lalu dengan lihai kakaknya itu mengikat helai rambutnya ke atas.

Gilang melirik Biru sedikit sambil tersenyum tipis. "Ibu 'tuh, cantik ya, bang?"

Biru tertawa pelan. Adiknya yang pemarah itu terlihat menggemaskan dengan rambut yang 'tuing tuing!' seperti pucuk daun teh. Gilang merebahkan kepalanya lagi tanpa rasa curiga. Meskipun sedikit merasa heran sebab kakaknya tertawa-tawa sendiri.

"Abang dengerin gue ngomong, gak 'sih?" gerutunya kesal, saat mendapati sang kakak yang tertawa tanpa menanggapi ucapannya.

"Denger..." jawab pemuda itu dengan nada yang sangat menyebalkan di telinga Gilang.

"Kenapa tiba-tiba nanyain ibu?"

Suasanya mendadak sendu dengan wajah Biru yang sudah kembali ke setelan pabrik.

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang