6. Manipulatives

1.1K 129 8
                                    

Warn!
Semua adegan kekerasan, suicide, dan harsh word tidak untuk ditiru!
Bijaklah dalam memilih bacaan!

Happy reading🐻





Beban berat di tubuh Gilang sedikit berkurang hingga pemuda itu memiliki tenaga untuk membuka mata. Saat itu juga ia tersadar bahwa kejadian itu hanyalah sebuah mimpi.

Dapat Gilang rasakan keringat sebesar biji jagung meluncur deras membasahi pelipis hingga lehernya. Tak mengerti apakah sebuah pertanda atau tidak. Gilang hanya takut jika Galang tak pernah kembali lagi.

Pemuda itu terlalu takut. Takut anak itu akhirnya menyerah lebih dulu. Meninggalkan dirinya bersama luka sendirian.




"Menurut lo, diantara kita berdua siapa yang akan mati lebih dulu?"

Gilang mengalihkan pandang ke arah Galang saat itu juga. Kemudian tertawa pelan, "gak tau, deh. Mungkin gue?" jawab Gilang saat itu. Jawaban yang sedikit dibumbui dengan canda.

Galang tersenyum penuh arti, sebelum kemudian dua remaja yang masih dibaluti seragam putih abu-abu itu berbarengan menatap matahari tenggelam dalam diam.





Gilang mendudukkan diri. Tersadar bahwa pakaiannya telah berganti menjadi piyama biru navy. Sudah pasti Mbok Lani yang menggantinya.

Jarum jam yang menggantung di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 16.05. Mendesah pelan, pantas saja tubuhnya sangat lengket sekarang. Ia sudah tertidur selama itu.

Lama melamun di atas ranjang. Gilang merasakan nyeri di perutnya tak jua reda. Dan sekarang, rasa mual mulai menggelanyar menguasai area pencernaan. Secepat kilat Gilang berlari ke kamar mandi dan menumpahkan semuanya di wastafel.

Jantung Gilang berpacu cepat, pikirannya mulai tak karuan sejak melihat yang ia keluarkan bukanlah sisa-sisa makanan ataupun air. Melainkan darah segar.

Seumur-umur, baru kali ini Gilang mengalami pendarahan melalui mulut.


Gelanyar asing menguasai perutnya, muntahan darah itu masih berlanjut, sampai akhirnya Gilang meluruh di lantai. Tubuhnya lemas sekali. Pandangannya berputar-putar. Gilang rasa ia akan tumbang sekarang juga.

Gilang memejam erat sambil memegangi perutnya. Gilang sudah tak kuat lagi. Sungguh.







Suara derit pintu kamar terdengar disela matanya masih terpejam.

Ia sempat mengira bahwa yang datang itu Mbok Lani atau Gita. Tapi ternyata, presensi Dean adalah hal pertama yang ia tangkap saat matanya kembali terbuka.

"Ngapain lo kesini?" ujar Gilang ketus. Bersusah payah agar mampu berdiri.

"Tadi gue denger lo muntah-muntah, lo gapapa?"

Gilang berdecak, "kelihatannya gimana? Gue baik-baik aja?" sentaknya. Meskipun terdengar lemah, tapi tetap saja tidak gagal membuat jantung Dean terpacu.


Dean berdiri di ambang pintu kamar mandi, menatap Gilang lekat sambil bersedekah dada.

"Harusnya lo bersyukur punya saudara baik kayak gue."

Pemuda itu berdecak bangga, kepalanya menggeleng sambil menatap tubuh kurus Gilang dari atas sampai ke bawah. "Udah penyakitan, songong lagi. Kapan, sih, lo mati? Pusing gue tiap hari liat lo teriak-teriak kayak orang gila."

Tangan Gilang mengepal kuat. Ingin sekali rasanya menonjok anak ini. Tapi, sekarang bukanlah waktu yang tepat. Yang harus ia lakukan hanyalah harus mengabaikan Dean. Ia tak ingin masalah hidupnya jadi kian rumit jika anak ini mengadukan yang tidak-tidak kepada Leo nanti. Apalagi kondisi tubuhnya bisa dibilang sangat tidak baik.

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang