Sore-sore begini, Gilang sudah berleha-leha di kantin babeh sedang menunggu Gita melakukan ekstrakurikuler. Di tangan cowok itu sudah ada es cekek seribuan berperisa coklat.
Gita dan Gilang tak sedekat itu. Bahkan cenderung saling menjauh- ralat- Gita memilih menjauh dan menaruh genderang perang diantara mereka berdua. Gita dan Dean, sama saja. Bedanya, Gita lebih blak-blakan dalam hal apapun, termasuk saat mengatakan bahwa gadis itu membencinya.
Dan entah mendapat mukjizat dari mana, gadis itu tiba-tiba datang dan meminta Gilang untuk mengantarkannya ke toko buku.
Gilang mau-mau saja, asalkan tidak lama. Sebab malam ini Deparost akan tampil di sebuah acara.
Sabeni, atau yang lebih akrab disapa Babeh itu sedang bersih-bersih lapaknya. Sudah sore pukul 5, tapi sosok anak remaja langganannya itu tak juga beranjak. Sekolah sudah sepi, hanya tinggal beberapa anak ekstra yang sedang melakukan kegiatan. Hingga akhirnya ia menegur.
"Oi, tong!"
Hampir saja ponsel Gilang terlempar karena kaget, kemudian menggosok dadanya dengan mata memejam.
"Astaghfirullah, Beh. Ngagetin aja,ah. Untung aku gak jantungan."
Babeh memutar bola mata jengah, "lebay!" ledeknya.
"Elu mau sampe jam berapa dimari? Babeh udah mau pulang."
Gilang melempar plastik esnya yang sudah tandas ke bawah kaki. Yang serta-merta dihadiahi sentilan di dahi oleh Babeh.
"Babeh udah capek-capek bersih-bersih, jangan sampe elu yang babeh bersihin disini, ye, tong. Pungut!"
Cengiran lebar adalah responnya pertama kali, sebelum memungut sampah plastik tadi dan melemparnya ke Tong sampah.
"Duduk dulu sini, Beh. Temenin aku ngobrol."
Tampak si pria dewasa berdecak malas, tapi tetap menuruti perkataan remaja tengil langganannya itu. Menarik kursi plastik di meja yang berseberangan dengan Gilang sambil mematik sebatanh rokok dan menghisapnya.
"Orang-orang hobi banget ngerokok, emang rasanya gimana, Beh? Enak?"
Tiba-tiba Gilang bertanya, membuat Babeh Sabeni seketika menoleh.
"Gak tau, deh. Babeh dulu coba-coba doang waktu masih SMP, sampai sekarang ketagihan, susah berhenti." Babeh mencoba menjelaskan sambil meniupkan kepulan asap ke udara.
"Aku mau coba, boleh, gak?"
Babeh menoleh dengan tatapan bingung, "elu, kagak ngerokok emangnya?"
Gelengan polos dari Gilang sudah cukup sebagai jawaban. "Enggak. Kok Babeh heran gitu? Gak pernah liat orang gak ngerokok, ya?"
"Bukan gitu. Biasanya anak-anak seumuran elu udah pada pinter ngerokok, lebih kenceng lagi."
"Yaudah kalau begitu aku mau, Beh. Bagi satu, dong."
Babeh menepuk tadahan tangan Gilang dengan sedikit kencang. Membuat cowok itu mengaduh sebab punggung tangannya membentur tepian meja.
"Gak usah banyak tingkah. Sekolah aja yang rajin, banggain orang tua dulu. Kalau mau nyebat tunggu ntar kalau udah punya duit hasil kerja sendiri. Sekarang duit masih minta ke orang tua, udah sok-sok-an mau ngerokok."
Gilang tersenyum manis di akhir kalimat yang Babeh lontarkan. Betapa bahagianya jika kenyataan memang begitu. Namun, apa yang Gilang harapkan? Kata 'bangga' itu tak akan pernah terucap bahkan jika Gilang memenangkan olimpiade fisika tingkat nasional sekalipun.
"Sebenarnya, untungnya ngerokok apa, sih? Bukannya bisa bikin rusak paru-paru kita, ya?"
Dengan berat hati, Babeh Sabeni mengangguk, menyetujui perkataan pemuda di hadapannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Teen Fiction"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether