Warn!
Suicide things!Sepasang langkah dari anak laki-laki itu menerpa genangan dari hujan. Kaki telanjangnya tampak dipenuhi oleh warna coklat dari lumpur yang ia pijaki di sepanjang jalan.
Di sisi yang berlawanan, terlihat seorang remaja laki-laki, berjalan dengan payung abu-abu milik ayahnya, memutar leher kesana-kemari. Raut wajahnya cemas, kemeja seragam pramukanya telah basah, sepatu sekolah yang ia kenakan pun begitu.
Sampai tiba di ujung sebuah gang kumuh, akhirnya yang remaja laki-laki itu cari ia temukan. Anak kecil dengan kaos hoodie tanpa lengan, basah kuyup, tanpa alas kaki, tampak kebingungan disana. Matanya bengkak seperti habis menangis.
"Gem!"
Suara Biru seperti teredam dikalahkan derasnya suara hujan. Tanpa berpikir lagi, Biru lantas bergegas mendekati sang adik disana.
Di bawah tangis angkasa sore itu, tanpa banyak bertanya, tanpa repot mengomel, Biru memilih menarik Gilang ke dalam pelukan hangat. Membiarkan tangis adiknya pecah begitu saja.
Dan sore ini, semuanya menjadi seperti sebuah de javu. Membawa kembali ingatan Biru pada sore itu. Setelah mendapat kesempatan pulang kantor lebih cepat, yang ia temukan adalah kondisi rumah yang sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan kecuali layar televisi yang masih menyala dengan volume yang super kencang.
Dan yang Biru dapati setelah menerobos derasnya hujan adalah presensi adiknya yang duduk di sebuah lapak bakso keliling di ujung komplek. Asik menyeruput teh hangat sambil mengobrol dengan abang-abang tukang jualannya.
"Ayo, pulang."
Nada suara dingin yang Biru ucapkan sukses menarik atensi Gilang. "Tunggu dulu, baksonya belum jadi."
Biru melipat payungnya dan ikut berteduh, duduk di samping adiknya yang terlihat masih seru dengan topik pembicaraannya bersama abang bakso ini.
"Ya, makanya mas, saya suruh pakai parfum wangi permen karet, tapi anaknya gak mau, yaudah, saya semprot aja pakai stella jeruk."
Abang-abang tukang bakso itu tertawa, lepas sekali. Biru ngeri kalau tiba-tiba hilang fokus dan malah nyerok kuah bakso panasnya pakai tangan kosong.
"Terus, reaksi dia gimana? Anaknya gak marah apa?"
Gilang tertawa kecil, jari telunjuknya ia taruh di dagu, khas seorang bocah yang sedang berpikir. "Marah, sih. Dia misuh-misuh, katanya bau dia sekarang udah kayak taksi online."
Lagi-lagi, tawa mas-mas penjual bakso itu menggema. Beradu-padu bersama suara hujan yang semakin deras. "Ya Allah, adek ini ada-ada saja. Kok bisa kepikiran nyemprot temennya pakai stella jeruk."
"Lagian saya capek dengerin dia ngomel terus, mas. Ya, masih mending saya semprot pake stella, bukan baygon."
Akhirnya, baksonya jadi, tapi tawa mas-masnya masih tersisa. Mas-mas bakso itu menyerahkan 2 bungkus bakso kepada Gilang sambil menyeka ujung matanya yang berair karena terlalu banyak tertawa.
Mas-mas itu akhirnya melirik Biru dengan senyum kecil.
"Ini kakaknya?"
Gilang mengangguk, sambil menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribuan. "Iya, mas, kenalin, namanya Biru. Jomblo dari lahir."
Biru memaki Gilang lewat tatapan, yang disambut dengan cengiran lebar khas lima jari milik adiknya itu.
"Tehnya gak usah dibayar." Mas Tono merogoh tas pinggangnya, kemudian menyerahkan 2 lembar uang dua ribuan. Gilang menerimanya dengan baik. "Gratis karena adek lucu, udah bikin saya ketawa."
![](https://img.wattpad.com/cover/314265146-288-k906217.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Teen Fiction"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether