12. Hanya Gemilang Tanpa Pendar

1K 108 10
                                    

Suatu siang yang cerah, Gilang tengah duduk bersandar di tepian atap sekolah, tempat yang amat ia senangi akhir-akhir ini. Memangku Meru si gitar silver sambil menyenandungkan beberapa bait lagu.

Jauh di belakangnya, ada Galang, sedang sibuk mengukir sesuatu di atas buku gambarnya.

"Sebenernya, kita ngapain, sih, bang disini? Mending di kelas, dah. Lo gak kepanasan duduk disitu?"

Galang memulai topik obrolan tanpa menoleh. Gilang memutar pandangnya le belakang, "gak, tuh! Makanya, duduk sini. Penakut banget lo jadi laki."


"Lah, nantang, pak?" Galang membanting buku gambar yang ia peluk ke lantai, sebelum berjalan tergesa ke arah Gilang. Nyalinya tertantang sebab merasa direndahkan.

Namun, setibanya di belakang dinding kokoh yang Gilang duduki itu, tiba-tiba saja langkahnya berhenti. Jujur, Galang sebenarnya takut.

"Kenapa berhenti? Takut 'kan lo?" Bibir Gilang terkatup menahan tawa. Diliriknya Galang sedikit, kemudian berdecih. "Udah gak usah, gue aja yang turun. Gue gak mau lihat lo mati berdiri disini."

Suara dentuman tapak sepatu yang beradu dengan lantai terdengar ketika Gilang melompat turun.

"Lo pikir gue secemen itu?"

"Emang!" jawab Gilang tanpa tendeng aling. Kaki jangkungnya melangkah ke sofa kotor berdebu di sudut atap, tempat favorite-nya.

"Sialan lo." Langkah Galang mengikut. Seperti biasa, ia akan duduk di atas kursi kayu. "Lo ngajak gue kesini ngapain, sih, bang? Tiap hari kesini gak bosen emangnya?"


"Lo, gak mau cerita sesuatu, gitu?" Gilang bersandar, memetik senar gitarnya pelan-pelan. Menciptakan alunan nada absurd yang indah.

"Cerita apaan? Gak ada, tuh!" elak Galang. Anak itu meraih buku gambarnya yang tergeletak di bawah kemudian menepuk-nepuk buku itu pelan, guna menghilangkan debu di permukaannya.

"Yaudah, kalau gak ada, gue mau nanya sesuatu."

Galang masih sibuk mengukir jelaga di atas kertas putih. Tanpa melihat ke asal suara, ia balik bertanya, "nanya apa?"

"Gimana cara lo bertahan tanpa orang tua?"

Galang terkekeh pelan, "maksud lo apa, bang? Orang tua gue masih lengkap."

"Lengkap tapi gak ngurusin lo sama aja gak punya orang tua itu namanya."

Galang menghentikan kegiatan menggambarnya saat itu juga. Matanya memejam erat, kemudian menghembuskan napas dengan berat. "Iya, lo emang paling tau, dah, Bang. Hebat. Lo cenayang, ya?"

Gilang berdecih, paling malas kalau Galang sudah bercanda dengan topik sensitif seperti ini. "Gak lucu, coba lagi."


Hening merayap. Galang hanya diam termenung, seperti tak ada niat menjawab pertanyaan Gilang barusan.

"Sorry, kalau lo gak mau jawab, gapapa. Anggap aja pertanyaan gue tadi iklan lewat."

Galang diam, keduanya ikut diam. Gilang dan Galang beradu dalam tatap semu. Keduanya terkunci dalam situasi itu cukup lama. Gilang tak bermaksud kepo atau semacamnya. Ia ingin tahu saja, akan alasan senyum di wajah Galang yang tak pernah pudar. Selalu bercanda dan tertawa dalam situasi apapun, seolah dirinya memanglah robot yang diciptakan hanya untuk tersenyum. Dapat Gilang lihat, di bawah cerahnya sang baskara di atas sana, ada Galang, si anak penuh ceria tengah mendung di wajahnya. Gilang tersenyum, akhirnya, ia bisa melihat ekspresi lain di wajah Galang selain senyuman palsu.

"Gue bakal ceritain semuanya suatu saat nanti, maaf, tapi bukan sekarang."

Gilang tercenung. Petikan gitarnya terhenti, "it's okay, yang jelas wajah asli lo udah kelihatan jelas di depan gue."

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang