Hilangnya hujan ternyata membawa kekosongan yang besar di dalam hati lelaki itu. Dingin yang tertinggal seakan membawa jiwanya kembali pada masa lalu. Hujan yang menyeret adiknya memasuki kehidupan dunia yang fana. Serta hujan yang merenggut nafas serta raga sang ibu jauh dari genggamannya. Dulu Raina pernah bercerita, nama Langit berarti atap dari dunia, yang mana perannya adalah sebagai pelindung bagi Mahameru yang tinggi namun rapuh, serta Maharani, sosok ratu nan anggun lagi angkuh.
Ada kalanya Biru lelah. Harus membiarkan bahunya menjadi tameng untuk Gilang. Namun bila bahu itu mulai lelah, ia harus bersandar kepada siapa? Dan bila saat itu tiba, yang Biru lakukan hanya berdiam diri, menjaga jarak dari Gilang agar anak itu tak terluka. Bahkan tak ada satu orang pun di dunia ini yang tahu bahwa cahaya biru lebih mudah memudar dibanding pendar sang gemilang.
Lelaki itu meremat roda kemudinya, berusaha menguatkan diri. Harus siap dengan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tapi sekeras apapun ia berusaha tegar, tetap saja kenyataan menamparnya bagai granat yang siap diledakkan ketika pematiknya ditanggalkan.
Kenyataan bahwa kesehatan mental Gilang sudah jauh dari kata baik dan memiliki kemungkinan paling tipis untuk disembuhkan sudah menampar Biru hingga mati rasa. Ditambah lagi dengan keadaan hati sang adik yang dikatakan sudah mulai mencapai titik hancur tahap demi tahapnya, bahkan kemoterapi yang dikatakan oleh dokter hanya mampu menunda, bukan menyembuhkan.
Butuh waktu 2 tahun lebih bagi Biru untuk menyembuhkan trauma adiknya atas tragedi mengerikan itu. Meskipun tidak sepenuhnya pulih, setidaknya Gilang sudah bisa menjalani kegiatan normal seperti bersekolah, walaupun harus terus dibantu obat-obatan. Lalu, kejadian kecelakaan hari itu terjadi begitu saja. Trauma Gilang mengambang lagi ke permukaan. Situasi yang harusnya tidak seberat ini malah menjadi semakin rumit kembali. Kini penderitaan Gilang kian bertambah banyaknya serta semakin parah. Entah tameng apa lagi yang harus Biru pasang untuk mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahkan kenyataan bahwa Gilang bisa pergi kapan saja sudah menampar dirinya. Walau bagaimana pun Biru harus siap dengan itu.
Begitu turun dari mobil, langkah kakinya membawa tubuh tinggi itu menyusuri parkiran rumah sakit yang sepi sambil menenteng sebuah tas berisi pakaian Gilang di sana. Melangkah cepat-cepat sampai langkah kaki pemuda itu akhirnya mencapai pintu kamar sang adik yang tertutup rapat.
Gelap menyambut kedatangan Biru begitu pintu itu terbuka, menampakkan presensi Gilang yang sudah tertidur pulas di atas bed ditemani Shabin yang ikut tertidur meringkuk di atas sofa.
Hal yang pertama kali Biru periksa adalah lengan Gilang. Bersih, tak ada tanda-tanda luka baru. Kemudian beralih mengusap dahinya. Hangat, demamnya sudah turun.
"Abang?"
Biru sedikit terkesiap saat Gilang tiba-tiba terbangun. "Iya, ini gue. Obat lo udah diminum?" tanya Biru sambil memilih dan memilah beberapa setel pakaian tidur Gilang di dalam tas.
"Obat yang mana?"
"Yang mana aja yang udah? Yang mana yang belum? Apa udah semua?" Biru selesai memilih sebuah sweater berwarna hijau tua. Tangannya membantu Gilang membuka kancing piyama tidurnya lalu menggantinya pelan-pelan dengan sweater pilihannya.
Gilang bergumam sebentar seraya berpikir, "Antipsikotik udah, obat demam udah tadi dikasih Jaka, terus obat mual juga udah. Apa lagi yang belum?" Gilang menyerongkan tangan kanannya ke dalam lengan sweater atas perintah Biru.
"Vitamin belum 'kan?"
Gilang merebahkan kembali tubuhnya saat sweater hijau tua itu telah terpasang sepenuhnya. Tangannya ia tadahkan seolah meminta vitamin yang dimaksud oleh kakaknya. Namun alih-alih memberikan, Biru justru straight to the point mendaratkan vitamin itu langsung ke mulut sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Novela Juvenil"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether