Asap yang ditimbulkan akibat pembakaran sampah membuat si pelaku terbatuk sendiri. Dengan sigap menutup hidung dengan kausnya sebelum melemparkan puluhan kotak rokok kosong serta 1 buah kotak yang masih terisi full. Benda laknat pemicu semua kekacauan ini.
Biru menemukan banyak kotak rokok kosong di sebuah kardus yang Gilang sembunyikan di halaman belakang. Entah apa untungnya menimbun sampah.
Haha, lucu sekali. Bisa-bisanya cowok itu menyalahkan benda mati disaat sesuatu yang salah itu ada pada dirinya.
Biru berdiri kaku ketika obsidiannya menangkap tumpukan sampah itu mulai dilalap sang jago merah. Udara dingin di pagi ini seolah bernyawa dan menikamnya. Tapi, sejauh detik berjalan, yang ada di sana hanya hampa. Gilang sudah siuman setelah mendapat perawatan dari Sagara yang datang dengan hanya mengenakan piyama tidur. Biru baru bisa bernapas lega saat Sagara mengatakan kalau Gilang baik-baik saja.
Sejak kecil, Biru tidak pernah meninggikan suara pada adiknya, baik itu Gilang, Gita, maupun Dean yang tak pernah ia akui sebagai adik. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya sampai-sampai bisa bersikap kelewat batas hingga menyakiti Gilang dengan tangannya sendiri. Biru sadar betul, semesta tak akan mau mrngampuninya.
"Lagi bakar sampah, mas?"
Hampir saja Biru mengumpat saat entah dari mana Bu Ratna─istri ketua RT─tiba-tiba muncul di balik pagar rumahnya yang setinggi dada.
'Udah tau bakar sampah, masih aja nanya,' batinnya.
Biru menarik garis bibirnya ke atas, "Iya, Bu. Habis belanja?" jawab Biru disertai kekehan penuh canda, ikut berbasa-basi.
Bu Ratna tersenyum lembut sambil mengangguk dan memperlihatkan tas belanjaan yang ia bawa. "Adiknya masih sakit, Mas?"
Biru tersenyum kikuk. Ia memang sejak awal mengatakan kepada Ibu dan Pak RT tentang adiknya yang sakit, namun pemuda itu tidak menceritakan sakitnya apa.
"Ya, begitulah, Bu. Masih gitu-gitu aja."
Bu Ratna menatap Biru prihatin. Ia mengerti kesusahan dua orang kakak-beradik yang hidup hanya berdua saja. Pasti Biru kesulitan dalam mengerjakan peran 3 orang sekaligus.
"Semoga adiknya cepat sembuh, ya, Mas Abi," ungkap wanita itu tulus. Ah, Biru jadi melankolis. Ia rindu Raina.
"Apa ini, Bu?" tanya Biru kebingungan saat sebuah kantung yang berisi berbagai jenis susu kotak dan roti-rotian diulurkan Bu Ratna dari balik pagar.
"Buat adiknya Mas Abi."
Biru menerima pemberian Bu Ratna dengan senang hati. Mungkin ini bisa dijadikan umpan agar Gilang mau berbicara padanya lagi.
"Aduh, ngerepotin, Bu."
"Ibu gak tau apa pantangan yang gak boleh dimakan adiknya, tapi setahu Ibu roti sama susu baik buat nutrisi tubuh."
"Oh, iya. Mas Abi kalau gak sempat masak, minta aja ke seberang. Ibu masak, kok, setiap hari. Kasihan adiknya makan bakso keliling terus, gak baik."
Mata Biru sontak membola, "Bakso?" beonya.
Bu Ratna mengangguk, "Kalau gak bakso, ya siomay. Itu di abang-abang yang suka keliling di komplek ini," lanjutnya.
Gilang itu mau apa sebenarnya? Pantas saja masakan Biru tidak pernah habis, setiap pulang kerja pasti masih ada sisa. Biru menarik napas dalam, untuk kali ini pemuda itu harus menelan amarahnya dalam-dalam.
"Ya, sudah. Ibu permisi dulu, ya. Salam buat adiknya."
Biru melihat langkah Bu Ratna yang menjauh sebelum kemudian menghilang dari balik pagar rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Novela Juvenil"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether