Jaka tidak seberuntung Shabin dan Gilang yang dibesarkan oleh keluarga berada. Mungkin juga ia tak sebahagia Sena yang bermandikan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Dibesarkan di lingkungan panti asuhan dan banyaknya teman sepantaran di sana yang memiliki nasib yang sama membuat Jaka sedikit banyaknya bersyukur. Tidak muluk-muluk, diberikan kesempatan untuk bisa bernapas kala pertama membuka mata di pagi hari saja sudah membuat cowok itu merasakan syukur yang luar biasa.
Dulu, Jaka selalu berpikir bahwa terlahir di keluarga kaya dengan orang tua yang lengkap adalah hal yang paling menabjubkan yang pernah ada. Namun kini, Gilang dan Shabin membuka matanya lebar-lebar. Bahwa harta tak menjamin bahagia. Anak dari pengusaha kaya seperti Shabin justru harus melihat kedua orang tuanya bertengkar setiap harinya. Serta sosok Gilang yang amat menginspirasi dirinya belakangan ini. Sosok yang terlihat kuat namun ternyata menyimpan segudang luka.
Mungkin sosoknya tidak akan selalu bisa berada di sisi Gilang untuk menghiburnya. Tidak pula mampu menyembuhkan lukanya. Mungkin terdengar klise dan menggelikan, tapi jika sang sahabat membutuhkan bahunya untuk bersandar, ia siap memberikan untuk ketiganya sekaligus jika bisa. Jaka tak memiliki keluarga, maka setelah orang-orang hebat di panti ia memiliki Deparost sebagai keluarga ke-duanya.
Kini Jaka sedang mengeluarkan motor dari parkiran, ditemani Juli sang kekasih hati yang merengek ingin ikut menjenguk Gilang.
"Nanti mampir beli buah dulu, ya? Masa kita jenguk orang sakit gak bawa apa-apa."
Jaka tersenyum simpul sambil memberikan helm merah muda itu kepada Juli. "Gak usah, yang. Dia gak suka buah," jawab Jaka sambil bersiap memilin pedal gas sebab Juli sudah duduk manis di boncengannya.
"Terus sukanya apa? Apa kita beliin es cekek di kantin Babeh Sabeni aja?"
Jaka sontak tertawa melihat usul Juli, "masa orang sakit kita bawain es, sih yang? Yang ada digeplak kita sama abangnya."
"Ya, habisnya aku lihat si Gilang suka minum es seribuan di kantin," gurau Juli seraya tertawa. "Atau kita beliin roti aja?" usul gadis itu lagi.
Cuaca sore ini terbilang cerah, dengan matahari bersinar terik membakar kulit. Cowok itu sudah akan memelintir pedal gas sebelum menghentikan niatnya saat melihat sosok lain ikut memasuki lahan parkir. Sontak Jaka turun dari motornya, meninggalkan Juli lalu menghampiri orang tersebut. "Cen!"
Sena sontak menoleh dan melirik Jaka tanpa minat. "Apaan?" jawabnya malas, sambil lanjut berjalan menuju di mana motornya terparkir. Tentunya bersama Jaka yang mengekor.
"Lo ikut, yuk. Gue, Juli, sama Yati mau ke rumah Gilang."
Sena hanya melirik sekilas lalu menaiki motornya tanpa menghiraukan sang Bassist. Jaka yang diabaikan tentu merasa kesal. Maka dengan cepat cowok itu menyabut kunci motor Sena yang menggantung sesaat sebelum cowok itu menstarter motornya.
"Mau lo apa, sih?" ujar Sena kesal.
Jaka tersenyum remeh lalu mengenggam kunci itu erat sambil menyembunyikannya di belakang tubuh. "Ayo, ikut."
Tampak Sena menghirup napas dalam-dalam lalu memejam sebentar. Terlihat sedang berusaha mengontrol air mukanya sebab emosi yang mendadak datang meletup-letup di dalam dirinya. Maka cowok itu turun dari motornya dan berjalan menjauh ke arah gerbang.
Sontak Jaka tak tinggal diam. Ia dengan cepat mendahului langkah Sena dan menghadang langkah cowok blasteran itu. "Lo kenapa, sih Cen? Lo berantem sama Gilang? Gue gak pernah liat lo datang buat jengukin dia selama dia cuti sekolah. Lo juga gak pernah lagi ikut nimbrung di grup chat kita. Bahkan di sekolah juga lo gak pernah join sama gue dan Yati lagi. Lo ngehindar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Novela Juvenil"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether