Warn!
Semua adegan kekerasan, suicide, dan harsh word tidak untuk ditiru!
Bijaklah dalam memilih bacaan!
Happy reading🐻
Tubuhnya mungkin terasa lebih baik. Namun, bayang-bayang akan keributan semalam benar-benar terasa nyata dan tak bisa ia buyarkan dari ingatannya. Retinanya terasa kering kerontang. Rasa perih menjalar di sekitar indra penglihatan. Gilang lupa kapan terakhir kali ia menangis sekencang semalam. Rasa-rasanya, air matanya telah habis sekarang.
Suara-suara itu tak hentinya mengucapkan kalimat yang buruk. Tangannya yang dirantai membuatnya tak mampu untuk sekedar menutup kedua telinga. Gilang ingat, betapa frustasinya ia saat membenturkan kepala ke dinding agar cepat-cepat jatuh pingsan, hanya agar suara-suara menyeramkan itu tak lagi terdengar.
"Den Gilang mandi dulu, ya. Terus makan, nanti si mbok antarkan kesini. Den Gilang mau makan apa?"
Mbok Lani memapah Gilang menuju kamarnya, kemudian mendudukkan anak itu di tepian ranjang.
"Perutnya sakit, Den?"
Raut khawatir jelas tercetak di wajah wanita itu ketika Gilang meringis sambil memegangi area perutnya.
Anak itu mengangguk lemah. Lidahnya kelu. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.
"Den Gilang baring, ya. Biar si mbok oleskan salep."
Mbok Lani membantu Gilang melepas jaket yang sejak semalam masih tersampir di tubuh ringkihnya. Kemudian membaringkan anak malang itu pelan-pelan. Wanita itu sangat takut menyentuh, hatinya pilu melihat keadaan Gilang saat ini. Ibarat memegang sebuah cangkang telur. Mbok Lani takut anak ini akan hancur jika disentuh terlalu keras.
Matahari sudah meninggi. Dan Gilang terbaring disini. Entah sudah jam berapa sekarang. Dapat Gilang dengar suara ribut dari lantai bawah. Tawa menggema diselingi langkah kaki yang berkejar-kejaran. Seperti biasa, itu pasti Dean dan Gita.
"Nuwun, Den. Kancing bajunya bibi buka, gapapa?"
Gilang mengangguk pelan sekali. Dapat Gilang rasakan udara dingin mulai merasuki setiap inci dari pori-pori kulitnya saat kancing seragam batiknya terbuka.
Memar keunguan tercetak jelas di area perut dan tulang selangka, ada beberapa luka bekas sayatan yang sudah mengering di area dada. Rasa ngilu kembali menjalari saat mengingat setiap tendangan dan pukulan yang Leo hadiahkan semalam. Sungguh, rasa-rasanya Gilang mau mati. Tapi Tuhan tetap berbaik hati membiarkannya tetap hidup. Dan berakhir kembali di kamar ini. Gilang harus menyesal atau bersyukur kalau begitu?
"Dingin, Mbok..."
Mbok Lani mengangguk, "tahan sebentar ya, Den." Senyum lembut tercetak di wajah renta itu. Senyum yang selalu berhasil membuat hati Gilang terenyuh.
Gilang merintih saat tangan keriput Mbok Lani menyentuh kulitnya. Padahal sangat pelan, tapi mengapa sesakit ini?
"Tahan, ya."
Tak terbendung lagi air mata Lani. Setiap rintihan yang keluar dari mulut anak majikannya bagaikan sembilu yang siap mengoyak hati. Orang tua mana yang setega ini disaat orang tua lain rela berjaga semalam suntuk hanya agar sang buah hati tak digigiti serangga.
Gilang ini istimewa. Sudah sepatutnya keluarga ini memperlakukan dengan istimewa pula. Anak ini lahir atas amanah dari Tuhan. Amanah yang harus dijaga. Bukan untuk dijadikan samsak dan pelampiasan amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Teen Fiction"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether