17. Selamat Tinggal?

935 112 12
                                    

Langit di atas sana masih terlihat biru, meski seburat jingga sudah mulai terlihat, tetapi matahari belum sepenuhnya tenggelam dari cakrawala. Tak biasanya Dean pulang sebelum gelap jika bukan karena latihan atau kegiatan yang menyangkut dengan sekolahnya. Tapi hari ini, ia begitu gelisah. Gita tidak main-main saat gadis itu bilang akan memberitahukan semuanya kepada ayah mereka. Cowok itu tak mengerti mengapa menjadi sefrustasi ini. Entahlah, sebenarnya ia takut Gilang kembali ke rumah mereka atau yang lainnya?

Seperti, takut Leo akan menyakiti Gilang?


Sudah berkali-kali Dean mencoba menghubungi Biru, namun yang terdengar hanya suara seorang perempuan yang mengatakan bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak aktif. Ia lupa bahwa nomor itu sudah tak lagi aktif sejak kakak-beradik itu pergi. Oleh karena itu, ia berniat meminta nomor Biru pada teman-teman Gilang. Shabin yang dijadwalkan akan di forum yang sama bersamanya di ruangan sekretariat OSIS untuk mengadakan rapat malah tak menampakkan batang hidungnya. Dean juga tak ingat bahwa cowok kelebihan kalsium itu sedang ada latihan basket. Menyusahkan!


Kaki Dean berpacu dengan waktu, begitu rapat selesai, ia langsung memacu langkahnya menuju lapangan indoor di lantai satu. Namun sepertinya lelaki dengan jaket bomber biru muda itu sedang beruntung, sebab ia menemukan Sena yang sedang bermain gitar di tangga penghubung lantai 1 dan 2.

"Sena!"

Beruntung Sena memiliki keseimbangan yang baik. Suara Dean sangat nyaring, oleng sedikit saja Sena akan berguling ke bawah.

"Ngapain lo manggil-manggil?"

Sepertinya Dean datang di waktu yang salah, respon Sena sama-sekali tak bersahabat. Tapi Dean tidak peduli, cowok itu kembali memacu langkah, kemudian turun 4 anak tangga untuk bisa berbicara dengan Sena yang duduk memangku Gitar di anak tangga paling atas.

"Lo punya nomor Bang Abi, gak?" Alis Sena bertaut, sangat kentara bahwa ia tak nyaman beradu tatap dengan Dean. Melihat Sena yang mengambil ancang-ancang ingin beranjak, Dean lantas menahan tangan cowok bule itu.


"Gue gak punya," bohong Sena.

"Serius dong, masa iya lo gak punya? Ini menyangkut Gilang, please, kasih tau gue."


"Gue gak punya kepentingan buat nyimpan nomor abang lo. Yang adek dia kan elo sama si Gilang? Kenapa minta ke gue?" Sena kemudian berdiri dari duduknya, ia seperti hendak turun ke lantai 1.

Saat berjalan melalui anak tangga yang sama dengan pijakan Dean saat ini, Sena berucap penuh penekanan. "Mulai sekarang stop mengaitkan hal apapun tentang Gilang ke gue. Gue gak peduli. Gue bukan kacungnya." Dan berlalu begitu saja. Langkah kaki Sena perlahan menghilang di belokan tangga.

Dean bingung. Bukankah sebelumnya Gilang memiliki teman-teman yang baik? Cowok itu mulai bertanya-tanya, apakah Gilang sempat cekcok dengan Sena sebelumnya?


Di tengah kebingungannya, terdengar sayup-sayup suara orang bercakap-cakap diiringi langkah kaki yang bersahut-sahutan. Dean lantas memacu langkahnya karena mengira itu adalah rombongan anak basket. Dan benar saja, presensi Shabin dan teman-temannya adalah yang Dean dapati saat kakinya menapaki lantai 1.

"Anjing, apaan tuh?!"

"Bangsat, ngagetin aja lo, gue kirain pocong!"


Beberapa dari mereka mengumpati Dean yang tiba-tiba muncul dari tangga. Termasuk Shabin yang hanya diam sambil mengusap-usap dadanya sendiri. Dean jadi berpositif thinking, setahunya diantara ketiga teman Gilang, yang greenflag hanya Shabin si anak basket.


"Eh, Yan! Di lantai 2 masih ada orang, gak?" Salah satu anak basket yang Dean kenali sebagai Alfi tiba-tiba menginterupsi.

Dean menggeleng, "Nggak ada, udah kosong," jawabnya.

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang