18. Kesalahan Terbesar.

976 121 16
                                    

Warn!
Very long part!

Kalau ditanyakan siapa yang paling berdosa, Jaka akan dengan lantang mengatakan dirinyalah yang bertanggung jawab atas tragedi ini.

Semua orang menangis. Biru yang duduk menyandar di pintu ruang UGD menangis dengan pilu. Dean yang berdiri tak jauh dari itu menangis dalam diam, Shabin berjongkok menenangkan Jaka disaat ia pun turut bercucuran air mata. Semuanya bersedih.

Memang semuanya meratap, tapi tangis Jaka adalah yang paling pecah. Berbagai spekulasi tentang kepergian sang sahabat mulai runtut, tak lagi terhindarkan di kepalanya. Ia terus-terusan menyalahkan diri, seharusnya cowok itu langsung menemui Gilang di dalam rumah, bukan malah ikut-ikutan melihat perdebatan kaum bapak-bapak di rumah seberang.

"Jak, udah dong jangan nangis lagi... gue juga salah... harusnya gue datang lebih awal, tapi─" Shabin terus memberikan kalimat penenang disaat dirinya pun serapuh itu. Cowok jangkung yang masih mengenakan setelan jersey basket itu bahkan tak mampu melanjutkan perkataannya karena sudah keburu menangis sesegukan.

Tak tahu bagaimana keadaan Gilang di dalam sana. Meski kemungkinan bertahan sangatlah tipis, namun 4 dari mereka yang hadir terus memanjatkan doa agar keajaiban datang untuk membawa Gilang kembali ke pelukan mereka.


Suara pintu UGD yang terbuka lantas membuat Biru yang menyandar padanya berdiri spontan. Presensi Sagara sahabatnya adalah yang pertama terlihat di sana. Biru tak mampu membaca garis wajahnya, sangat sulit diartikan. Antara baik, buruk, atau kemungkinan-kemungkinan lain yang tak mampu Biru tela'ah.


"G-gimana adik gue?"

Sagara melepaskan masker pada wajahnya, kemudian menyentuh bahu Biru, seperti hendak mengatakan sesuatu. Mulut pemuda itu sudah terbuka, tapi seakan ada yang menahan kalimat itu keluar dari tenggorokannya.

"Gilang gak kenapa-kenapa 'kan?" Biru mengajukan pertanyaan lagi, penuh rasa penasaran. Namun Sagara masih diam, menatap Biru dengan tatapan yang sulit Biru artikan. Pemuda yang masih mengenakan kemeja kerja yang sudah lusuh itu mulai skeptis, apa makna dari tatapan sahabatnya itu? Tidak mungkin semua ketakutan itu nyata 'kan?


"Jawab gue! Adik gue baik-baik aja 'kan? Kenapa lo diem aja?"

Sagara menarik napas dalam, lama sekali, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk mengucapkan sesuatu yang sangat sulit untuk ia sampaikan.

"Gue gak tau bakal sanggup ngomong ini apa enggak," kemudian mengeratkan sentuhannya pada bahu Biru seolah memberi kekuatan. "Lo tenang dulu."

Mendengarkan ucapan yang demikian ambigu membuat air mata Biru berjatuhan tanpa peringatan. Begitu pun Jaka yang tangisnya belum reda sejak tadi.


"Maksud lo apa?"

"Gilang beberapa kali mengalami henti jantung, gue juga sempat bisa bawa kembali detak jantungnya, dan gue berharap bisa ngasih kabar itu ke lo. Gue udah mengusahakan yang terbaik tapi─"

Tiba-tiba saja tangan Biru sudah mencengkram kerah jas kebesaran Sagara. Menatap sahabatnya itu dengan tatapan penuh kepiluan yang pernah pemuda itu tunjukkan.

"Tapi apa?" Lirih, namun terkesan dingin dan mengandung kepedihan yang amat dalam.




Kali ini Sagara membuang napas dengan berat, tanpa aba-aba menarik tubuh jangkung sahabatnya itu ke dalam pelukan. "Kita udah kehilangan dia setengah jam yang lalu, maafin gue."





Sehancur apa rasanya? Sagara paham, ia pun pernah merasakan. Kehilangan adiknya beberapa tahun yang lalu. Ia mengenal Biru sudah sedalam itu, tentunya ia pun siap saat tubuhnya tiba-tiba mundur saat Biru mendorongnya dan melepaskan pelukan mereka.



REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang