10. Cahaya Tanpa Gemilang

990 135 7
                                    

Beberapa adegan bikin gak nyaman ⚠





Tepat pukul 10 malam, akhirnya mobil yang Biru dan Saga kendarai sampai di kediaman keluarga David.

Dan apa yang pemuda itu lihat selanjutnya justru berhasil membuat jantungnya mencelos ke bawah. Gilang duduk bersandar pada kepala kasur dengan tangan dan kaki terikat.

Pemandangan apa lagi yang bisa memporak porandakan pertahanan Biru selain ini? Selain melihat bagaimana cara semesta menghancurkan adiknya sedikit demi sedikit. Gilang hanya diam. Matanya menatap lurus ke depan. Entah memang tak menyadari atau enggan menyadari keberadaan kakaknya.

David berulang kali mengucapkan kata maaf, pria itu terpaksa mengikat sebab sejak tadi Gilang tak mau diam dan berusaha menyakiti dirinya sendiri. Biru memaklumi. Setidaknya, ia masih tau terima kasih karena pria ini sudah berbaik hati membawa Gilang. Entah apa jadinya jika David tak ada. Biru tak sanggup membayangkan.

Di tengah berisiknya nyanyian hujan, Biru melangkah pelan mendekati Gilang yang termanggu. Binar matanya redup, seperti tak ada kehidupan disana.

Gilang sempat terkejut ketika telapak tangan Biru menyentuh puncak kepalanya lembut.

"Gem...."

Tak ada respon yang Biru dapatkan, anak itu masih diam dengan tatapan kosongnya.

"Gem...."







"Kenapa?"

Getar suara Gilang menyatu dengan desir hujan dari luar sana. Anak itu terluka. Dan itu menyakitkan untuk Biru saksikan.

"Kenapa mau mati aja gak bisa?"

Biru menggeleng kuat-kuat. Untuk kesekian kalinya, pemuda itu hampir kehilangan sosok Gilang dari sisinya.


"Gem...."

Nada suara Biru tak kalah lirihnya. Pemuda itu terus menggumamkan nama Gilang agar anak itu kembali. Kembali ke titik warasnya.

"Gem, kamu bisa denger abang 'kan? Jangan begitu lagi, ya. Abang gak suka."

Biru ingin meraih Gilang ke dalam rengkuhannya. Namun Gilang menolak. Anak itu mendorong tubuh kakaknya kuat.


"Kenapa?" Gilang bertanya dengan nada suara bergetar, matanya memerah, ada kemarahan disana. Demi Tuhan, hati Biru seperti dihancurkan. Melihat keadaan Gilang yang seperti ini adalah kelemahannya.

"Kenapa gue gak boleh mati?"

Biru menggeleng kuat-kuat, tangannya kembali dihempaskan saat ingin meraih tangan Gilang yang terikat.

"Mati gak boleh, hidup juga gak boleh."

"Ini itu gak boleh. Ngeband gak boleh. Ikut kompetisi gak boleh. Semuanya gak boleh. Bahkan gue gak heran kalau suatu saat nanti gue bernapas aja udah gak diizinin lagi."

Gilang terus meracau, menatap Biru dengan tatapan kepedihan. Binar kepiluan yang ia punya.

"Kalian semua egois!"




"Gem...."

Gilang memukul dadanya berulang kali dengan kepalan tangan yang terikat, berharap nyeri di hatinya dapat teredam. Meski yang ia dapat hanyalah rasa sakit yang kian bertambah.

"Kenapa kalian ngikat tangan gue kayak gini? Apa kalian pikir gue ini udah beneran gila?" leher Gilang berputar menghadap Biru di sisinya. "Iya, bang? Kalian beneran mikir gue gila, ya?"

Biru kembali menggeleng, "enggak, Gem, siapa yang bilang begitu?"

"Mereka yang bilang, mereka bilang gue gila. Gue yang bikin Ibunda meninggal. Gue juga udah bikin kakak celaka. Itu semua karena gue udah sinting! Iya 'kan bang?"


REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang