Jika Gilang adalah korban dari ketidakadilan, maka Biru ialah saksi dari tumpulnya hukum kepada mereka yang terpandang. Menyaksikan bagaimana kejamnya jari-jari manusia menunjuk Gilang, disertai ucapan tajam yang tak berperikemanusiaan. Caci, maki, serta sumpah serapah yang adiknya terima setiap hari, seolah sudah menjadi makanan pokok yang wajib anak itu konsumsi.
Seperti deja vu. 4 tahun yang lalu, keadaannya tidak berbeda jauh dari ini. Segala penghakiman yang anak itu dapatkan membuat mentalnya semakin dihantam habis-habisan. Bahkan tak jarang, Biru mendapat kecaman dari warga sekitar, dikarenakan pemuda itu menolak secara terang-terangan untuk tidak akan pernah membawa Gilang ke rumah sakit jiwa. Itu kejam. Maka, mau tak mau, Biru menerima tawaran Sagara untuk menempati apartemen milik pemuda itu untuk sementara waktu. Keadaan di luar sana sangat tak terkendali. Lengah sedikit saja adiknya dalam bahaya.
Biru menyaksikan Gilang yang semakin hancur dari hari ke hari. Yang anak itu lakukan setiap hari hanya mengurung diri. Tak jarang ia mendengar Gilang berbicara bahkan berteriak-teriak sendiri. Terkadang, jika anak itu memiliki cukup tenaga, ia akan mengamuk dan melempar apa saja benda yang ada di sekitarnya. Maka, jika hal itu telah berlaku, mau tak mau, suka tak suka, Biru akan mengambil tindakan untuk mengikat sang adik dengan tali.
Hari-hari berlalu secepat gemuruh yang datang setelah kilat. Cepat sekali. Namun, tak ada perkembangan yang signifikan. Psikiater Gilang mengatakan, trauma di dalam diri Gilang menyebabkan anak itu terkena amnesia disosiatif. Yaitu keadaan ketika seseorang memblokir informasi tertentu. Biasanya berupa kejadian yang berhubungan dengan trauma psikologis atau stres. Hal ini membuat dirinya tidak mampu mengingat poin-poin informasi yang sebenarnya penting. Termasuk nama orang-orang yang sempat ada di masa lalunya.
Melelahkan, tentu. Biru sudah diterima bekerja satu bulan yang lalu di suatu perusahaan. Pemuda itu menyewa pengasuh untuk menjaga Gilang sampai ia pulang bekerja. Namun, semua pekerja itu tak ada yang bisa bertahan lama. Setiap ada yang melamar, hanya bertahan paling lama 3 hari, sampai orang-orang itu mengajukan resign sebelum waktunya. Ketika ditanya, jawaban mereka sama. Takut kepada Gilang.
Pagi ini, saat sedang bersiap pergi bekerja, ia dikagetkan oleh Gilang yang melempar barang-barang di sekitarnya ke arah Bu Erin, pengasuh yang baru saja bekerja 2 hari. Ia berteriak-teriak sambil melempar apa saja yang ada di sekitarnya ke arah wanita itu. Saat Biru menghampiri, pemuda itu juga turut terkena imbas. Bu Erin bilang, ia hanya berusaha membersihkan noda darah di hidung Gilang, tapi reaksinya sungguh di luar dugaan. Dan saat Biru lihat, memang ada noda darah mengering di sekitar hidung anak itu.
"Gem, stop! Nanti Bu Erin luka!"
Biru sigap berhambur ke hadapan Gilang dan merebut vas bunga yang hampir saja anak itu layangkan. Gilang meradang, menatap Biru nyalang dan berusaha merebut kembali vas bunga yang kakaknya rebut. Namun, tangan Biru lebih cepat menghindar.
"Dia jahat, dia ...." Gilang menggantung kalimatnya saat tiba-tiba saja ia yang tadinya marah-marah, berubah menjadi sangat sensitif. Anak itu menangis. "D-dia ... dia mau mukul aku, dia jahat!" adunya.
"Demi Allah, mas. Saya cuma berniat membersihkan darah di hidung Den Gilang. Saya gak berniat jahat sama sekali."
Biru hanya bisa menghirup napas dalam-dalam, kemudian mengangguk. "Saya percaya kok sama Ibu, maafin adik saya, ya?" sesalnya.
Bu Erin tampak bimbang, berkali-kali wanita itu menggaruk tengkuknya, lalu mengusap bahunya sendiri. Dengan keraguan, akhirnya Bu Erin memberanikan diri untuk bicara. "Maaf, Mas Biru. Saya sebenernya gak tega buat bilang ini, tapi sepertinya saya gak bisa lagi mengurus Den Gilang."

KAMU SEDANG MEMBACA
REDAM
Ficțiune adolescenți"Kalau sebaik-baik takdir adalah kehidupan, dan sebaik-baik tujuan adalah mati di usia muda. Maka aku akan memilih opsi kedua." [ON GOING] Warn! Kekerasan, blood, bullying, depression, suicide! Child abuse! #1 choibeomgyu #1 tomorrowxtogether