26. Bintang Paling Terang.

659 72 14
                                    

Gilang tidak tahu apa yang terjadi pada Biru hingga lelaki itu menjadi sangat diam sepanjang perjalanan pulang. Saat Gilang bertanya, pemuda itu hanya menjawab seadanya. Entah hanya perasaan Gilang saja, tapi sepertinya Biru sedang memikirkan sesuatu.

Gilang jelas bingung. Seingatnya, tadi Biru baik-baik saja. Sampai ketika pemuda itu tiba-tiba pergi, meninggalkan Gilang terapi hanya bersama Sagara di sana, sikapnya mulai berubah saat pemuda itu kembali. Apakah masalah keuangan lagi? Atau ... mungkinkah ada hal lain yang tidak Gilang ketahui?



'Coba tanya, abang lo kayaknya lagi ada problem, tuh.'

Gilang baru akan membuka mulut untuk bertanya, tapi Biru tiba-tiba menghentikan laju mobil. Saat anak itu mengedar pandangan ke luar, "oh, udah sampai ..." gumamnya. Kemudian turun mengikuti kakaknya.





"Lo gak mau ngomongin sesuatu sama gue?"

Genggaman Biru pada gagang pintu merenggang, niatnya untuk mendorong pintu kayu di hapaannya itu urung sebab terdistraksi oleh pertanyaan sang adik. Pemuda itu menoleh sambil menatap anak itu dengan pandangan bingung.

"Ngomongin apa?"

"Ya ... lo ngerasa ada sesuatu yang harus diomongin gak sama gue?"

Biru tampak berpikir sebentar, sebelum akhirmya kembali berujar, "istirahat aja sana, lo capek 'kan habis kemo? Kalau ada apa-apa panggil gue."

Begitu saja, pemuda itu pun berlalu ke kamar, meninggalkan Gilang sendiri di ambang pintu masuk dengan perasaan bertanya-tanya.



────



Udara panas malam itu membawa Gilang duduk bersandar pada headboard dengan jendela kamar yang terbuka lebar. Sebenarnya bisa saja cowok itu menyalakan pendingin ruangan, tapi pikirnya akan lebih menenangkan jika kulitnya diterpa oleh angin dari luar ketimbang angin buatan dari AC yang membuat pori-pori kulit mengatup.

Tangan kurusnya menari dengan lihai, mengukir arang di atas kertas gambar. Sesekali bibirnya menyenandungkan lagu yang akhir-akhir ini sering ia dengar melalui kanal youtube.


'Lagi ngapain?'

"Nyangkul! Ya menggambar, lah, pakai nanya," jawabnya ketus seraya meliuk-liukkan jari dengan terampil di atas kertas yang gambarnya sudah hampir rampung.

'Galak amat.'


Lalu suara perempuan muda itu pun hilang. Suasana hening lagi-lagi hanya diisi oleh senandung kecil yang keluar dari bibir Gilang.

'Itu siapa?'

Kali ini suara seorang laki-laki dewasa, terdengar tegas dan mengintimidasi. Namun, Gilang lagi-lagi menjawabnya dengan santai, "ibunda, cantik, 'kan?"

Suara itu pun tertawa keras. Semakin keras hingga membuat Gilang menutupi telinganya dengan telapak tangan.

'Biasa aja.'


Gilang tak menjawab, tapi mencibir di dalam hati. Toh, apa yang ia harapkan dari suara-suara tak berwujud itu.



'Kangen main gitar, deh.'

'Main gitar, yuk, Gilang!' Kali ini berganti menjadi suara perempuan muda.

"Nggak."

'Ayolah ....'

'Kenapa?'


"Gue bilang enggak ya enggak."

Tiba-tiba arah pandang Gilang berpindah dari kertas gambarnya ke arah sebuah gitar silver yang terbungkus di dalam tas hitam yang terletak rapi di atas lemarinya. Cowok itu ingat ia beberapa kali memainkan benda itu, sekitar ... tiga kali? Sejak benda itu dibelikan Biru.

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang