Pagi itu dunia masih terasa sangat indah, Gianna Ardiani menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya, kemudian mengantarkan mereka ke teras rumah, berdiri di sana hingga mobil yang dikendarai sang suami menghilang di ujung jalan.
Selama ini semuanya terlihat sangat normal, Gianna tak melihat ada kejanggalan di rumah tangganya. Waktu pulang kerja sang suami masih tetap sama, pukul 23.00 setelah restoran tutup. Namun, ternyata tetap ada celah untuk melakukan pengkhianatan.
Matanya belum rabun, video yang dikirimkan temannya begitu sangat jelas. Pria yang tinggal di bawah atap sama dengannya, tengah berpelukan mesra dengan seorang perempuan di depan rumah yang tak Gianna tahu di mana alamatnya.
Flora : Sebelumya gue merasa pernah lihat cowok itu, tapi nggak ingat di mana. Pas kemarin lihat lo upload foto keluarga di FB, jadinya gue langsung tahu itu suami lo.
Flora adalah teman SMA-nya, mereka tidak terlalu dekat, tetapi perempuan itu memang sangat bersahabat, bahkan meskipun hubungan mereka hanyalah sebatas teman biasa, Flora tetap menyempatkan diri datang ke resepsi pernikahan Gianna dan Izhar lima tahun lalu.
Emosi yang ada di dalam diri Gianna belum sepenuhnya keluar, yang ada hanya terdiam, masih belum percaya, tetapi bukti sudah begitu nyata. Video tersebut berlangsung selama tujuh menit, selama itu pula emosi Gianna tertahan di ujung lidah.
Harus bagaimana dirinya berekspresi? Itulah yang membuat Gianna bingung setengah mati.
Terlebih, bagaimana ia harus menyikapi fakta ini?
Tak terasa air mata telah membasahi pipi, sebelumnya tak pernah sekalipun ia dibuat menangis oleh sang suami, tetapi kali ini, sekali menangis, Gianna tak tahu bagaimana cara menghentikannya.
"Mas...," rintihnya, "tega banget kamu, Mas...."
Di dalam kamar tersebut, ia menangis sejadi-jadinya, menepuk dada berkali-kali, demi menghilangkan sesak yang menghimpit dada. Ah, inikah yang namanya dikhianati?
Gianna bukan orang yang baik, ia akui masih banyak kesalahan yang sering dilakukan, tetapi di antara banyak balasan di dunia, kenapa harus perselingkuhan yang diterimanya? Kenapa harus pengkhianatan? Kenapa harus menodai kepercayaan terhadap orang tersayang?
Puas menghilangkan sesak dengan menangis, membuang segala kesal dan sedih di dalam dada, Gianna bangkit dari atas ranjang, menuju meja riasnya, menghempaskan segala apapun yang ada di atas sana.
"Haaah!" racaunya.
Ia tahu bahwa bukan ini yang harus dilakukan, percuma, sakit masih tetap terasa. Namun, biarkan saja seperti ini, biarkan ia meluapkan segalanya dengan menghancurkan kamar ini, sebab jika keluar dari sini, Gianna tahu bahwa ia bukan lagi menjadi Gianna yang seperti biasanya.
Pikirannya yang selalu tulus memikirkan sang suami, kini tercemar begitu saja. Ia mengepalkan tangan, menatap pantulan dirinya di cermin, tersadar bahwa penampilannya kini sangat-sangat menyedihkan. Gianna mengambil botol parfumnya, melemparkan ke cermin, hingga terdengar suara gaduh.
"Selamat tinggal," lirihnya.
**
Gianna Ardiani duduk di sofa ruang tamu, memangku kaki, menikmati segelas teh, menunggu suami pulang di pukul yang biasanya, 23.00. Memang siang tadi ia sangat kacau, tetapi itu hanya berlangsung dua jam saja. Kini dirinya sudah terlihat lebih baik, meskipun bekas tangis di mata masih ada.
Ia tak pedulikan itu, sekarang dirinya duduk di ruangan tersebut untuk menunggu sang suami pulang dari bekerja. Ah, Gianna tak sabar menampar wajah sok polos itu dengan kenyataan bahwa segalanya tak bisa didapatkan dalam sekali hap. Sebab di sini, Gianna ada untuk membalas sakitnya.
Sudah cukup ia mendukung suami dalam bentuk apapun, mencarikan pekerjaan, menyambut pulang dengan senyum, memberikan apa yang dimau, menghormati, menyiapkan kebutuhan. Gianna rasa tak ada yang salah dengan perlakuannya. Lantas mengapa?
Jika memikirkan kembali bagaimana dirinya begitu menyayangi pria tersebut, air mata ini pasti akan terus menetes. Ternyata selama ini Gianna hanya dibodohi, ketulusannya malah ditertawakan di belakang bersama wanita lain.
Ia menelan kepahitan tersebut, menengakkan punggung, mencari posisi ternyaman. Suara mobil berhenti terparkir di depan rumah, menandakan sang suami telah pulang.
Topengnya sudah terpasang dengan sempurna, ia beranjak dari sofa dan menuju pintu. Senyum diberikan, menatap wajah itu yang terlihat kelelahan, entah karena pekerjaan atau lelah bermain bersama perempuan lain.
"Kamu kenapa belum tidur?" tanya Izhar.
Gianna berusaha bersikap seperti biasanya. "Belum ngantuk. Tadi Zein nungguin kamu pulang, mau main katanya."
Zein adalah anak dari pernikahannya dan Izhar, usianya baru menginjak empat tahun. Sama halnya dengan perempuan lain yang bingung mengambil keputusan antara cerai atau mempertahankan demi anak, Gianna pun merasakan hal serupa.
Tadi lebih tepatnya, sekarang ia telah mengambil keputusan, yaitu bertahan. Katakan dirinya bodoh, lalu apa yang bisa dilakukannya saat tak bisa mencari nafkah sendirian, sebab tak ada yang bisa dipercaya menjaga anaknya.
Akan tetapi, bukan berarti Gianna terima dipermainkan seperti ini. Ia bertahan selain karena anak, juga tak ingin perempuan itu dan suaminya mendapatkan kebahagiaan dengan dirinya yang memilih menyerah, sehingga mereka bisa bersama.
Big no.
Selama Gianna tak melakukan kesalahan, ia rasa bisa mempertahankan pernikahan ini. Amarah yang dirasakan sekarang, terus tumbuh menjadi dendam, dan detik ini Gianna telah mengibarkan bendera perang. Mata dibayar mata, kaki dibayar kaki, tidak ada yang akan merasa tenang jika hanya diam dan menerima.
Semua manusia ada sisi iblisnya, begitu pula dengan Gianna.
"Sekarang Zein di mana?"
"Udah tidur," jawab Gianna, lebih dulu berjalan masuk ke dalam rumah.
Bisa didengarkan Izhar menutup pintu dan menguncinya, Gianna berbalik dan menatap punggung tersebut. Rasa cintanya kini menghilang seketika, yang ada hanya sakit dan marah kepercayaannya ternyata malah dibalas dengan dusta.
Bagaimana jika ia balikkan posisi, apakah Izhar akan merasakan hal yang sama?
"Ada yang perlu aku bicarain ke kamu," ucap Gianna, wajahnya terlihat sangat serius.
"Apa?" Izhar berbalik setelah berhasil mengunci pintu, "wajah kamu serius banget."
Gianna menarik lengan sang suami, kemudian melingkarkan tangan di leher. "Hari ini kamu ngapain aja?"
"Kerja," jawab Izhar tanpa pikir panjang.
Tersenyum, Gianna membelai wajah tersebut, dibandingkan larut dalam keromantisan, rasanya ia malah ingin menyayat pisau di wajah dusta itu. Sudut bibir Izhar terangkat, senyum merekah sempurna, biasanya Gianna akan membalas senyuman, tetapi kali ini tidak.
Wajah itu penuh dengan kepalsuan, bahkan senyum tersebut tak bisa dikatakan tulus. Gianna jengah, ingin memberontak, tetapi ditahannya. Ia telah menyiapkan skenario di dalam kepala, dan waktu eksekusi bukan hari ini.
"Di kamar, jangan di sini," bisik Izhar, suaranya terdengar begitu lembut.
Gianna mendorong pelan tubuh pria itu, ujung bibirnya terangkat sempurna. "Kamu duluan ke kamar, aku mau bersihin dapur dulu."
"Ha? Emangnya dari tadi kamu nggak bersih-bersih? Kenapa baru sekarang?"
Ia hanya membalas dengan lambaian tangan, segera berbalik dan menuju dapur. "Jangan lupa mandi."
Memang benar dapurnya sekarang sangat berantakan, Gianna pun tak tahu mengapa bisa seperti itu. Ia secara tak sadar telah melakukan pemberontakan batin dan berakhir ricuh di dapur. Beruntung tetangganya tak terganggu dengan suara-suara aneh yang ia timbulkan.
**
Hello
Semoga suka
Tunggu part selanjutnya, ya...
Vote yuk
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...