Pulang dari rumah mertuanya, Gianna mendapatkan permintaan maaf dari Stefy. Tentu ia maafkan, lagi pula itu hanya sebuah masalah kecil. Ya, tentang Stefy yang melaporkan kepada Izhar bahwa Gianna pergi makan berdua dengan Kevin.
Ia tak permasalahkan, sebab menginginkan reaksi Izhar jika tahu dia pergi bersama dengan lelaki lain, di saat meminta izin untuk pergi fanmeet. Gianna sendiri belum bisa menilai bahwa suaminya itu cemburu atau hanya marah karena dibohongi.
"Bang Izhar marahin lo?!" Suara di ujung sambungan itu terdengar sangat keras, seperti berteriak.
"Iya, santai aja kagetnya, gue nggak budeg," Gianna berdecak, "gimana lamaran lo? Berhasil?"
"Oh iya, dong. Gue gitu, loh. Tinggal lamaran resmi di depan ortunya." Kevin terdengar sedikit jumawa. "Ngomong-ngomong, lo udah ambil keputusan?"
Gianna tahu maksud dari temannya itu. "Gue jalani aja dulu. Lagian, mertua belain gue, kok. Kalau beliau nyalahin atau kakaknya ngatain gue, itu berarti gue bener-bener udah nggak punya tempat di keluarga mereka."
Bisa dirasakan seseorang kini berdiri tak jauh darinya. Ya, memang rumah kecilnya ini tak bisa menyembunyikan rahasia, meskipun terdapat tiga kamar, ruang tamu, ruang nonton yang terhubung dengan dapur dan ruang makan, serta dua kamar mandi, tetapi Gianna sama sekali tetap tak punya tempat privasi.
"Emangnya harus gini? Teleponan di kamar tamu, main rahasia?" tegur Izhar.
Gianna mendengkus. "Aku nggak mau gangguin kamu main sama Zein," membela diri, "lagian, ini cuma obrolan biasa, sama Kevin pula."
Seharusnya Izhar tak perlu mempermasalahkan Gianna yang masih berhubungan baik dengan Kevin, sebab suaminya itu pasti tahu bahwa mereka berdua sejak awal hanya berteman, meskipun akrab, tak ada sedikit pun rasa suka Gianna pada Kevin, begitu pula sebaliknya.
"Udahan, ya, Gi. Gue takut, kayaknya rumah tangga kalian lagi sensi, deh," ucap Kevin, kemudian memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Gianna tersenyum kecut, berkat Izhar dirinya sekarang tak punya teman mengobrol. Bangkit dari kasur, segera meninggalkan kamar tamu dan menuju ruang nonton, di mana Zein tengah bermain.
"Mas mau tanya, Gi," Izhar menahan tangan Gianna, "ini penting."
Melengos malas menanggapi, Gianna menepis tangan suaminya itu. "Cepat, aku mau main sama Zein."
Izhar menatap intens istrinya itu, kemudian menelan ludah susah payah. Ya, pertanyaan ini pasti akan memicu perdebatan yang kesekian kalinya, tetapi Izhar masih sangat ingin menanyakan, alih-alih mencari sendiri jawabannya.
"Kamu sering ketemu Kevin di restoran?" tanyanya.
Gianna menoleh cepat, perasannya jadi tak enak, merasa ada seseorang yang mengatakan pada Izhar bahwa dirinya sering bertemu lelaki lain di restoran tersebut. Ia mencoba mengatur ekspresi, tak ingin terlihat sedang tertangkap basah.
Sebenarnya jika Izhar tahu bahwa ia sering bertemu lelaki lain di restoran, itu tak masalah, bahkan Gianna sangat ingin jika Izhar merasa terganggu dan terancam. Namun, ia tak ingin suaminya itu tahu bahwa sering bertemu dengan Emir, ayah dari Devira.
"Iya, sama Kevin, siapa lagi teman cowok aku kalau bukan Kevin," ujar Gianna, "restoran dekat sama kantornya, makanya Kevin jadi sering makan siang di sana."
Bibir Izhar menjadi segaris lurus. Bukan itu jawaban diinginkan olehnya, sebab menurut informasi diterima, bahwa pria yang sering ditemui Gianna adalah pria berusia kepala empat, bukan Kevin yang masih berusia 28 tahun.
"Besok Mas dan Zein mampir di restoran, sekalian makan siang di sana," ujar Izhar, "ka—"
"Buat apa? Makan di tempat lain aja," sela Gianna.
Izhar menghela napas kasar. "Kenapa? Ada yang kamu sembunyiin dari Mas?"
**
Gianna berkali-kali menguap meskipun pekerjaan ada di depan mata. Abangnya dengan sangat tak tahu diri malah mengatakan akan membuka cabang di Bekasi dan dirinya diminta untuk mengawasi pelatihan pelayan baru.
Ya, abangnya menambah pekerjaan saja. Tak tahu bahwa semalam Gianna tak bisa tidur cepat, sebab terlalu banyak beban pikiran. Bahkan tadi pagi Gianna tak sempat menyapu lantai dan halaman rumah, biasanya akan dilakukan setiap hari, tetapi karena bangun kesiangan dan harus segera pergi bekerja, pada akhirnya ia percayakan kepada Izhar.
Namun, jangan banyak berharap pada suaminya itu. Sebab sudah satu bulan tinggal di rumah, soal membersihkan masih tetap menjadi pekerjaan untuk Gianna. Benar kata abangnya, saat ini dirinya hanya memelihara lelaki tak berguna.
"Kurang tidur, Mbak?"
Gianna terkejut mendengarkan suara dari sebelahnya.
"Ah, Mas Emir," segera ia melihat ke sekeliling, "mau makan siang, Mas?"
Sekarang Gianna akan menuju restoran cabang di Bekasi, meskipun belum sepenuhnya beroperasi, tetapi ia harus datang ke sana untuk melihat perkembangan.
"Iya," jawab Emir, "kamu mau ke mana?"
"Ke restoran cabang di Bekasi," Gianna menoleh ke arah mobilnya, "mau ikut?"
Emir tertawa geli sembari menggeleng. "Aku bisa mati kelaparan di jalan kalau ikut ke Bekasi," ujarnya.
Gianna hendak membalas ucapan tersebut, tetapi ekor matanya dapat menangkap sosok yang ia kenali turun dari mobil bersama seorang balita. Segera dirinya berjalan ke mobil tanpa pamit kepada Emir.
"Mampus gue," gerutunya, "ngapain, sih si Izhar."
Dari balik kaca bisa dilihatnya Emir kebingungan mendapati Gianna terburu-buru pergi. Ia segera mengambil ponsel dan mengirimkan pesan kepada Emir, mengatakan harus segera berangkat karena bos telah menunggu.
Gianna menyalakan mesin mobilnya, sementara mata masih mengawasi keberadaan Izhar yang masuk ke dalam restoran bersama Zein. Jantung Gianna mulai berdegup cepat, pasti kedua pria itu akan bertemu dan bertengkar.
"Semoga nggak berantem," Gianna mulai memundurkan mobilnya dan keluar dari area parkir, "Zein ada di sana, pasti Emir nggak bakal macam-macam."
Untuk saat ini, hal itulah yang ada dalam pikiran Gianna agar bisa tenang meskipun hanya sebentar. Mobil mulai menelusuri jalanan ibu kota, ia melirik ke arah spion, sebenarnya lebih berharap jika Izhar mengejarnya dan keluar dari restoran agar tidak bertemu Emir, tetapi nyatanya tak dilakukan oleh pria itu.
Dering ponsel menyita perhatian Gianna, segera menepi ke area parkir mini market dan menerima telepon dari sang suami. Ya, setidaknya ia harus tahu bahwa Zein tak lagi dipertontonkan pertengkaran. Kemarin dirinya sudah berbuat kesalahan, maka sekarang tak boleh terulang lagi.
"Gi, kamu di mana? Ini Mas sama Zein udah di restoran." Tanpa menyapa, Izhar langsung pada intinya.
"Aku lagi di luar, Har, mau ke cabang di Bekasi." Gianna menahan diri untuk tidak menanyakan situasi di sana.
"Cabang? Bang Gavin buka cabang lagi?"
"Iya," jawab Gianna, "kamu—"
Ucapan Gianna terhenti kala mendengarkan percakapan di ujung sambungan antara Izhar dan pelayan. Jantungnya berdetak tak menentu, sangat cemas dengan pertemuan kedua Izhar dan Emir yang tak direncanakan.
"Gi, di sini ada Pak Emir."
Gianna menahan napas beberapa detik, kemudian membuang dengan kasar, berusaha menghilangkan paniknya. "Pak Emir? Siapa?" tanyanya.
"Ayahnya Devira, kayaknya Mas harus pergi, mumpung Pak Emir belum lihat ke sini."
Dalam hati Gianna mengiyakan, tetapi mulut berucap berbeda. "Kenapa harus kabur? Kan, yang salah bukan cuma kamu, tapi anaknya juga. Kalian, kan, ngelakuinnya suka sama suka," ucapnya, dengan nada mengejek.
"Mas salah bahas ini sama kamu," Izhar terdengar geram, "hati-hati di jalan, jangan ngebut." Mengakhiri sambungan.
Gianna tertawa geli mendengar reaksi suaminya itu. "Marah? Dih, dipikir dia masih berharga. Lo ngambek juga, gue nggak peduli."
**
Hello guyssss
Aku dataaaang
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...