Hampir menjelang tengah malam, Gianna pulang ke rumah. Seharusnya ia segera pulang setelah menyelesaikan makan malamnya bersama Emir, tetapi diurungkan karena Emir mengajak untuk nonton di bioskop.
Orang-orang di sekitar mungkin melihat mereka berdua adalah suami istri terpaut lima belas tahun, tetapi jika tahu kebenarannya, mungkin Gianna akan dilihat seperti perempuan paling menjijikkan di dunia.
Ah, ia jadi ingat ketika Devira hanya bisa menunduk dan menerima caciannya di hari itu. Mendengar tak ada satu pun teman kuliahnya yang datang menjenguk, sudah menjelaskan bahwa Devira dibuang begitu saja dalam pertemanan.
Lantas, jika Gianna ketahuan mendekati Emir, akan ada orang yang juga meninggalkannya?
Ia membuka pintu kamar, di sana terlihat Izhar duduk di tepi ranjang, sembari menepuk pelan bokong sang anak. Setelah ketahuan selingkuh, pria itu memang mencoba lebih hangat kepada anak dan istri. Jika Zein terlihat senang, berbeda dengan Gianna yang selalu mengucapkan kata 'tumben' di setiap perlakuan Izhar.
"Dari mana?" tanya pria itu dengan nada dinginnya.
Alis Gianna terangkat, suara Izhar bak mengibarkan bendera perang. Hei, seharusnya Gianna yang melakukan hal tersebut lebih dulu, bukan pria yang dianggapnya rendahan.
"Jalan bareng teman." Gianna menjawab dengan santai, ia sama sekali tak berbohong bukan?
"Siapa?" Lagi-lagi dengan nada dingin. "Meskipun jalan bareng teman, setidaknya kabari orang rumah. Mas telepon karyawan di restoran, katanya hari ini kalian nggak ada janjian ketemu."
Baiklah, Gianna memang salah tak mengabari, tetapi Izhar tak punya wewenang memarahinya seperti ini, layaknya pria itu selalu mengabari apa yang dilakukan di luar sana bersama perempuan lain.
Meski begitu, Gianna sempat menahan napas saat mendengarkan Izhar menelepon karyawan restoran. Itu berarti mereka masih saling berkomunikasi, bukan?
"Anggap aja balas dendam," ucap Gianna, malas berdebat, "terima aja, aku juga punya kehidupan lain, bukan hanya terkurung di rumah nungguin suami pulang dari selingkuh."
"Gi."
Gianna melihat dada Izhar mulai naik-turun, menandakan tengah berusaha meredam emosi. Beruntung malam ini Zein tidur bersama mereka, membuat Gianna tak akan melewati malam dengan pertengkaran berkali-kali.
Jika dipikir-pikir, ia pun bosan, telinganya pengang karena terus bertengkar dengan suaminya. Ditambah lagi mulutnya ini tak akan berhenti membantah dan membalas setiap ucapan Izhar. Otaknya sudah berusaha menyuruh berhenti, nyatanya mulut bekerja sendiri.
"Aku mau mandi," ujarnya, "mending tidur, berhenti berdebat. Mau kamu ngeluarin seribu kata, nggak bakal menang dengan dua kata yang aku ucapkan. Kamu selingkuh." Menekankan dua kata terakhir.
**
Emir : Anak saya udah mulai makan lahap, Bu.
Informasi dari Emir membuat alis Gianna bertaut. Jika seseorang dalam keadaan depresi, kemudian mulai menunjukkan tanda-tanda membaik, apakah itu berarti ada sesuatu yang membuatnya sembuh?
Gianna mulai memikirkan hal tersebut, karena Emir tidak mengatakan mengapa bisa terjadi. Sejauh Gianna berbincang dengan Emir, tak pernah sekalipun ia mendengar pria itu mengatakan bahwa Devira telah dirundung oleh istri Izhar di indekos dan disaksikan oleh teman-temannya.
Itu mengapa sampai sekarang Emir kebingungan, mengapa hanya karena melepaskan pria hidung belang, Devira malah menjadi anti sosial. Apakah Emir melakukan saran Gianna untuk mempertemukan Devira dengan teman-temannya agar merasa terhibur?
"Ah, nggak mungkin, pasti Devira bakal makin tertekan," gumamnya.
Kerutan di dahinya semakin bertumpuk, Gianna tak mendapatkan jawaban. Hingga wajah Izhar terlintas di kepalanya, membuat bibirnya tersenyum.
"Oh, jadi gitu." Gianna mengangguk paham.
Segera ia bangkit dari ranjang, menuju ruang nonton, di mana suaminya kini tengah duduk menonton sendirian, padahal waktu sudah melewati tengah malam. Sebelum benar-benar keluar, Gianna melihat ponsel Izhar berada di atas meja rias, segera ia mengambil gawai tersebut.
"Har," panggilnya pada Izhar.
Pria itu menoleh.
"Cariin nomor Devira." Memberikan ponsel tersebut pada sang suami.
"Buat apa?"
Gianna meneliti dengan seksama ekspresi Izhar, sangat waspada, bahkan tangannya kaku untuk menerima ponsel tersebut. Ia menarik kembali ponsel itu dan mulai mencari sendiri.
"Siapa namanya di sini?" tanyanya, "Ayang? Beb? Cinta? Sayang? Baby?"
"Gi," Izhar berdiri dari duduknya, "buat apa?"
"Buat nelpon dia, tanya kabarnya, masih napas apa udah enggak?"
Izhar menghela napas begitu kasar. "Nggak aku simpan, nggak pernah aku simpan."
Gianna menatap penuh curiga. "Berarti hapal?"
Suaminya itu tak menjawab, benar-benar bergeming seperti batu. Dari diam itu, Gianna sudah mendapatkan jawaban. Astaga, ternyata Devira memang sudah menyita pikiran Izhar, ia jadi curiga, selama berada di rumah, apakah pria itu masih memikirkan asmara bersama perempuan tersebut?
"Berapa nomornya?" tanya Gianna, penuh penekanan. "Nggak kamu kasih tahu, aku pergi sekarang juga bawa Zein dan nggak akan balik ke sini lagi."
Izhar menelan ludah susah payah, dulu ia akan mengabaikan Gianna jika mengeluarkan kata-kata mengancam, tetapi kali ini tidak. Istrinya itu sama sekali tak bisa diabaikan, ia tak bisa berpaling, meskipun lidah menjadi kaku, tetapi hati bersorak menyuruh untuk menuruti.
Ia mulai menyebutkan angka yang bisa membuat Gianna menghubungi Devira, meskipun sebenarnya Izhar masih sangat ragu, takut akan terjadi hal serupa seperti hari itu. Mendengar keadaan Devira dari Emir saja sudah membuat prihatin, apalagi jika ditambah dengan rencana Gianna yang ingin menghubungi Devira malam ini.
"Nggak aktif," ucap Gianna, setelah dua kali berusaha menghubungi Devira, "yakin, ini nomornya? Nggak ngarang, 'kan?"
"Itu beneran nomornya Devira, Mas nggak bohong, Gi." Izhar memelas, meminta untuk dipercaya dan jangan lagi mencurigainya.
Gianna masih sangat curiga, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Mau dipaksa pun, jika Izhar tak ingin jujur, maka tak akan berhasil.
"Kamu percaya, kan, sama Mas?"
"Nggak akan ada yang percaya setelah dibohongi," ketus Gianna, "dan sampai sekarang pun, aku belum bisa terima alasan kamu, kenapa bisa berkhianat."
"Gi," lirih Izhar, "mau sampai kapan pernikahan kita kayak gini? Mas udah berusaha buat perbaiki, tapi kamu kayak... udah...." Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Mati rasa?" sela Gianna, kemudian tertawa miris, "kalau udah tahu, kenapa nggak kabur aja, cari perempuan lain. Itu, kan, bakatmu."
"Gi." Izhar tak bisa berkata-kata.
Ia tahu bahwa menimbulkan rasa percaya yang pernah dinodai, akan sangat sulit. Meskipun begitu, Izhar tetap berusaha mencoba, sebab ia ingin keluarga ini bertahan selama-lamanya. Jika memikirkan dirinya tanpa Gianna dan Zein, rasanya dunia akan runtuh.
Harusnya Izhar tak berkhianat, hanya karena merasakan satu kekurangan dalam dirinya, ia malah harus kehilangan kebaikan istrinya. Sangat menyesal, harusnya ia menjadi pria yang lebih bersyukur, menutupi kekurangan dengan rasa syukur, dan berhenti mencari kesempurnaan.
"Aku tahu ada yang kurang di aku, Har, tapi bukan berarti aku mau harga diriku diinjak-injak," ucap Gianna, "jadi, selama kemarahan masih ada di dadaku, kamu terima saja, kalau udah lelah, silakan pergi."
**
Hai 😁
Kalian sehat?
Jangan lupa makan.Yuk, vote dan komen 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
Любовные романыGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...