22 : Harus Apa?

10K 774 4
                                    

Sepulang sekolah Izhar membawa anaknya ke rumah sang ibu, bukan untuk dititipkan, tetapi ia datang meminta saran untuk kehidupan rumah tangganya yang kini sangat berantakan. Ya, Izhar tidak akan menyalahkan istrinya, sebab di sini yang memulai adalah dirinya sendiri.

"Percuma kamu datang ke sini minta saran, kalau dilakuin lagi, hanya bikin mulut Ibu capek ngomong ke kamu," ucap Susanti.

"Bu," Izhar terus mengikuti ibunya dari belakang, "minimal dengerin dulu, Bu."

Stefy yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, akhirnya gemas melihat keduanya. "Ngomong, cepat. Kakak dengerin," suruhnya, "tapi awas aja pulang dari sini kamu nggak berubah, kutikam kau!"

Izhar menarik kursi di sebelah kakaknya, menatap mata tajam wanita itu. "Kak, aku beneran jadi laki nggak guna," memulai bercerita, "aku nggak tahu bersihin rumah dan masak, pulang kerja Gianna yang ngerjain semuanya."

"Terus? Itu hanya tentang kesadaran kamu ngambil tindakan, kalau diam aja, yang ada istrimu ninggalin kamu," ujar Stefy, "semua dari kesadaran aja. Udah lebih dari sebulan Gianna kerja, dan kamu nggak inisiatif bantu dia di rumah. Jangan salahkan siapa-siapa kalau dia lebih milih cerai."

Izhar tahu itu, tetapi sering dicobanya untuk mengambil sapu, alat pel, mencuci piring, yang ada dirinya malah jadi kesal sendiri karena harus mengulang pekerjaan ketika dirasa kurang bersih, lama-kelamaan dirinya memilih menyerah melakukan, dan terbiasa dengan Gianna yang menuntaskan semuanya sendiri, membuat Izhar menjadi lebih santai.

Namun, melihat kemarin saat istrinya kelelahan sepulang kerja dan masih menyempatkan diri mencuci piring serta menyetrika segunung pakaian, membuat hatinya teriris melihat semua itu. Akhirnya Izhar pun sadar bahwa tak banyak membantu dan malah menjadi beban.

"Salah Ibu yang terlalu dengerin ayahmu," Susanti menyahuti dari dapur, "dia sering larang Ibu buat nyuruh kamu nyapu atau sekadar cuci piring, sekarang malah jadi nggak guna gini."

"Dan satu lagi, ngikutin jejak ayah yang suka selingkuh," imbuh Stefy.

"Huussst... Ayahmu udah tenang di sana, jangan kamu ungkap lagi kejahatannya." Susanti menegur anaknya itu. "Tapi kalau buat pelajaran, kayaknya nggak apa-apa."

Stefy tertawa renyah. "Itu risiko, berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dan ingat ini juga Izhar, sampai kapanpun kamu nggak bakalan dihormati anakmu kalau tahu kedok ayahnya seperti apa di luar sana."

Izhar menelan ludah susah payah. Sungguh, ia tahu itu, tetapi saat melakukannya, semua yang nama risiko, dosa, dan karma, seketika terlupakan begitu saja. Dirinya benar-benar terlena akan kesenangan dunia, hingga lupa daratan.

"Terus, Kak, aku harus gimana?" tanyanya, meminta saran.

"Lah, kok, nanya?" Stefy membalas dengan sinis, "cari kerja sono."

Izhar mengembuskan napas kasar. "Terus anakku? Siapa yang jaga?"

Stefy kembali tertawa. "Siapa suruh selingkuh, kalau gini, kan, Gianna yang jagain anakmu. Kamu pulang kerja enak, udah ada makanan di atas meja, disambut dengan senyum, punya teman cerita. Sekarang?" Berdecak berkali-kali, mengasihani sang adik.

"Nggak ada bedanya sama sampah," imbuh Susanti.

Sungguh, baru kali ini Izhar dikatai habis-habisan oleh ibu dan kakaknya. Biasanya jika Izhar meminta saran, kedua orang terdekatnya itu akan menanggapi dengan nada lembut, tetapi saat ini tidak.

"Ayah yang sering membenarkan kelakuan kamu, sekarang udah nggak ada, Har. Jadi, mulai berpikir buat perbaiki diri," Susanti duduk di hadapan putranya itu setelah selesai membuat teh, "nggak perlu kamu mikir anak, karena ibunya pasti tetap sayang ke anak. Tapi pikirin istrimu, sejak kecil dia nggak punya orang tua yang jadi tempat mengadu."

**

Saat Gianna masuk ke dalam rumah, wangi apel menusuk indra penciumannya. Sebelumnya, jika menginjakkan kaki di lantai terasa digelitik oleh pasir dan debu, kali ini tidak. Lantai rumahnya kini mengkilap dan tak terasa menempel kotoran.

Saat dirinya menaruh sepatu di rak, ia mengernyit tak mendapati kaus kaki sang anak yang biasanya berhamburan di sana. Gianna menoleh ke arah Izhar yang tersenyum bahagia.

Pria itu mendekat dan merentangkan tangannya, bersiap memeluk sang istri, tetapi Gianna mundur beberapa langkah dan menatap tajam penuh ancaman. Sampai saat ini pun, Gianna masih tak sudi dipeluk oleh Izhar.

"Kamu nyewa tukang bersih-bersih?" tuduhnya.

Izhar menggeleng cepat. "Nggak, aku ngerjain semuanya sendiri."

Gianna tidak langsung percaya. Dirinya menuju dapur dan memeriksa keadaan di sana, benar-benar bersih. Ia masih curiga dan membayangkan yang tidak-tidak. Ya, tak ada yang bisa menebak jalan pikiran Izhar, oleh karena itu Gianna pantas curiga.

"Kamu bawa pacar barumu ke rumah buat bersih-bersih?" Itulah asumsi yang pertama kali muncul di kepalanya.

"Astaga, Gianna!" sentak Izhar, sungguh terluka mendengarkan tuduhan tersebut. "Pernah nggak, sih, kamu lihat Mas dari sisi positif?"

Gianna menggeleng. "Nggak pernah. Sekali berbuat salah, sampai kapanpun di mataku seperti itu," ketusnya.

Ia menuju pintu belakang rumah, memeriksa pakaian kotor yang ternyata kini sudah berada di jemuran. Saat disentuhnya pakaian tersebut, masih terasa sedikit lembab. Lagi-lagi dirinya menengok ke arah suami, menilai perlakuan aneh yang baru ditemukannya seumur hidup.

"Dia di kamar tamu?" Gianna kembali masuk ke dalam rumah.

"Apa, sih, Gi." Izhar mengikuti, mencegah sang istri yang berjalan cepat ke kamar tamu.

Dari sentuhan di baju yang berada di jemuran, membuat Gianna mengambil kesimpulan bahwa seseorang yang membantu Izhar masih berada di rumah ini. Lagi pula, jika orang itu adalah perempuan, bukan berarti Izhar membiarkan menyuruh pulang tengah malam begini.

Gianna membuka pintu kamar tersebut, mendapati seseorang tertidur lelap di sana. Saat melihat wajah yang terlihat lelah itu, Gianna segera berbalik dan memukul suaminya bertubi-tubi.

"Kenapa nyuruh Ibu bersih-bersih? Hah?" Gianna mempercepat pukulannya, "kamu nggak kasihan lihat Ibu? Beliau udah tua, aku masih bisa bersihin semuanya sendiri."

Izhar meringis, mengelus bekas pukulan Gianna. Jujur, baru kali ini ia dipukuli oleh sang istri dengan membabi-buta, apalagi sampai menendang kaki, beruntung ia menghindar. Saat ketahuan selingkuh, Gianna tak pernah sekalipun melakukan kekerasan, baru sekarang istrinya itu terlihat sangat marah.

"Kamu kalau nggak mampu ngerjain semuanya, jangan pernah libatkan orang tua," Gianna menutup pintu kamar tersebut agar bisa leluasa memarahi suaminya, "kamu nggak kasihan lihat Ibu? Aku juga nggak pernah maksa kamu bersihin semua, karena aku masih sanggup ngelakuin itu."

"Mas cuma mau bantu dikit, Gi, nggak ada niat apapun," ujar Izhar, membela diri, "Ibu tawarin diri buat ngajarin bersih-bersih, Mas juga ikut bantu, kok, nggak semuanya Ibu yang kerjain."

"Sama aja!"

Gianna mengentakkan kaki, kesal dengan keputusan sang suami. Jika memang begitu kejadiannya, itu berarti Izhar datang ke Susanti untuk menceritakan keadaan keluarga mereka. Entah mengapa Gianna malah tak suka, sebab biar bagaimanapun Izhar akan selalu dapat dukungan dari keluarganya.

Tidak menutup kemungkinan di hari esok malah Gianna yang disalahkan atas keadaan saat ini.

**

Masih ada yang nunggu?

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang