11 : Nyaman adalah Senjata

15.5K 1.1K 25
                                    

Gianna baru saja menutup rapat bersama karyawan, seorang pelayan mengetuk pintu dan mengatakan Emir menunggu di meja nomor delapan. Sejujurnya, Gianna ingin melarang Emir agar tidak sering datang dan dengan terang-terangan mengatakan ingin bertemu dirinya.

Tentu saja ia takut seorang karyawan membocorkan kepada Izhar bahwa Gianna berkali-kali didatangi seorang pria dewasa, berkemeja, menaiki mobil civic, dan selalu ramah kepada Gianna.

Mendengar kemarin Izhar menanyakan dirinya kepada karyawan lain, menjelaskan bahwa suaminya itu masih memiliki nomor kontak mereka yang bekerja di restoran tersebut. Padahal, Gianna sudah mencopot perangkat wifi agar Izhar tidak bisa menggunakan internet, tetapi ternyata pria itu rela merogoh kocek untuk paket data internet, di saat tak memiliki pekerjaan.

"Pak," sapa Gianna, "baru pulang kerja, kenapa nggak langsung balik ke rumah?"

Emir tersenyum kecut, sebenarnya ia ingin melakukan hal tersebut, tetapi tiap kali melewati jalan ini, selalu terdapat rasa ingin menghentikan mobil di restoran. Ya, Emir hanya ingin mengobrol dengan Gianna, satu-satunya orang yang tahu kondisinya saat ini.

"Saya nyaman ngobrol sama Ibu," ucap Emir, "Ibu, kan, lebih tahu tentang anak-anak sekarang dibanding saya, makanya saya mau nanya soal Devira yang jadi pendiam."

Devira lagi, Devira lagi, begitulah respons Gianna, meskipun hanya diucapkan dalam hati. Mau menggerutu di depan Emir, yang ada semua usahanya akan sia-sia. Mengaku nyaman saja, sudah menjelaskan bahwa Gianna telah maju selangkah.

"Mau nanya apa, Pak?"

Emir sedikit ragu mengungkapkan, tetapi setelah menarik napas cukup dalam dan membuang kasar, pria itu akhirnya buka suara. "Saya mau bawa Devira ke psikiater, tapi saya bingung, apa harus atau enggak?"

"Harus, Pak, apalagi udah seminggu ini Devira diam mulu, 'kan?" Gianna sengaja mengiyakan, agar terlihat perhatian.

"Udah saya diskusikan dengan istri, tapi katanya nggak perlu, buang-buang duit," cerita Emir, "saya bingung banget, putus sama cowok brengsek malah bikin anak saya kayak gini. Harusnya berbahagia, karena sebelum nikah udah tahu kelakuannya kayak gimana."

Gianna mengangguk setuju. "Harusnya si cowok yang menyesal ninggalin Devira, bukan Devira yang terpuruk. Bapak harus selalu semangati Devira biar lupa sama si brengsek itu."

Memanas-manasi adalah bakat Gianna akhir-akhir ini, sangking ingin melihat Izhar terpojok lagi, ia jadi ingin mempertemukan Emir dengan Izhar dalam kesempatan kedua, tentu tanpa Zein. Ia sangat penasaran, akan jadi apa suaminya itu nanti. Jika langsung masuk rumah sakit, sepertinya Gianna akan sangat bersyukur.

"Iya, itu kenapa saya masih berusaha buat anak saya kembali kayak dulu lagi," ucap Emir, "ngomong-ngomong, saya dan Bu Manajer udah berkali-kali mengobrol begini, kita bisa nggak terlalu formal ngomongnya?"

Ini yang Gianna tunggu, sejujurnya ia ingin mengajukan ide tersebut, tetapi akan menimbulkan kecurigaan jika dirinya yang duluan berkata. Mendengar Emir bertanya dan meminta dengan sopan, membuatnya mengangguk mengiyakan.

"Aku juga rasanya kurang nyaman, tiap ngomong kayak lagi wawancara karyawan baru," Gianna tertawa kecil, "Bapak bisa manggil Mbak Anna aja, aku nggak masalah."

"Kalau gitu jangan panggil Bapak, panggil saja Abang, Mas, terserah Mbak Anna, gimana nyamannya."

Gianna mengangguk. "Ya udah, saya panggil Mas Emir."

Ia tak sabar melihat reaksi Izhar jika tahu ada pria lain yang dipanggil 'Mas' oleh Gianna dengan nada mesra. Apakah Gianna akan segera dikirim ke neraka oleh Izhar? Tidak ada yang tahu.

Emir menyesap kopi di hadapannya. "Ngomong-ngomong, Mbak Anna udah nikah?"

"Udah, tapi nggak berhasil," kilahnya.

Pria itu menatap penuh permohonan maaf. "Maaf, Mbak."

"Nggak, Mas, nggak perlu minta maaf. Itu keputusan aku minta berpisah." Gianna benar-benar menjadi pembohong ulung. "Lagi pula, itu udah cerita lama. Aku ke Jakarta ninggalin kehidupan di kampung. Kalau ngobrol bareng laki lain kayak gini, pasti sekabupaten langsung heboh. Itu kenapa aku nyaman sendiri di sini."

Kampung?

Gianna tak punya kampung, rumah di masa kecilnya yang sekarang ditinggali oleh sang abang, tentu masih berada di kawasan Jakarta. Rumah kakek dan nenek yang dibeli oleh Gavin untuk ditinggalinya dengan Gianna. Jika tak membeli, yang ada saudara dari ibu mereka akan mengusir dan terus memperbincangkan mereka berdua di grup whatsapp.

Sungguh miris. Padahal Gavin dan Gianna hanyalah anak yatim. Beruntung nenek berbaik hati dan menjual rumah itu pada Gavin dengan harga miring.

"Kamu sendirian tinggal di Jakarta?"

Gianna mengangguk. "Iya. Makanya aku bebas keluar rumah tanpa ada yang negur." Ia terkikik geli dengan kebohongan yang dibuat. "Boleh aku minta nomor kontak Devira, siapa tahu bisa jadi teman ngobrolnya."

Mata Emir seketika berbinar. "Ah, kenapa baru kepikiran," segera mengeluarkan ponsel dan menyebutkan nomor kontak milik Devira, "aku rasa dia butuh teman mengobrol."

Gianna melihat deretan nomor tersebut, berbeda dengan nomor kontak yang diberikan oleh Izhar. Tentu saja, saat ini juga ia merasa dibohongi oleh pria sialan itu.

"Sangking nutupin diri dari orang lain, Devira ganti nomor kontaknya. Yang dikasih tahu cuma orang tuanya."

Seketika Gianna membulatkan bibir. Pantas saja nomor yang dihapal Izhar kini tidak berfungsi lagi. Baiklah, ia akui kali ini Izhar benar-benar jujur.

**

Gianna pulang lebih cepat dari restoran, sebab rasa penasarannya sudah menggunung. Ia ingin menghubungi Devira, menanyai kabar dan memberikan perhatian, meskipun semuanya hanyalah dusta belaka.

Belum sempat jarinya mengklik layar ponsel, suara mobil berhenti di depan rumah membuatnya menghentikan niat. Hari sudah malam, jarang sekali ada tamu yang datang di jam seperti ini. Gianna segera mematikan layar ponselnya dan menuju pintu utama.

Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil, sembari menenteng dua kantong plastik. Melihat mertuanya, hati seketika menjadi khawatir. Gianna berusaha menyembunyikan keadaan dingin rumah tangga ini, tetapi nyatanya beliau datang di saat kurang tepat.

"Bu," Gianna cepat menghampiri dan mengambil alih dua kantung plastik tersebut, "kok, datang malam gini, Bu?"

"Kangen sama kalian, udah lama nggak nengokin Ibu. Ibu punya salah atau gimana, sih?"

Gianna menggigit bibir bawahnya, mengikuti mertua dari belakang tanpa membuka mulut. Sampai di dalam rumah, Susanti memanggil nama cucunya berkali-kali, hingga balita itu keluar kamar dan menghampiri beliau.

"Udah lama banget nggak nengokin Nenek, kalian udah lupa sama Nenek?" Susanti memeluk erat sang cucu. "Nggak lagi ada masalah, kan, Gi?"

Gianna menggeleng. "Nggak ada, Bu. Gianna nggak bisa datang karena sekarang udah ambil alih kerjaan Mas Izhar."

"Kenapa gitu?"

"Katanya, Mas Izhar capek kerja dari pagi sampai malam, makanya aku ambil alih, sebelum Bang Gavin dapat gantinya," ujar Gianna, berbohong.

"Terus, sekarang Izhar kerja di mana?" tanya Susanti lagi, kali ini beliau telah duduk di sofa sembari memangku sang cucu.

"Masih nyari, Bu."

Susanti menatap curiga ke arah Gianna. "Kamu nggak lagi bohongi Ibu, 'kan?"

Tubuh Gianna seketika menegang, ia diam seribu bahasa.

"Soalnya tiga minggu lalu Izhar datang ke rumah bareng perempuan, tapi perempuan itu hanya di mobil. Ibu pikir itu kamu, tapi lama-kelamaan hati Ibu nggak tenang tiap mikirin itu."

**

Guys

Aku dataaaaaaang

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang