Izhar : Sayang, jam 7 nanti boleh gak ke restoran Happy? Aku udah pesen meja nomor 8, kita makan malam bareng, ya.
Gianna membaca berulang kali pesan yang dikirimkan oleh suaminya itu. Bukan terharu melihat perubahan dan usaha yang dilakukan Izhar untuk berbaikan, nyatanya Gianna merasa risi.
Ia membuka aplikasi whatsapp dan mengirimkan pesan kepada Emir, memberitahukan keberadaan Izhar nanti pukul tujuh malam. Gianna tahu ini keterlaluan, tetapi selama tak ketahuan, semua akan baik-baik saja.
Lagi pula, pertemuan Emir dan Izhar, cepat atau lambat akan terjadi, sebab ada hati yang dipertaruhkan di sini, dan seorang ayah tidak akan membiarkan itu lepas begitu saja. Apalagi keadaan Devira sudah memperihatinkan.
Pak Emir : Saya segera ke sana, Bu. Makasih informasinya.
Gianna bersandar di kursinya, membaca kembali isi pesan dari Pak Emir yang sangat emosional. Ia yakin, pasti sekarang Emir tengah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Izhar. Apakah akan ada ledakan?
"Pak, kalau bisa rahasiakan saya dari Pak Izhar, ya." Gianna membalas pesan dari Emir.
Hanya itu yang perlu dilakukan, satu setengah jam lagi akan terjadi ledakan di restoran Happy. Gianna sendiri masih bisa memperlambat gerakan karena ia berencana akan menemui Izhar setelah Emir menyelesaikan urusannya.
Gianna hanya ingin memberikan pelajaran pada Izhar, menyadarkan bahwa anak yang dirusaknya masih memiliki seorang ayah yang sangat peduli dan penyayang, bukan seperti Gianna yang sudah yatim.
Setidaknya, jika Izhar tidak mendapatkan teguran dari ayah Gianna, masih ada ayah lainnya yang bisa memberikan perhitungan pada pria hidung belang itu.
Katakan Gianna tega, memang begini adanya. Hal baik saja akan mendapatkan hambatan, bagaimana dengan hal buruk?
Tuhan tidak pernah tidur, bukan?
**
Restoran seafood yang biasanya mereka kunjungi saat Izhar menerima gaji bulanan. Kira-kira sudah tiga bulan lamanya Gianna tak lagi diajak ke restoran tersebut, ia yakini karena mengirit pengeluaran, tetapi ternyata Izhar main di belakang.
Entah sudah berapa banyak perempuan yang diajak ke restoran tersebut. Meskipun tak mempercayai Izhar, tetapi Gianna berharap pria itu masih menghormati dirinya, dengan cara tidak mengajak perempuan lain ke restoran favoritnya.
Gianna menatap pertemuan kedua pria yang kini bersitegang. Kesalahannya adalah membiarkan Zein melihat bagaimana Izhar dan Emir bersiteru. Jujur, terlalu fokus dengan aksinya, ia sangat lupa dengan kehadiran Zein yang pasti selalu diajak ketika mereka pergi makan di luar rumah.
"Maafin, Mama," bisiknya, gemuru di dada benar-benar tak terelakkan, "cepet selesaiin, Har."
Nyatanya malah Gianna yang menjadi tak tenang di dalam mobil. Ingin menghampiri, tetapi tak bisa karena ia sudah sejauh ini melangkah. Gianna mencoba menenangkan pikiran, kehadiran Zein di sana cukup menguntungkan.
Biar bagaimanapun Emir pasti akan berpikir panjang untuk melakukan kekerasan di depan anak. Ya, naluri seorang ayah pasti akan digunakan pada saat itu, apalagi Emir adalah pria yang sudah dewasa. Umurnya pun sudah menginjak kepala empat.
Astaga, di saat seperti ini nyatanya Gianna masih memikirkan keselamatan Izhar. Padahal, sebelumnya ia menginginkan akan ada adegan bogem yang mendarat ke pipi suaminya itu. Ternyata kehadiran Zein membuat angannya harus terhempas.
Gianna bersiap keluar dari mobil saat melihat Emir kini berjalan menuju mobil dengan kaki yang dientak cukup kasar, khas orang yang sedang menahan amarah. Saat mobil Emir meninggalkan area parkir, barulah Gianna keluar dari mobil dan bergegas menuju restoran.
Ketika berada di sana, ia langsung menuju meja nomor delapan. Di sana Izhar tengah duduk menunduk, sedangkan Zein berada di pangkuannya. Anak itu terlihat sangat ketakutan, membuat Gianna merasa bersalah. Ah, harusnya ia berpikir panjang sebelum memutuskan.
Akan tetapi, bukannya menghampiri dengan wajah khawatir, Gianna segera mengganti ekspresinya menjadi santai, seakan tak terjadi apa-apa.
"Kalian udah lama?" tanyanya, "udah lama nunggu, Sayang." Gianna mengambil alih putranya dari pangkuan Zein.
Berusaha terlihat seperti melepas kangen, setelah hampir sepuluh jam tak bertemu Zein. "Kangen Mama, nggak?"
Ditatapnya begitu intens putra semata wayangnya itu, ada ketakutan di sana. Gianna tak sanggup, dipeluk erat dan dikecupnya berkali-kali puncak kepala Zein, merasa bangga anaknya bisa melewati kepahitan dalam hidup dan berharap menjadikan semua ini pelajaran.
"Kami baru datang, kok," ujar Izhar pada akhirnya.
"Oh ya," Gianna membalas dengan santai, "Mama nggak telat, dong?"
Zein malah menatapnya seakan meminta perlindungan, Gianna kembali memeluk anaknya yang berada di pangkuan, memberikan ketenangan. Dalam hatinya berbisik kata maaf berkali-kali, meskipun tak didengarkan oleh Zein.
"Kamu udah pesen, Har?" tanyanya.
"Udah, seperti biasa." Izhar yang duduk di seberang Gianna, mengulurkan tangan dan meraih tangan milik istrinya.
Gianna menajamkan tatapan, menuntut suaminya itu untuk melepaskan tangannya. "Aku nggak pernah ingat, nyuruh kamu pegang tanganku," ketusnya.
Izhar menatap penuh permohonan. "Sekali ini saja," pelasnya.
Hanya dengan menyentuh jemari sang istri, ia merasakan kehangatan yang sangat dalam. Penyesalan sudah ditelannya bulat-bulat, tetapi tetap saja muncul ketika menerima perlakuan dingin dari sang istri.
"Tadi Mas ketemu ayahnya Devira, ternyata selama ini dia nyariin, Mas," cerita Izhar.
Tanpa diberitahu pun, Gianna sudah mengetahuinya. Astaga, bagaimana jika Izhar tahu bahwa ialah yang mengatur pertemuan keduanya terjadi malam ini? Mungkin suaminya itu tidak akan menyangka?
Gianna tertawa dalam hati, akhirnya ia tahu bagaimana rasanya membodohi orang dengan kebohongannya.
"Dia marah besar pas tahu kalau Mas udah nikah," imbuh Izhar, "maafin, Mas, karena sempat bicara omong-kosong ke Devira."
Gianna menyeringai. "Janjiin pernikahan?"
Izhar dengan rasa menyesalnya, mengangguk dan mengiyakan pertanyaan tersebut.
"Terus, kenapa nggak ditepati janjinya?"
"Kamu tahu jawabannya, Gi, Mas udah punya kamu dan Zein. Lagian, janji yang Mas ucapkan ke Devira itu hanya bualan, nggak ada seriusnya."
Gianna berdecak prihatin mendengar ucapan Izhar. Pria itu memiliki otak dan hati, tetapi tak digunakan. Sekarang Gianna tahu apa yang lebih busuk dari kotoran, yaitu Izhar. Bahkan mungkin jika disandingkan dengan sampah, orang-orang pasti lebih memilih sampah karena masih bisa didaur ulang.
Izhar menggenggam erat tangan istrinya, meskipun wanita itu menatap sangat tajam padanya. "Maaf banget, Mas nggak ada maksud apa-apa, hanya untuk senang-senang aja."
"Kasihan banget," ucap Gianna, "kasihan banget Zein punya Papa kayak kamu, Har. Apa yang bisa dia contohi dari kamu?"
Memalingkan wajahnya, Izhar pun mengakui bahwa ia benar-benar sangat rendah.
"Nggak ada, Har. Di mataku sekarang kamu benar-benar angka nol, kosong, otak dan hati kamu udah nggak berfungsi. Kamu lebih rendah dari kotoran."
Izhar menelan ludah susah payah, baru kali ini Gianna mencercanya dengan kata-kata sadis. Namun, entah kenapa Izhar sangat setuju. Harusnya ia tak melangkah terlalu jauh, dan malah menggunakan anak orang lain untuk kesenangannya.
"Harusnya ayah Devira bunuh kamu, bukan dibiarin hidup kayak gini. Jadi aib keluarga itu nggak ada untungnya, susah buat dihapus, akan tetap mengakar sampai ke anak-cucu," Gianna tersenyum miris, "harusnya kamu lebih tahu itu dibanding aku, Har."
**
Vote dan komen gesss
Yuk, semangaaaat. Ayo mencapai 1K view!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...