30 : Tidak Bisa Begini

10.1K 674 2
                                    

"Kalau datang hanya untuk mengeluh di sini, mending kamu pulang aja," Gavin menatap kesal kepada adik iparnya, "dunia nggak selamanya berpihak di kamu, semua ada balasannya."

Izhar tahu bahwa menemui Gavin adalah sebuah hal terbodoh yang dilakukan. Namun, hanya ini cara yang dipikirkan ketika memikirkan bahwa istrinya bermain gila dengan pria lain di belakangnya. Ya, Izhar mengadu kepada Gavin, tetapi responsnya malah seperti itu.

"Tolong, Bang, tolong ngomong ke Gianna buat berhenti," pelas Izhar.

Di sebuah kafe yang berada tepat di depan kantor Gavin, mereka bertemu pada jam makan siang. Izhar meminta untuk bertemu, meskipun sebelumnya telah mendapat cercaan dari Gavin, tetapi ia benar-benar memberanikan diri.

"Lo aja suaminya nggak didengerin, apalagi gue," Gavin mendengkus, "biarin dia main-main, udah lama Gianna kekurung di rumah, ngurusin anak dan suami yang selingkuh. Nanti juga dia bakal berhenti, biar bagaimanapun dia seorang ibu, pasti mikirin perasaan anak."

Izhar hampir saja mendengkus andai tak ingat bahwa di hadapannya ini adalah Gavin, pria yang bertubuh besar dan lebih tinggi darinya. Ya, Izhar tak punya kekuatan jika sampai terjadi adu otot hanya karena dirinya salah bersikap dan berucap.

"Jadi, Abang mau biarin Gianna kayak gitu?" tanyanya, penuh kehati-hatian.

Gavin mengangguk. "Gue nggak ada niat negur. Gimana rasanya istri selingkuh?" Senyumnya tak bisa ditahan kala melihat lawan bicaranya tersebut tak berkutik.

Izhar membuang pandangan sebentar, kemudian kembali menatap abang iparnya. "Tapi aku maunya Gianna berhenti, kalau kayak gitu, apa bedanya dia sama aku, Bang?"

Ditanya begitu, Gavin menghela napas kasar. "Nggak ada bedanya, sama-sama berbuat tanpa ingat risiko. Dari kemarin udah gue bilang, lepasin Gianna, sampai kapanpun dia nggak bakalan puas nyakitin lo."

Izhar menggeleng. "Nggak, aku cinta sama dia, Bang."

"Kalau Cinta, nggak bakal nyakitin. Dan kalau Gianna juga merasa cinta, pasti dia milih maafin, dibanding balas perbuatan lo."

Tercenung, ucapan Gavin ada benarnya, tetapi sebagaimana pelaku, Izhar sekuat tenaga menyangkal. Ya, bukan itu ucapan yang ia inginkan dari Gavin, bukan itu. Izhar hanya berharap kakak iparnya itu sependapat dengannya, dan menghentikan aksi Gianna.

"Mau lo ngaduin ke gue tentang Gianna yang gini, Gianna yang gitu, sebagai abangnya, gue bakalan tetap bela adik gue," ujar Gavin menohok, "apalagi setelah ketahuan lo yang duluan sakiti dia, gimana bisa gue turuti kemauan lo?"

Izhar menggigit bibir dalamnya, tak mampu membalas kata-kata tersebut. Dilihat dari raut wajah Gavin, tak ada rasa ingin menarik kata-kata, itu adalah ketetapan tanpa keinginan menghapus kembali.

"Pas tahu Gianna masih mau nerima lo, gue bener-bener marah, sampai nggak bisa tidur mikirin nasib adik gue seatap sama laki kayak lo," jelas Gavin, "tapi setelah denger tentang dia yang balas dendam, gue jadi tenang, Har, ternyata adik gue nggak terlalu bego."

"Berarti Bang Gav bakal biarin Gianna kayak gitu?" Sebenarnya Izhar sudah tahu jawabannya, hanya saja ia ingin bertanya satu kali saja, agar sadar bahwa dunia ini benar-benar tak memihak kepadanya.

"Iya, Gianna pasti tahu batasan, karena gue kenal adik gue lebih dari siapa pun."

Benar, Izhar tahu bahwa di dunia ini yang paling mengenal Gianna adalah Gavin. Sebab, saat Izhar mengatakan istrinya itu berkhianat, Gavin malah tersenyum senang. Di sini hanya dirinya yang terkejut bahwa sang istri bisa membalas setiap perbuatannya. Ternyata, tujuh tahun bersama tak membuat Izhar benar-benar mengenal Gianna.

"Tapi aku harus berhentiin dia sebelum kelewatan," ujar Izhar.

Gavin mengangguk. "Silakan, kalau bisa." Nadanya menantang sang adik ipar. "Kalian pacaran dua tahun, emang nggak pernah lihat sisi Gianna yang kayak gini?"

Izhar menelan ludah, kemudian menunduk dan membuang napas kasar. "Sifat dia dari dulu lembut, Bang."

"Berarti selama ini lo yang kena tipu Gianna," Gavin tertawa renyah, "dia punya sikap pendendam, mama kami masih hidup sampai sekarang, tapi Gianna selalu anggap udah mati."

Izhar tahu itu, saat Gianna umur delapan tahun ditinggal menikah oleh sang ibu, kemudian ibunya ikut bersama suami, tanpa membawa serta Gavin dan Gianna. Bahkan saat pernikahan Gianna dan Izhar, sampai acara selesai pun kehadiran sang ibu sama sekali tak ada.

"Dia sama sekali nggak ngundang mama waktu pernikahan kalian," cerita Gavin, "pas Zein umur tiga tahun, saat itu mama baru tahu kalau Gianna udah nikah. Itu pun gue yang ngasih tahu. Dia kalau udah dendam, Har, lama hilangnya. Bertahun-tahun."

**

"Kemarin suami saya ke sini, ketemu sama siapa aja?" tanya Gianna kepada Arika.

Perempuan itu terlihat bingung. "Emangnya Pak Izhar kemarin ke sini, Bu? Kok, saya nggak lihat?"

Gianna menilik manik milik lawan bicaranya, tak terlihat kebohongan di sana, membuat ia berdecak. "Tanyain ke yang lain, siapa aja yang ketemu sama Pak Izhar," perintahnya.

"Baik, Bu." Arinka segera keluar dari ruang kerja atasannya tersebut.

Gianna bersandar pada kursi, memejamkan mata bermenit-menit lamanya, demi ketentraman hidup. Sudah ia duga, Izhar tak berkutik melarangnya untuk berhenti bekerja, sebab hanya di sinilah tempat mereka mencari nafkah. Jika mencari lagi, akan menemukan proses yang sangat panjang.

Tadi pagi sebelum pergi bekerja, Gianna melakukan kegiatannya seperti biasa, membersihkan rumah, kemudian membuat sarapan. Jika dua hari saat Izhar pergi, Gianna hanya memasak sedikit, kali ini kembali ke porsi awal.

Satu hal yang membuat Gianna kesal saat Izhar pulang, yaitu baju kotor. Demi apapun, pria itu pulang bukan membawa harapan bahwa telah mendapatkan pekerjaan, tetapi malah membawa baju kotor dan tentu harus Gianna yang mencucinya.

Ia tak tahan lagi, perempuan mana yang tidak merasakan kesal. "Harus aku yang akhiri, sih," gumamnya.

Reaksi Izhar saat mendengarkan sang istri memiliki pacar, membuat Gianna benar-benar puas, ditambah lagi bagaimana Izhar tak berkutik saat dirinya pergi bekerja, sangat tak berdaya. Gianna puas melihat itu.

Seperti telah menggenggam satu dunia di tangannya, dan kapanpun bisa dihancurkan hanya dengan mengeratkan genggaman tersebut. Ya, begitulah Izhar di mata Gianna saat ini.

"Langkah selanjutnya, hanya perlu buka identitas," ucapnya, "tapi kayaknya jangan dulu, deh." Tersenyum licik.

Dibiarkannya takdir bermain-main sesuai keinginan, nanti jika tak lagi mengikuti alurnya, Gianna akan menyerah dan pasrah. Sejak awal ia tahu balas dendam ini akan berakhir, tetapi tak tahu kapan tepatnya.

Gianna menatap jam yang melingkar di tangannya, hari sudah siang, tentu anaknya sekarang sudah kembali dari sekolah. Ia meraih ponsel dan hendak menghubungi Izhar menanyakan keberadaan Zein, tetapi pesan dari kakak iparnya membuat amarah naik seketika.

Ya, Izhar tak menjemput Zein di sekolah.

**

Hei

Di web/aplikasi karyakarsa udah tamat, ya.

Dan juga ada Bab Bonusnya. Eemm... Bonusnya nanti masih ada lagi, sih, tapi aku kelarin kesibukan di dunia nyata dulu 😁😁

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang