Gianna berdecak kesal saat melihat Izhar berdiri di teras rumah seakan tengah menunggunya. Padahal, Gianna merasa sudah berhasil mengendap-endap keluar rumah, ketika anak muda itu menelepon, memintanya untuk menjemput Emir.
Ya, lagi-lagi harus dibawa ke hotel, sebab tak ada yang mau pergi mengantarkan ke rumah Emir. Irina dan lainnya tak ingin bertemu Devira, begitu pula dengan Gianna. Bukan saatnya ia menampakkan diri ke permukaan.
"Ngapain berdiri di teras?" tanyanya pada sang suami.
Izhar memicingkan mata, menatap penuh selidik ke arah istrinya. "Dari mana kamu?"
Gianna mengangkat kantong plastik di tangannya. "Beli pembalut sama obat nyeri haid," kilahnya.
Ia memang membutuhkan dua benda tersebut, itu mengapa singgah di mini market dulu sebelum benar-benar sampai di rumah. Tak menyangka, rupanya Izhar menunggu di teras. Sebuah kebetulan, bisa dijadikan sebagai alibi.
"Perut kamu sakit lagi?" ekspresi yang tadinya curiga, kini berganti khawatir, "harusnya bangunin Mas, biar Mas yang beliin."
Gianna memutar bola mata. "Kamu tidurnya ngorok, ya kali, bisa dibangunin."
Ia lebih dulu masuk ke rumah, suaminya itu mengikuti dari belakang. Gianna tak berbohong soal mendengkur, Izhar memang biasa seperti itu, bahkan anak mereka akan terbangun tengah malam karena dengkuran tersebut.
"Pergi ke mini market harus pakai baju serapi itu?" tanya Izhar.
Gianna seketika menghentikan langkah. Memang benar, blus merah muda dan rok hitam selutut yang dikenakannya menunjukkan tujuan lain, bukan sekadar ke mini market. Ah, dalam hati ia menggerutu, harusnya tadi membawa jaket, biar bisa ditutupi.
"Aku buru-buru, yang keambil hanya baju ini. Mana mungkin aku keluar rumah pakai piyama," kilahnya.
Izhar yang telah mengunci pintu utama, menyusul istrinya dengan langkah cepat. "Buru-buru karena apa?"
Bukan bermaksud mencurigai, ia hanya khawatir istrinya mendapatkan masalah di luar, dan malah disembunyikan dari dirinya. Waktu itu Emir datang marah-marah padanya, tak ingin hal serupa terjadi pada sang istri. Izhar takut malah Gianna yang kena batunya.
"Buru-buru karena perutku makin sakit," lagi-lagi kebohongan, "aku udah baikan, mau langsung tidur."
Segera melangkah cepat menuju kamar, nampaknya Izhar tak menaruh curiga setelah ia mengatakan pergi ke mini market. Hanya saja, wajah khawatir pria itu seakan menyiratkan ada ketakutan selain nyeri haid yang dialami sang istri.
**
Sampai siang pun Emir belum juga menghubunginya seperti kemarin saat sadar bahwa telah merepotkan Gianna ketika sedang mabuk. Bukan berarti Gianna menunggu pujian, hanya saja, jika Emir tak menghubunginya, sama saja hubungan yang telah lama coba dijalin, akan putus seketika.
Gianna menggelengkan kepala dengan cepat, ia tak harus berpikir hal-hal buruk di masa depan, sebab itu akan mempengaruhi kinerjanya dalam melaksanakan ambisi dalam dirinya.
"Kamu bakalan cepat tua kalau sering mengerut alis kayak gitu."
Teguran dari seseorang itu, membuat Gianna menatap ke asal suara. Mata hampir keluar dari tempatnya, ia sangat terkejut karena Izhar mulai berani menampakkan diri di restoran tersebut.
"Ngapain ke sini? Aku nggak tanggung jawab kalau ada yang laporin ke Abang," ucap Gianna.
"Mas mau jemput Zein, lagian ke sini bukan untuk kerja, tapi mau lihat istri Mas yang lagi kerja."
Dibanding bekerja, Gianna malah lebih banyak melamun di ruangannya. Hanya karena Emir belum menghubunginya, membuat Gianna tak fokus dalam melakukan pekerjaan. Ia terus menatap layar ponsel, seperti orang yang tengah kasmaran.
Ah, kasmaran?
Gianna sudah lupa dengan rasa itu, meskipun sering bertemu Emir, bukan berarti ia bisa jatuh cinta pada pria yang memiliki anak berusia 21 tahun. Tujuh tahun lebih muda dari Gianna, bahkan dari wajah saja, mereka terlihat masih seumuran.
"Bawa apa?" Gianna menatap paper bag yang ada di tangan Izhar.
Pria itu tersenyum tulus. "Buat kamu," katanya, sembari menaruh paper bag itu ke atas meja kerja Gianna. "Buka dong."
Selama hubungan mereka baik-baik saja, bisa dibilang Gianna jarang menerima hadiah, bahkan saat ulang tahunnya, Izhar kadang lupa memberikan ucapan dan hadiah. Melihat apa yang diberikan oleh suaminya itu, membuat ia menyeringai.
"Keren juga," pujinya, ketika melihat isi paper bag tersebut.
Saat itu juga Gianna mendengar suara kursi di depannya yang ditarik oleh Izhar, kemudian pria itu dengan santai duduk di sana, sembari terus menatap Gianna dengan senyum merekah sempurna.
"Kamu suka?"
Harus Gianna akui, sangat menyukai tas berwarna merah tersebut. Meskipun bukan tas branded yang seharga puluhan juta, ia tetap suka karena pasti harga dari tas itu menyentuh satu juta ke atas. Hanya dengan melihat detail desain dan mereknya, Gianna tahu itu adalah tas brand lokal.
"Ini tas termahal yang aku punya. Udah pasti aku suka, tapi akan lebih baik lagi kalau uangnya buat tabungan anak." Gianna menyorot mata Izhar yang seketika kehilangan binarnya. "Karena udah terlanjur beli, jadinya aku bakalan pakek. Nggak mungkin aku sia-siain tas ini."
Izhar menghela napas kasar. "Setidaknya, kalau beneran suka, nggak perlu ada tapinya, dan juga kasih aku senyum, gitu."
Gianna berdecak. "Kamu tahu, kan, aku orangnya nggak suka buang-buang uang untuk hal yang nggak terlalu penting?"
"Gi." Izhar kehabisan kata-kata.
"Bukan berarti aku nggak menghargai pemberian kamu, tapi kita masih punya mobil dan rumah yang harus dibayar setiap bulannya," jelas Gianna.
"Mas bakalan cari kerja, biar mobil kita cepat lunas," Izhar mengatakan dengan sungguh-sungguh, "Mas juga nggak mau dikatain suami nggak guna."
Gianna tertawa miris. "Itu perasaan kamu saja, nggak ada yang ngomong kayak gitu."
"Bang Gavin," Izhar mengulum bibirnya, "dan Mas akui itu benar."
Gianna memicingkan mata. "Terus, anak gimana?" tanyanya.
Mereka sudah memperdebatkan hal ini, dan berakhir dengan pertengkaran kecil. Jika diulang lagi, sudah pasti akan terjadi pertengkaran yang kesekian kalinya di antara mereka.
Gianna menatap Izhar begitu intens, ia telah melewatkan satu hal keuntungan jika Izhar bekerja. Ya, jika suaminya itu bekerja, tidak akan tiba-tiba datang di jam kerja seperti saat ini. Jujur saja, sejak tadi Gianna sangat khawatir Izhar bertemu Emir di restoran tersebut.
"Oke, sebisa mungkin aku bakal coba jemput dari sekolah." Gianna menyela sebelum Izhar menjawab pertanyaan tadi. "Lagian, Zein satu sekolah sama Virgo, nggak mungkin Mbak Bintang biarin Zein sendirian saat nggak ada yang datang jemput dari sekolah."
Izhar menatap ragu. "Kamu yakin? Gimana kalau Bang Gavin marah?"
Ah, rupanya suaminya itu masih takut pada Gavin. Gianna bersorak dalam hati, hal ini menegaskan bahwa Izhar masih memiliki ketakutan dalam diri. Jika nantinya terulang kembali pengkhianatan tersebut, Gianna memiliki tameng yang bisa membuat Izhar tak berkutik.
**
Guys
Vote dan komen yaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...