20 : Cinta itu Sulit

10.9K 791 8
                                    

Pulang ke rumah hanya Zein yang bisa menghapus rasa penat Gianna, melihat wajah Izhar malah membuatnya mengumpat dalam hati. Berkat ucapannya di telepon siang tadi, sekarang Izhar jadi dingin dan sok merajuk, seakan ada yang peduli.

Tepat pukul tengah malam, Gianna bergelut di dapur, memasak untuk mengisi perut. Ya, memang begini adanya, meskipun ia sekarang mencari nafkah, tetapi tetap menyempatkan diri untuk memasak dan membersihkan rumah.

Kadang jika belum mengantuk setelah pulang bekerja, Gianna akan membersihkan rumah terlebih dahulu, agar keesokan harinya sudah tak lagi perlu menyapu, mengepel, dan bisa langsung pergi bekerja.

Gianna tak percaya jika menyerahkan semuanya pada Izhar, tentu tak akan ada yang beres. Baju kotor saja akan menjadi Gunung Rinjani jika Gianna tak turun tangan untuk memasukkannya ke dalam mesin cuci.

Menikmati masakannya sendirian di meja makan, Gianna hampir meneteskan air mata ketika menyadari bahwa hidup ini benar-benar menyedihkan. Di saat mulai berhasil menenangkan hati, Gianna malah mengerti bahwa sekarang hanya berjuang sendiri untuk kebahagiaan.

Bahkan untuk makan setelah lelah pulang bekerja, Gianna harus memasak sendiri. Tak ada yang menyediakan, apalagi menawarkan kehangatan, atau sekadar memuji dirinya hebat dalam menangani dua pekerjaan.

Itu berarti, Gianna berharap Izhar memperlakukannya seperti itu?

Gianna tertawa geli menyadari pemikirannya. Ia meminum habis air di gelas, kemudian menuju bak cuci piring, kembali diterpa kenyataan bahwa alat makan yang kotor selalu menyambutnya ketika pulang ke rumah.

Ia menghela napas berat, mau mengeluh pun rasanya tak bisa, ini sudah menjadi risiko. Gianna pikir mengambil pekerjaan dari Izhar akan membuat pikirannya tenang, nyatanya ia malah memelihara laki-laki tak berguna sama sekali.

Kenapa bisa ia lupa bahwa sejak pertama kali menikah, Izhar memang laki-laki yang sangat tak suka mengerjakan pekerjaan rumah. Sekarang Gianna menyesal menikahi pria itu, benar-benar menyesal.

"Sabar... bentar lagi gue bakal cerai. Kurang dari setahun, nggak ada yang sanggup hidup kayak gini," monolognya.

Setelah mencuci piring, Gianna menuju pintu belakang, di mana terdapat sebuah mesin cuci dan keranjang pakaian kotor. Lagi-lagi menumpuk, menunggu dikerjakan pagi, yang ada dirinya akan telat pergi bekerja.

Mengelus dada berkali-kali, Gianna menghilangkan emosi. Berharap ada yang peka pun, rasanya tak mungkin, itu sama saja menunggu hujan turun di gurun pasir. Tak akan ada yang membantunya, tidak akan ada.

"Aaaarrgh!" jerit Gianna menghilangkan sebongkah kekesalan di dada.

Dadanya naik-turun dengan cepat, jantungnya berdetak cepat, mungkin sekarang wajahnya menjadi merah padam. Gianna ingin marah, tetapi tak tahu ke siapa. Alhasil ia hanya bisa berjongkok di sebelah mesin cuci dan lagi-lagi hanya bisa mengelus dada berkali-kali.

"Sabar... sabar... sabar...," ucapnya.

"Kamu kenapa teriak?"

Gianna tak menoleh, sebab ia tahu bahwa melihat ke arah Izhar hanya akan membuat emosinya kembali meletup-letup. Pria itu tak bisa membuat suasana hati Gianna kembali baik, sebab Izhar pelaku kejam yang membuatnya terpuruk saat ini.

"Ada kecoak," bohongnya.

Tangannya cepat menutup pintu, agar tak lagi melihat wajah Izhar. Gianna ingin menyelesaikan pekerjaan, tanpa harus bertengkar dan semakin membuat suasana hati menjadi sangat buruk.

"Tuhan, jika benar ada kehidupan kedua, jangan pernah buat aku bertemu sama Izhar. Sumpah, aku nggak bakalan kuat kalau sampai ngulang kejadian ini, nggak bakal kuat, Tuhan."

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang