Izhar mengirimkan pesan kepada Gianna bahwa Susanti tak betah di rumah mereka dan memilih pulang tanpa pamit ke Gianna. Tentu ia tak langsung mempercayai suaminya, Gianna menghubungi wanita itu dan menanyakan kenapa pergi tanpa menunggunya pulang dari bekerja.
Jawabannya adalah satu kalimat yang membuat Gianna terharu.
"Ibu nggak betah seatap sama Izhar, mukanya ngingetin banget sama ayahnya. Kamu yang tabah, ya, Nak. Jangan bertahan karena anak, sampai kapan pun sakit kamu nggak bakal sembuh."
Ia sangat bersyukur memiliki mertua yang sepaham, mungkin karena luka mereka sama. Setelah menikah, Gianna sering keheranan mengapa Susanti jarang ikut ziarah ke makam ayah Izhar. Ternyata setelah diceritakan, barulah ia paham dan mewajarkan perlakuan beliau.
Gianna percaya perkataan Susanti, bahwa luka itu tak akan sembuh sampai kapanpun. Sebab beliau sendiri yang sudah menjalani. Tidak ada yang namanya mati rasa, yang mati hanyalah cinta dan timbul rasa yang lain, yaitu benci.
Itulah yang sedang terjadi pada Gianna, tiap kali menyahuti Izhar, pasti nadanya terdengar sangat ketus. Ya, Gianna lupa bagaimana caranya lembut kepada pria itu, atau lebih tepatnya ia tak sudi kembali ke dirinya yang dulu.
"Bukan gitu caranya." Gianna menyela apa yang dilakukan oleh Izhar.
Meskipun hubungan mereka terasa saling mengambil jarak, tetapi ia tak bisa melihat Izhar mengacaukan rumahnya dengan air yang membasahi lantai. Pria itu tengah mengepel, hanya saja terlihat seperti sedang bermain air. Gianna khawatir Zein akan terpeleset jika Izhar meneruskan pekerjaan tersebut.
Gianna mengambil alih alat pel itu, kemudian memeras air yang ada di kainnya. Sembari menggerutu agar Izhar paham bahwa pekerjaan rumah tangga tak semudah memikirkan ide-ide marketing agar banyak pelanggan yang datang ke restoran.
"Sebenarnya bisa aja aku beli alat pel yang bisa diperas tanpa pegang kainnya, tapi aku tunda karena lebih baik beliin jajan buat anak," dumel Gianna, "itulah aku, yang irit di saat suami memilih ngeluarin duit buat selingkuhannya, dibanding peka sama alat-alat rumah tangga."
Gianna menyuruh Izhar untuk menyingkir dari hadapannya. Meninggalkan rumah pada pria itu rupanya adalah keadaan buruk, terburuk, sebab baru Gianna sadari bahwa selama ini sebelum pergi bekerja, dirinya tetap membersihkan rumah dari A sampai Z. Jangan lupakan sarapan dan makan siang untuk suaminya.
Bahkan saat ini Gianna belum juga berganti pakaian, masih mengenakan rok selutut dan kemeja kerjanya, tetapi sudah berurusan dengan alat pel. Beruntung Gianna pulang cepat dari restoran, jika tidak, mungkin akan terjadi hal buruk pada Zein.
"Aku kalau nggak butuh, nggak bakal ungkit soal gaji kamu. Emangnya aku pernah beli sesuatu yang nggak guna? Tas aku aja hanya satu, udah setahun ini aku pakai," Gianna masih belum ingin berhenti mendumel, "itu pun hadiah dari kakak kamu."
Ia melirik ke arah suaminya yang menunduk, memperhatikan dirinya mengepel. Gianna merasa tidak pernah menuntut hidup bergelimang harta, asalkan cicilan rumah, cicilan mobil, dan jajan anak telah terpenuhi, Gianna merasa itu sudah lebih dari cukup.
"Maaf," Izhar hanya bisa membeo.
"Aku nggak butuh maaf, Har, aku butuh kesadaran kamu sebagai suami," ucap Gianna, "lihat anakmu, masih kecil, keinginan jajannya nggak bisa aku tahan. Sebenarnya bisa aja Zein diam saat ingin sesuatu, tapi sebagai orang tua, emang kamu tega ngelihat anak murung?"
Pasalnya mereka berdua terpaut empat tahun, Izhar sudah berusia 32 tahun, sedangkan Gianna 28 tahun. Gianna pikir suaminya akan mengerti arti cukup dan dicukupi, tetapi ternyata tidak. Malah dirinyalah yang dianggap bersalah, terlalu menuntut agar semua gaji diberikan padanya.
Selesai mengepel ruang tamu, Gianna beralih ke ruang nonton. Izhar masih terus mengikutinya, memperhatikan dengan seksama. Gianna risi, ingin mengayunkan alat pel itu ke arah Izhar agar cepat menyingkir dari sebelahnya.
"Mas benar-benar minta maaf, Gi. Kesalahan Mas nggak bisa ditolerir, terserah kamu mau apain, Mas. Tapi jangan pernah milih pisah."
Gianna memutar bola mata, bosan mendengarkan kata-kata itu. "Aku nggak butuh omong kosong, kalau mau berubah, silakan."
**
Katakan Gianna nekat, memang benar adanya. Telepon dari Emir membuatnya tak bisa berpikir jernih, mengambil tindakan dengan iming-iming kesempatan seumur hidup. Ya, Gianna memberanikan diri menemui pria itu di klub malam.
Di sudut sofa VIP terkapar seorang pria dan beberapa anak muda yang menggoyang pelan tubuh beliau, mencoba membangunkan. Gianna tak tahu kenapa bisa dirinya yang ditelepon oleh anak muda tersebut dan bukan keluarga dari Emir.
"Kenapa bisa kayak gini?" tanya Gianna, tanpa basa-basi.
"Ah, ini yang namanya Mbak Manajer?" Seorang lelaki bertanya sambil memperlihatkan layar ponsel Emir, di mana nama Gianna tercantum berada di bagian paling atas.
"Iya," jawab Gianna, "kenapa bisa mabuk kayak gini?"
Sebenarnya tak perlu ditanya, ini bukan kali pertama Gianna melihat Emir tak berdaya dan di bawah pengaruh alkohol. Dilakukan di hari yang berdekatan, itu menegaskan bahwa beliau tidak baik-baik saja.
Salah satu perempuan mendekati Gianna dan menelitinya. "Mbak yang grebek Devira dan pacarnya di kos, 'kan?"
Seketika tubuh Gianna menegang, diliriknya Emir yang masih setengah sadar. "Maksud kamu?"
Perempuan itu tertawa renyah. "Kenalin aku, Irina, adiknya Kak Flora," Irina lagi-lagi tertawa, "aku yang videoin Mbak waktu labrak si Devira. Dan karena tahu Mbaknya teman Kak Flora, jadi wajah Mbak aku tempelin stiker. Maaf, ya, Mbak."
Gianna membulatkan bibirnya, sekarang terungkap siapa dalang di balik video Devira yang tersebar di kalangan mahasiswa. Mendengar tawa Irina, membuat Gianna sadar bahwa perempuan itu memiliki alasan besar mengabadikan momen langka waktu itu.
"Bisa jaga rahasia?" Gianna bertanya dengan nada tegasnya.
Mata Irina berbinar sempurna. "Berarti Bapak ini nggak tahu?"
Gianna mengangguk. "Jangan kasih tahu."
"Gilaaa!" Irina berseru berlebihan, "gue dukung lo Mbak!" menggenggam tangan Gianna, "balaskan dendam gue."
Tidak perlu kaget, Gianna sudah menduga bahwa perempuan itu memiliki alasan membuat Devira tak bisa berkutik. Entah apa dendam tersebut, Gianna tidak akan bertanya.
"Jadi, lo mau jaga rahasia ini?" tanya Gianna lagi.
Irina mengangguk cepat. "Dendam gue dari SMA, ngelihat dia terpuruk kayak gini, bikin gue merasa puas, apalagi kalau tahu ayahnya dekat sama istri mantan pacarnya."
Gianna rasa dirinya sangat mirip dengan Irina, meskipun belum tahu alasan perempuan itu menyimpan dendam dan membalasnya.
"Teman-teman kamu bisa jaga rahasia?"
Irina menatap satu per satu wajah teman-temannya. "Tenang aja, mereka nggak suka ngurusin urusan orang," ujarnya. "Ngomong-ngomong, Mbak, Bapak ini mabuk setelah kami mengobrol dan bilang kalau video Devira dilabrak udah kesebar di seluruh Universitas."
Gianna mengerutkan kening. "Dan lo ngaku kala—"
"Tentu tidak," Irina menggerakkan jari telunjuknya menuju bibir, "biarkan itu jadi rahasia di antara kita."
Gianna tertawa melihat bagaimana mimik wajah Irina yang terlihat sangat licik. Ia sungguh tak ingin cari gara-gara pada perempuan itu, dan Gianna pun melihat bahwa Irina bukan orang yang suka ikut campur, lebih fokus pada bencinya. Terbukti saat menyebarkan video tersebut, di mana Irina menutup wajahnya menggunakan stiker kucing yang lucu.
"Semua salah Izhar!" geram Emir, sepertinya beliau masih belum sepenuhnya sadar.
**
Yang males nunggu update lama, silakan ke karyakarsa atau beli e-book di no WA 082290153123
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...