"Yang ini, sih, Mas," Gianna menunjuk foto yang ada dilayar tablet, "gimana kalau kita kumpulin dulu, biar Devira yang milih?"
Satu minggu setelah kejadian di klub, akhirnya Emir menampakkan batang hidungnya. Pria itu mengatakan sangat sibuk dan kebingungan dengan persiapan pernikahan Devira, sebab ini kali pertama menikahkan seorang anak di keluarga mereka.
"Semua konsep itu yang pilih pihak perempuan?" tanya Emir, menatap tiap slide foto yang ada di instagram.
"Iya, kebanyakan pihak cewek yang milih, cowok hanya tahu beres. Ah, baju seragam untuk keluarga udah pesan?"
Emir menggeleng. "Kayaknya itu istri yang pilih, Devira hanya minta aku nyari WO terpercaya."
"Kenapa nggak Devira aja yang cari sendiri?"
Pria itu menghentikan jarinya di atas tablet. "Dia takut aktifin HP, teman-teman kampusnya mulai gosipin dia, entah siapa yang bocorin itu."
Devira tentu mengenal siapa dalangnya, tentu saja Irina yang menyimpan dendam pada Devira. Entah apa masalah di antara keduanya, Gianna pikir saat mereka berada di ruangan yang sama di indekos, pertemanan tersebut begitu erat.
Rupanya tidak. Benci, ya, benci. Tulus, ya, tulus. Keduanya tak bisa disatukan, dan itulah yang terjadi pada Irina.
"Yang buat kesalahan bukan hanya anakku, Izhar juga. Tapi kenapa hanya anakku yang dapat sanksi sosial terparah," Emir tersenyum miris, "salah aku juga nggak nyari tahu tentang Izhar."
Ada satu hal yang belum diketahui oleh Gianna tentang Devira, dan di kesempatan kali ini akan ditanyakan kepada Emir. Mumpung pria itu membahas soal anaknya dan kelakuan bejat Izhar.
"Selama punya hubungan, Devira tahu kalau Izhar udah punya istri?" tanyanya.
Emir menoleh, matanya menyiratkan tengah berpikir dan mencari jawaban dari ingatan kenangan berlalu. "Kayaknya enggak, deh. Kalau pun iya, mana mungkin dia mau waktu dijanjikan nikah. Anakku nggak serendah itu."
Gianna mengangguk paham. "Berarti Izharnya yang brengsek," terkekeh, "aku rasa Bos bener-bener salah nyari orang, untungnya langsung dipecat."
"Kalau boleh tahu, Izhar dipecat gara-gara apa, Mbak?"
Pertanyaan itu membuat mata Gianna tak bisa berbohong bahwa ia kebingungan mencari jawaban. Jika mengatakan selingkuh, pasti pertanyaan selanjutnya akan berantai, hingga Gianna semakin bingung untuk menjawab.
"Nyuri HP pelanggan, kayaknya dia kekurangan modal buat nikahin anak kamu, Mas," kilahnya.
Emir melototkan mata. "Izhar serendah itu ternyata. Awal ketemu aku pikir dia cowok baik, dewasa, dan bisa menuntun Devira ke jalan yang benar. Tapi ternyata, pas denger ini aku makin benci sama dia. Berani-beraninya bohongi anakku."
Gianna yang duduk di sebelah Emir, mendekatkan posisi dan bertanya, "Emang Izhar pernah ke rumahnya, Mas?"
"Iya, ketemu aku, minta izin pacarin anakku. Setiap mau ajak keluar, pasti izin ke aku dulu. Itu kenapa sempet ketipu sama dia," Emir mendengkus, "dia juga anter Devira ke rumah sebelum jam sepuluh malam, siapa yang nggak mikir kalau dia anak baik?"
Gianna meringis mendengarkan cerita yang mengalir dari mulut Emir. Pria itu tak segan menceritakan tentang kelakuan Izhar padanya, sesekali mengeluarkan sumpah serapah, dan Gianna sangat mendukung melakukan hal tersebut.
Tentu ia tidak akan sekalipun membela suaminya, apalagi menurut Emir bahwa Devira benar-benar ditipu oleh Izhar dan tidak mengetahui bahwa Izhar telah memiliki istri dan anak. Permainan pria itu benar-benar mulus, jika saja Flora tak memberi tahu, pasti Gianna dan Devira akan dibohongi lebih lama lagi.
"Mas, kira-kira yang kayak gitu bisa hilang, nggak, ya?" Gianna membuka topik baru, "pandangan Mas sebagai cowok, ni."
Emir bersandar, matanya menatap langit-langit kafe yang mereka datangi di sore hari ini. "Mungkin bisa berubah, tapi nggak instan. Laki-laki itu sadarnya lama. Kalau diberi maaf tanpa dikasih risiko, pasti bakal diulang lagi," jelasnya, "ini menurut pendapatku, ya."
Gianna mengangguk paham. "Dan pisah itu jalan terbaik?"
"Mungkin, tapi jangan buat anak jadi korban," Emir tersenyum lembut, "kenapa? Mantan suami kamu juga selingkuh?"
Tertawa kecil, Gianna menyesap kopinya, kemudian mengangguk. "Tapi sekarang aku baik-baik aja, udah mati rasa sama dia."
"Dan kamu nggak nyesel sama keputusanmu?" tanya Emir lagi.
Gianna menggeleng. "Itu risiko udah duain aku. Kalaupun ada kehidupan kedua, dan hal seperti ini terjadi lagi di hidup aku, udah pasti aku tetap ambil keputusan kayak gini."
Emir tersenyum, tak sadar tangannya terangkat mengelus kepala Gianna. "Bagus, kamu punya harga diri tinggi. Dan itu patut dipertahankan," pujinya.
**
Bapak-bapak usia 44 tahun, selisih 16 tahun dengan usia Gianna. Siapa yang tak menyangka bahwa obrolan mereka selama ini bisa nyambung, meskipun terkadang ada hal yang kurang dimengerti Gianna, tetapi selalu ditutupi oleh Emir dengan pemahamannya.
Gianna menatap cermin di hadapannya, berteman dengan pria berusia matang sepertinya tidaklah buruk. Ia bisa menyesuaikan diri, dan Emir pun tidak terlihat risi ketika mereka bersama.
"Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" tegur suara berat, khas bangun tidur.
Gianna menoleh, suaminya masuk ke kamar mandi dan mengambil sikat gigi yang berada di hadapannya. "Har, kalau aku potong rambut, gimana? Cocok, nggak?"
Izhar mengoleskan pasta gigi ke atas sikat giginya, kemudian menatap intens sang istri. "Kenapa tiba-tiba?"
"Biar lebih fresh, buat penampilan baru."
Suaminya itu terdiam sejenak, kemudian berdeham. "Kamu kayak cewek lagi kasmaran," ucapnya, sedikit terselip nada curiga, "kamu masih Gianna, 'kan?"
"Siapa? Aku?" Gianna menunjuk diri sendiri, "iya, aku Gianna. Besok Oppa kesayangan aku datang ke Indonesia dan dia adain fanmeet. Pokoknya aku harus ikut."
Tentu itu sebuah kebohongan, jika mengakui tengah menyiapkan penampilan baru untuk seorang pria, sudah pasti akan ada perang di sini. Oleh karenanya, Gianna membuat kebohongan tentang artis idolanya yang berada di negeri ginseng.
"Mau ditemenin?" tawar Izhar.
Gianna menggeleng. "Aku hanya dapat satu tiket, meskipun nemenin, kamu nggak bisa masuk. Acaranya malam minggu, bisa jagain Zein, 'kan?"
Izhar tidak langsung mengiyakan. "Pasti acaranya sampai tengah malam."
"Nggak, dari sore sampai jam sembilan," Gianna menyudahi aktivitas bercerminnya, "yang penting aku udah kasih tahu, ya. Mau diizinin atau enggak, aku tetap pergi. Sayang tiketnya."
"Nggak bisa gitu, dong. Mas anterin, nanti jam delapan Mas jemput," Izhar masih keras kepala, "udah lama kita nggak di mobil bareng."
Gianna yang sudah berada di pintu kamar mandi, menoleh menatap suaminya itu. "Biarkan aku merasakan me time, selama nikah, aku baru kali ini ngerasain nonton idolaku. Bukan aku menolak tua, tapi aku butuh refreshing, Har. Tolong, jangan ganggu kesenanganku."
Izhar menghela napas kasar. "Ini hanya perihal dianterin dan dijemput. Mas nggak bakal ganggu kamu selama acara, dan lagi, berhenti manggil Har."
Tertawa geli, Gianna menepuk pelipisnya. "Lupa, udah kebiasa soalnya. Lebih nyaman manggil Har daripada Mas."
Soalnya aku udah punya Mas yang baru, batin Gianna berbisik.
**
Hello
WasapMasih ada yg baca cerita ini?
Kalo gak, aku mau berhenti update. Wkwkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomansaGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...