"Sebenarnya apa masalah lo?" Marvel menaruh secangkir kopi di hadapan sepupunya.
Sudah dua hari Izhar tak pulang ke rumah dan memilih untuk menginap di rumah Marvel. Namun, bukan berarti dirinya tak datang untuk melihat anak dan istri, meskipun harus melihat dari jauh hanya untuk memastikan keduanya sehat dan aman.
Pagi sekali Izhar akan pergi untuk melihat rumahnya dari kejauhan, dalam diam meratapi diri sendiri, terganggu dengan sikap Gianna yang terlihat sangat tenang menjalani hidup tanpa dirinya. Izhar bahkan hampir meneteskan air mata ketika menyadari sang istri sama sekali tak menelepon dirinya.
"Gianna cuekin gue, dia dingin banget," jawabnya, "iya, gue akui selingkuh itu salah, tapi jangan kayak gini juga."
"Lo selingkuh?"
Izhar mengangguk.
"Gila lo!" maki Marvel, "nggak ada otak, ya, lo?"
Izhar diam saja mendengarkan setiap ucapan itu tanpa menyela. Ya, menurutnya ia pantas mendapatkan semua itu, sebab di awal memang dirinya yang membuat kesalahan, hingga sang istri mati rasa.
"Sialan lo," rupanya Marvel masih belum bisa berhenti mengumpat, "udah dikasih anak, loh. Dan juga tahu gimana rasanya punya ayah yang tukang selingkuh. Nggak inget lo di sekolah jadi bahan gosip teman-teman? Waktu itu lo malu banget, Har, anak lo juga pasti bakal malu kalau sampe teman sekolahnya ngatain kayak gitu."
Membuang napas kesal pada diri sendiri, Izhar meraih cangkir dan menghabiskan kopinya. Ya, saat melakukan memang pandangannya berkabut ketika mengarah pada anak dan istri, Izhar benar-benar lupa diri, fokusnya tertuju pada kesenangan dan hiburan semata.
"Bapak Izhar banyak istri," lanjut Marvel, "dulu lo dijuluki Seribu Mama."
Izhar sangat ingat itu, bahkan pernah bertengkar dan diskors karena bertengkar dengan seorang murid. Waktu itu izhar ingat dirinya sudah sangat bosan dan kesal dijuluki 'Seribu Mama', maka dirinya menluapkan kekesalan pada seorang murid.
Ia tak mengungkapkan alasannya di depan guru, sebab malu, sama saja mengiyakan bahwa ayahnya memiliki banyak istri. Izhar tak ingin semakin diolok-olok, pada akhirnya ia diskors satu minggu.
"Gue inget itu, Vel, makanya gue mau berubah, tapi istri gue udah nggak ada rasa sama gue."
Marvel menatap miris. "Emang pantas gitu. Dari awal ketemu Gianna, gue tahu orangnya tegas banget, mudah dekat dengan orang lain, tapi nggak suka harga dirinya diinjak-injak. Gianna emang bukan perempuan menye-menye, dan lo harusnya udah tahu itu dari dulu."
Izhar mengacak rambutnya, berbicara dengan Marvel tak dapat membantu apapun. Iya ingin solusi, bagaimana caranya meluluhkan hati Gianna lagi, tetapi nyatanya hanya ulasan masa lalu dan ceramah tanpa saran yang didapatkan olehnya.
"Nyesel nanti lo, Har," Marvel bersandar dan menatap langit-langit ruang tamunya, "gue aja yang nggak selingkuh, ngelihat tubuh istri gue jadi kaku, bener-bener nyesel banget nggak bisa ngasih kebahagiaan lebih ke dia. Nyesel banget gue terlalu ambisi ke kerjaan, sampai-sampai lupa waktu dan istri sendirian di rumah."
Marvel menghela napas berat. "Gue nggak bisa perbaiki semua itu, istri gue udah nggak ada. Dia pergi tanpa merasakan kebahagiaan, gue nyesel banget," ungkapnya.
"Terus gue harus apa?" Izhar akhirnya mengeluarkan pertanyaan tersebut.
"Ya, kejarlah. Lo baru digituin aja udah ngambek."
Izhar mendengkus. "Lo nggak tahu gimana rasanya, Vel, istri kalau udah mandiri, serasa gue nggak ada gunanya."
Marvel berdecak. "Lebih sakit ditinggal pergi istri selamanya. Lo mending masih diurusin ini-itu, lah gue, semuanya sendiri sekarang."
"Udah, ah, jangan terusin lagi," Izhar menghindari percakapan seperti ini, takut merasakan apa yang diceritakan, "gue udah tobat, kok, tapi dapetin kepercayaan istri lagi, sulit banget, Vel. Yang dalam pikiran gue cuma nyerah, tapi gue nggak mau," ungkapnya.
"Terus, rencana lo selanjutnya apa?"
Hanya gelengan yang Izhar berikan. Jujur, dirinya benar-benar kehilangan ide, semua yang dilakukan untuk menyenangkan Gianna, tak ada efeknya. Istrinya itu menanggapi dengan datar, seakan Izhar sedang mengeluarkan candaan receh.
"Bener-bener udah nggak bisa diselamatkan," gumam Marvel.
Izhar mengusap wajahnya, kemudian beralih mengacak rambut. "Gue pilih bertahan, sesakit apapun gue bakal bertahan."
"Bertahan, sih, iya. Tapi kalau udah muak banget, pasti tanpa sadar lo cari yang lain di luar sana," tanggap Marvel, "mending udahan, daripada lo nyakitin Gianna dua kali."
Ia segera menggeleng, menyangkal prediksi sepupunya itu. "Nggak, gue cinta ke istri gue. Nggak mau pisah dari dia, gue nggak bakal ulang kesalahan lagi."
"Gini, ya, Bos. Kalau lo cinta, nggak bakal lo berkhianat."
**
Sore ini Gianna keluar dari restoran, menuju sebuah mobil yang menunggunya. Emir menyambut dengan senyuman, membuat Gianna segera duduk di kursi penumpang dengan posisi nyaman.
"Ada masalah, Mas?" tanyanya, langsung pada intinya.
Tanpa pikir panjang, Emir mengangguk. "Kayaknya aku ketemu kamu selalu saat ada masalah, ya. Maaf, tapi temanku hanya kamu."
Gianna menepuk pelan bahu pria itu. "Tenang, aku nggak masalah, kok. Sekarang, kita ke mana?"
Emir menyalakan mesin mobil, dan mulai meninggalkan area parkir, menelusuri jalanan ibu kota. Gianna pasrah saja akan dibawa ke mana, kecuali jika dirinya diajak ke rumah pria tersebut. Ya, segera Gianna akan turun dari mobil.
"Beli hadiah untuk istriku. Kemarin, dia marah ke aku, nuduh aku selingkuh," tatapan Emir menjadi sendu, "dia malah memutar-balikkan fakta, nuduh aku yang main di belakang, dan kamu perempuan yang dicurigai."
"Ha?" Gianna menatap terkejut, "berarti waktu datang ke restoran itu, istri kamu mau nyari aku?"
Emir mengangguk, detik kemudian napas Gianna tercekat dua detik, kemudian dengan samar menghela napas lega karena bisa melewati masalah itu. Jika saja waktu itu Gianna tak segera meminta menghentikan mobil dan turun dari sana, mungkin kini dirinya menjadi bahan gosip di restoran.
"Terus, ini nggak apa-apa kita ketemuan?" Gianna khawatir akan dilabrak di tempat umum.
"Nggak apa, istriku lagi sakit," ujar Emir, "lagian, dia nggak bisa asal nuduh gitu, nggak punya bukti cukup buat nuduh kamu selingkuhanku."
Gianna tersenyum miring. "Aturan jangan ketemu aku dulu, Mas, mending jagain istri kamu yang lagi sakit."
Emir membuang napas kasar. "Yang ada dia nggak bisa istirahat, marah mulu, nuduh aku yang enggak-enggak," ujarnya, "makanya, aku minta tolong sama kamu, pilihin hadiah yang bagus buat istriku."
Dibanding memikirkan hadiah yang bagus, Gianna malah berencana memberikan tikus got untuk keluarga Emir, terlebih kepada Devira. Gianna mendengkus mengingat tatapan perempuan itu padanya saat mereka bertemu di tepi jalan. Sumpah, itu membuatnya kesal minta ampun.
Meskipun pada akhirnya Devira merasa kalah, Gianna tetap saja kesal. Perempuan itu seperti tidak akan berhenti mengancam dan menjelekkannya. Gianna tahu tujuan Devira, tentu karena ingin sang ayah tidak berhubungan lagi dengan Gianna. Namun, ia belum yakin bahwa itu satu-satunya tujuan perempuan licik tersebut.
**
Hello
Cerita ini tamat di bab 51, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...