Setelah membelikan gaun untuk sang istri, Emir mengajak Gianna untuk makan di sebuah restoran bintang lima, sebagai tanda terima kasih. Tentu tak menolak, apalagi pemandangan ibu kota yang disuguhkan sangatlah indah jika dilihat pada malam hari.
Lampu gemerlap di setiap gedung, jalanan yang terlihat padat, tetapi malah menambah keindahan, seperti melihat bintang bertaburan di atas langit. Gianna tersenyum, menyadari bahwa beberapa orang yang berada di kendaraan tersebut pasti ada yang senasib dengannya.
"Aku nggak bisa berhenti lihat keluar jendela," ungkap Gianna dengan matanya yang berbinar sempurna, "kalau ada kesempatan, aku mau datang ke sini lagi."
Emir tersenyum lembut. "Aku diajak, nggak?" celetuknya.
"Kalau Mas punya waktu," Gianna menoleh pada pria itu, "lagian, aku nggak punya teman yang bisa diajak ke sini, selain Mas, tentunya."
Bohong, bisa saja Gianna mengajak anak atau Kevin. Namun, mengingat temannya itu akan segera naik pelaminan, tentu membuat mereka tak bisa sering bertemu atau jalan berdua. Ya, Gianna tak terlalu mengenal calon istri Kevin, mungkin saja memiliki hati kotor, penuh kecurigaan. Tak ada yang tahu.
"Kalau gitu, kapan-kapan kita ke sini lagi," ujar Emir, "jangan sungkan buat ajak aku ke mana aja, jadi teman curhat atau sekadar ngasih kabar. Aku bener-bener nggak bisa balas kebaikan kamu hanya dengan kata makasih."
Gianna mengulas senyum lembutnya. "Aku nggak merasa ngelakuin hal yang berguna, Mas."
"Cukup nemenin dan nggak bosan dengerin ceritaku, kamu udah lebih dari berguna," jelas pria itu, "awal ketemu, aku nggak tahu apa yang terjadi di anakku, bingung minta ampun, pas ketemu sama kamu, satu per satu kebohongan terungkap. Dan tanpa sadar kamu sering ngasih solusi."
Jujur saja, Gianna lupa apa kontribusinya pada perkembangan kondisi Devira serta masalah yang dibuat. Mendengarkan Emir menjelaskan masa-masa itu, membuat Gianna sadar bahwa dirinya sudah melangkah sejauh ini. Tak ada lagi kata untuk mundur.
"Aku sadar, hanya butuh teman untuk dijadikan tempat curhat," Emir tersenyum tulus kepada Gianna, "makasih banget, sejauh ini aku nyaman curhat ke kamu."
Ungkapan penuh ketulusan itu membuat Gianna tak bisa menahan senyum bahagianya. Ia menggigit bibir bawah dan kembali melihat ke arah jendela, sebab tak tahan ditatap lama oleh Emir. Astaga, semua laki-laki sama saja, langsung melahap jika disuguhkan ikan yang segar.
"Tapi kita nggak bisa sering ketemu, Mas," sahut Gianna berusaha terdengar kecewa, "istri kamu udah naruh curiga, aku juga nggak mau disebut pelakor." Kembali menatap pria itu, berharap mendapatkan solusi dari peristiwa ini. Ya, jika istri Emir mengamuk, maka Gianna harus rela menghentikan permainannya.
"Itu hanya sesaat, istriku nggak pernah seserius itu ngurusin urusan suaminya," jelas Emir, "mungkin aja dia nuduh aku cuma buat nutupin kebohongannya."
Gianna memajukan wajahnya. "Maksudnya?" Ah, ia merasakan pertengkaran antara suami dan istri.
"Foto yang aku kasih lihat ke kamu kemarin," jelas Emir, "dia nyangkal, katanya itu hanya teman SMA, jadi mereka minggu lalu lagi reuni."
"Oh, gitu. Mungkin itu bener, Mas. Jangan diambil pusing, percaya ke pasangan." Gianna bersandar dan memegang gelas di hadapannya. "Tapi jangan terlalu percaya, sih, kadang kepercayaan itu yang nantinya jadi bumerang buat kita."
Tak disangka olehnya, istri Emir menyembunyikan identitas sang informan. Mana mungkin teman SMA, dilihat dari umur saja, pasti sangat beda jauh. Ya, pekerja di restoran milik abangnya, rata-rata di bawah 35 tahun.
Kecuali koki, Gianna pernah melihat data diri beliau. Usianya sudah 48 tahun, dari wajah saja, terlihat lebih tua dari Emir.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...