Kevin tak bisa memalingkan pandangannya dari Emir dan Gianna yang mengobrol sangat akrab, bahkan dirinya tak diajak untuk ikut dalam topik yang mereka angkat. Ah, lebih tepatnya Kevin kurang mengerti mereka sedang membahas siapa dan apa.
"Coba tanyai langsung," saran Gianna, "perempuan itu bakalan jujur kalau kamu beri perhatian."
Emir menggeleng. "Nggak mungkin, dia orangnya keras kepala. Apalagi menyangkut kesalahan."
Gianna menatap iba, menepuk bahu pria itu untuk memberi dukungan. Kevin yang berada di sana menatap tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Gianna, bukan karena kurang pantas, hanya saja ia takut jas mahal milik Emir akan ternoda dengan sambal pedas yang dimakan oleh temannya itu.
Emir menyentuh tangan Gianna yang menepuk bahunya, membawa ke atas meja. Mata Kevin hampir keluar dari tempatnya, mereka berpegangan tangan begitu lama, membuatnya berpikir bahwa hubungan itu tidak lebih dari sekadar berteman.
Kevin berdeham, melihat ke sekitar. "Gi, cepat habisin makan lo, udah kemaleman."
Gianna mendengkus. "Ganggu aja lo," desisnya.
Emir tertawa pelan. "Iya, habisin cepat makanannya, nggak baik perempuan pulang kemaleman."
"Iya, aku habisin sekarang," Gianna memberikan seulas senyum pada Emir, "lo juga, cepat habisin, Vin. Gue nggak mau nungguin lo makan."
Kevin menatap piringnya, ternyata makanannya belum habis. Itu berarti sejak tadi hanya memperhatikan Gianna dan Emir yang mengobrol dan terlihat begitu akrab. Bukan tentang pembicaraan mereka, tetapi gestur, mereka berdua terlihat sangat nyaman satu sama lain.
Ia tak bisa mengambil kesimpulan, tetapi itu nyata adanya. Mereka berdua terjerat dalam rasa 'teman tapi mesra'. Ya, Kevin yakin itu, meskipun tadi Gianna bilang tidak mengikutsertakan perasaan, tetapi Kevin melihat ada kenyamanan di sana.
"Kalian yakin, hanya temenan doang?" tanya Kevin, setelah terdiam cukup lama.
Emir mengangguk. "Iya, kami baru berteman sekitar hampir dua bulan."
Kevin membulatkan bibirnya. "Nggak ada perasaan lebih?"
Terdengar decakan dari Gianna. "Makan aja, nggak usah kepo sama urusan orang."
Kevin tidak mengindahkan hal tersebut, penasarannya sudah di ambang batas. "Gue nggak bisa diam. Ingat, lo nggak punya orang tua yang menasehati lo ke jalan lurus, lo cuma punya gue yang setia dengan keluguan lo."
"Maksudnya nggak punya orang tua?" Emir bertanya, menatap ke Gianna.
"Ah, maksudnya orang tuaku jauh, dan di Jakarta aku cuma punya Kevin yang kenal aku banget," jelas Gianna, "kita kenal sejak kuliah, sampai sekarang masih akrab. Nggak usah dipikirin, Mas, dia emang bawel dari sononya."
"Eh, eh, eh," sela Kevin, tidak terima, "siapa yang selametin lo dari mata keranjang senior-senior? Gue! Cuma gue, Gi, yang baik sama lo sejak dulu."
Ya, memang benar, bisa dibilang Kevin ini pelindung Gianna saat masih kuliah, tetapi satu kesalahan Kevin yang sampai sekarang membuat Gianna kesal, yaitu mengenalkan dirinya kepada Izhar, sampai memutuskan menerima lamaran, dan akhirnya diselingkuhi.
Miris, teramat miris. Jodoh yang dikenalkan oleh Kevin adalah petaka. Gianna berharap Kevin berhenti menjadi Mak Comblang, sebab pasti akhirnya akan seperti Gianna.
"Iya, iya, gue tahu. Cepat habisin makan lo," suruhnya, malas mendengar Kevin mengoceh, sebab akan selalu teringat awal dirinya dikenalkan pada Izhar.
Ya, itu salah satu kebaikan Kevin pada Gianna, tetapi berakhir miris.
**
Gianna terbangun dalam pelukan seseorang, ditatap tangan yang melingkari tubuhnya, sekian detik mencari jawaban, barulah ia tersadar dan segera menepis kasar tangan tersebut, kemudian bangkit.
"Apa, sih," dengkusnya, kesal.
Izhar tertawa melihat tingkah istrinya tersebut. "Sini, dong, udah lama Mas nggak peluk kamu."
Gianna menghindar, segera turun dari ranjang, menuju kamar mandi. "Sialan!" umpatnya, sembari menutup pintu kamar mandi.
Hari libur adalah hari yang tak disukai oleh Gianna, sebab ia akan melihat wajah suaminya dalam waktu 24 jam, kecuali saat tidur tentunya. Ia menghela napas kasar, menatap pantulan diri di cermin.
"Astaga! Lamaran Kevin!" pekiknya.
Segera dirinya keluar dari kamar mandi, menatap jam dinding dan menghela napas lega saat mengetahui dirinya masih memiliki banyak waktu untuk menyiapkan diri. Gianna berencana hanya mengajak Zein, tidak dengan Izhar, mengingat pria itu sempat dingin pada Kevin beberapa minggu yang lalu.
Gianna tak ingin terjadi yang namanya keributan, sebab mulut ceplas-ceplos Kevin itu pasti bisa saja membocorkan tentang dirinya yang dekat dengan Emir. Memang Kevin adalah teman lelaki yang asyik diajak berteman, tetapi juga seperti bom atom.
Dulu saat berkuliah, Gianna punya dua teman akrab, Kevin dan Febby, setelah Febby menikah dan dibawa suaminya ke Yogyakarta, maka di Jakarta ini Gianna hanya memiliki Kevin sebagai teman akrab. Jika Izhar membuat masalah dengan temannya itu, sumpah mati Gianna akan merasa bersalah pada Kevin dan tak tahu haru bersikap seperti apa.
"Ngapain ngeluarin dress?" tanya Izhar yang baru masuk ke kamar bersama Zein.
"Mau ke acara lamaran teman," jawab Gianna, "Zein, cobain kemeja ini, Sayang." Meminta anaknya untuk mendekat.
Gianna ingat dengan kemeja tersebut, dibelikan oleh abangnya ketika pergi dinas luar kota, tetapi malah kebesaran ketika dicoba oleh Zein. Ya, Gianna memaklumi ketidaktahuan Gavin, sebab oleh-oleh baju untuk anaknya sendiri pun tak ada yang benar-benar pas ukurannya.
Sebab kejadian tersebut, Gavin tidak pernah lagi membawa oleh-oleh pakaian, lebih memilih ke makanan ringan khas daerah dan aksesoris.
"Loh, udah muat," menatap kemeja itu yang kini telah dipakaikan kepada Zein, "muter, Sayang," pintanya.
Merasa puas, Gianna melepaskan lagi kemeja berwarna biru itu, kemudian beralih pada pakaiannya. Ya, ia ingin memakai warna serupa dengan sang putra. Setelah mendapatkan yang pas, Gianna bersiap ke meja setrika.
"Buat Mas?" Rupanya Izhar masih memperhatikan dari tadi.
"Di rumah aja," balas Gianna, "aku nggak mau kamu memperburuk suasana."
Izhar mengikuti langkah sang istri. "Maksudnya?"
Gianna menghela napas kesal. "Diam! Di rumah aja, kamu ganggu kalau di sana!"
Izhar menatap terkejut pada istrinya itu. "Kamu makin lama, makin nggak ada sopannya ke Mas, ya," ucapnya, penuh kepedihan.
Gianna malah mengibaskan tangannya, memberi isyarat untuk suaminya itu diam dan pergi jauh darinya. "Aku sibuk, jangan ganggu."
"Iya, tahu. Tapi Mas nanya baik-baik, kenapa jawabnya kayak gitu?" Izhar tak mengindahkan apa yang disuruh oleh istrinya, "kelakuan kamu makin hari, malah makin jadi. Udah nggak ada lagi menghargai Mas sebagai suami."
Gianna melirik, menatap wajah yang terlihat sedih, tetapi malah membuatnya jijik. "Kan, udah aku bilang sejak kemarin-kemarin, kalau nggak kuat, mending nyerah aja," ucapnya, begitu enteng, "makin lama kamu bareng aku, makin hilang harga dirimu sebagai suami."
Izhar memalingkan wajah, mengacak rambutnya begitu kasar. "Udah, dong, Mas juga udah berhenti main-main sama perempuan lain. Sekarang Mas nerima kamu apa adanya."
Mendengarkan itu, Gianna yang tengah memegang setrika, ingin sekali melayangkan kepada suami laknatnya itu. "Ucapan kamu kayak terpaksa. Fix, minggu depan aku urus cerai. Nggak perlu khawatir, aku nggak bakal minta harta gono-gini, asalkan Zein bareng aku, nggak bakal aku ketemu kamu lagi, Har."
**
Lapak berdebu...
Hello
Bab 27 dan seterusnya pindah ke aplikasi/web karyakarsa yaaaaa
Ini terakhir aku update di sini. Cusss ke karyakarsa. 😁
Jangan lupa vote dan komen guys
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...