27 : Menghilang

11.7K 734 5
                                    

Rupanya Izhar menuruti perkataan Gianna, dengan tidak ikut pergi ke acara lamaran Kevin. Namun, saat sampai di rumah, pria itu tak berada di sana dan sampai pagi pun Izhar bak ditelan bumi, belum kunjung kembali ke rumah.

Gianna fokus pada laptop di hadapannya, ketidakhadiran Izhar di hidupnya ternyata tak merubah apapun. Ia masih melakukan kegiatan seperti biasanya, tetapi mungkin siang nanti akan bertambah pekerjaan, yaitu menjemput Zein dari sekolah.

Ia pikir inilah saatnya menyesuaikan diri tanpa kehadiran Izhar, bisa dibilang latihan sebelum cerai. Gianna menyesap kopi, kemudian mencomot biskuit di dalam toples. Sampai saat ini dirinya tak mencoba untuk menghubungi sang suami, merasa bahwa akan pulang sendiri tanpa diminta.

Diminta?

Gianna mendengkus sinis, tak mungkin dirinya akan menjatuhkan harga diri dengan meminta Izhar pulang ke rumah. Tidak akan. Ia tahu bahwa Izhar tidak pergi keluar kota, karena tak memiliki uang yang cukup untuk menginap di hotel atau penginapan, lagi pula pria itu tidak memiliki sanak keluarga di luar Jakarta.

Kalaupun ada, pasti keluarga jauh, dan Izhar adalah orang yang tidak terlalu dekat dengan keluarga besarnya. Jika masih di area Jakarta, kemungkinan besar ada di rumah mertuanya, tetapi tidak mungkin Susanti tak menghubungi Gianna tentang Izhar.

Kemungkinan terbesar ada di rumah teman. Gianna tersenyum miring, satu-satunya teman dekat Izhar tinggal di Jakarta Selatan, ia tahu rumahnya, beberapa kali pernah diajak Izhar untuk berkunjung.

Namun, teman suaminya itu telah berkeluarga, pasti Izhar akan segan untuk mengatakan menginap. Jadi, Gianna menduga bahwa kini Izhar berada di rumah sepupunya yang berada tak jauh dari rumah Susanti.

"Mudah banget nebaknya," ujar Gianna, "setidaknya ketahuan kalau dia masih hidup."

Ia menghabiskan kopi paginya, kemudian beranjak dari duduk. Namun, ketika menuju keluar ruangan, ponselnya berdering. Alis Gianna terangkat, sudut bibirnya berkedut, ingin menertawakan Izhar yang menelepon. Padahal, ini belum 24 jam menghilang dari hadapan Gianna.

"Hm? Kenapa?" Gianna sengaja tak menanyakan sedang di mana sekarang, karena memang tak khawatir dengan keberadaan Izhar.

"Setidaknya kamu telepon Mas, tanya ada di mana," dumel Izhar di ujung sambungan.

Gianna tertawa. "Emang pengin banget dicari?"

"Gi," lirih Izhar, kecewa, "jangan kayak gini, dong. Mas semalaman nggak bisa tidur mikirin kamu sama Zein hanya berdua di rumah."

"Dia yang pergi, dia yang kepikiran," ejeknya, "jadi, mau kamu apa?"

Izhar menghela napas kasar. "Bisa nggak, kita balik kayak dulu lagi?"

Gianna memutar bola mata. "Selama aku hidup, setahuku manusia nggak pernah bisa balik ke masa lalu, nggak ada mesin waktu di dunia ini," ia kembali duduk di kursi kerjanya, "kalaupun ada, mending aku gunain buat balik ke masa di mana ayahku masih hidup."

Meskipun tak tahu bagaimana rasanya disayang oleh ayah kandung, entah kenapa Gianna selalu merindukan hal itu. Ya, beliau pergi sebelum Gianna benar-benar sadar dan memiliki ingatan yang cukup jelas. Maka sentuhan mendiang pun, tak pernah ia ingat, begitu pula wajahnya, hanya bisa mengandalkan foto.

"Kalau gitu, kamu mau balik ke masa di mana belum kenal sama Mas?" Nada bicara Izhar seperti orang yang tengah merajuk.

Gianna mengernyit, geli mendengarkan suaminya bicara seperti itu. "Jangan drama, Har, anakmu kalau tahu kelakuanmu kayak gini, pasti bakalan malu."

"Iya, itu kenapa Mas sekarang berubah, lebih mikirin kamu sama anak, tapi ternyata kamu kayak gini," Izhar menghela napas kasar, "Mas harus apa lagi, Gi? Pergi pun, kayaknya kamu nggak ngerasain kangen sama sekali."

"Terserah kamu mau balik atau enggak, yang jelas aku tahu kamu ada di rumah Marvel," imbuhnya.

"Ha? Kok, tahu? Marvel bocorin, ya?"

Marvel adalah sepupu Izhar yang sudah duda, istrinya dua tahun lalu meninggal dunia dan sampai sekarang belum berencana menikah lagi. Gianna bisa menebak bahwa Izhar akan menginap di sana karena Marvel tinggal sendirian.

"Nggak, nggak ada sama sekali Marvel hubungi aku. Aku juga mana punya nomor kontak Marvel."

Dari sini saja Gianna bisa tahu, bahwa ia sangat mengenal Izhar lebih dari siapa pun.

**

Karena pekerjaan tak bisa ditinggalkan, Gianna meminta Bintang untuk membawa serta Zein ke rumah kakak dan abangnya itu. Ya, ia tak bisa datang untuk menjemput di sekolah, maka akan dijemputnya Zein nanti malam di rumah abangnya.

Sesampainya di sana, Gianna disambut oleh wajah sangar sang abang. Sudah pasti Gavin marah dengan keadaan adiknya saat ini, menyetir sendiri di pukul 23.00, dan menjemput anak yang dititipkan di rumahnya. Sejujurnya, setelah menikahkan sang adik, Gavin mengharapkan kebahagiaan dan ketenangan, hanya saja takdir berkata lain.

"Izhar mana?" tanya Gavin.

Dari nada bicaranya saja sudah membuat Gianna merinding, tak berani menatap wajah abangnya. "Ketiduran, jadi nggak bisa jemput Zein."

Sebenarnya sampai sekarang Izhar belum kunjung pulang ke rumah, terakhir kali menelepon pada siang hari dan mengatakan tidak akan pulang sebelum Gianna menjemputnya di rumah Marvel.

Kekanakan, sangat-sangat kekanakan. Gianna mengatakan bahwa tak punya banyak waktu untuk mengikuti sikap aneh Izhar, tetapi pria itu bersikeras dan sampai sekarang tak lagi menelepon sebagai bentuk keseriusan.

Gianna peduli? Tentu tidak.

"Dia udah kerja atau masih bergantung di kamu?" tanya Gavin lagi, sembari menggendong Zein yang sudah tertidur, ke kursi penumpang mobil adiknya, "besok Abang mau ketemu dia. Nggak ada tapi-tapian."

"Dia udah kerja," kilah Gianna, "ketemunya di hari libur aja."

Sebab merasa bersalah berbohong pada abangnya, Gianna segera membuka pintu mobil dan masuk tanpa ucapan terima kasih. Saat ini ia tak ingin diomeli, karena itu akan memakan banyak waktu, sedangkan dirinya sudah sangat lelah.

Kaca mobil diketuk, rupanya Gavin masih ingin mengatakan sesuatu. Mau tak mau Gianna menurunkan kaca mobilnya, meski takut, dirinya berani membalas tatapan sang abang.

"Apa lagi, Bang?" tanyanya.

Gavin menghela napas kasar. "Jangan lindungi suami kayak gitu, besok Mas ke rumahmu buat bicara sama dia. Kamu nggak perlu ikut, ini pembicaraan antara cowok dan cowok."

Gianna meringis dalam hati, Gavin terlihat tak main-main, raut wajahnya itu menunjukkan keseriusan. Sebagai seorang adik, tentu sangat mengenal abangnya, tak ingin hal buruk terjadi dan sampai-sampai membuat permusuhan antara keluarga.

Tak bisa dibiarkan, Gianna keluar dari mobilnya, segera menggenggam tangan Gavin dan menatap penuh permohonan. "Jangan ngelakuin hal buruk, Bang. Aku nggak mau keluarga kita dicap kurang ajar sama keluarga Izhar," pelasnya.

"Kenapa gitu? Abang di sini buat belain kamu, meluruskan hidupmu. Hidup itu singkat, Gi, dan Abang nggak bakalan biarin kamu ngelewatin semuanya tanpa bahagia sedikit pun."

"Aku bahagia, kok, Bang. Asalkan Zein hidup sehat, aku bahagia," ucapnya, tanpa kebohongan, "soal Izhar, aku yang urus, Bang. Cerai atau tidak, keputusan ada di aku."

Sedikit lagi, sebentar lagi. Ya, Gianna telah mengambil keputusan.

**

Eeemm
Vote dan komen guysss

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang