18 : Sakit Hati Ibu

12.2K 945 5
                                    

Gianna tak tahu apa maksud Izhar memboyong dirinya dan Zein ke rumah mertuanya. Padahal, ini hari Senin, hari di mana mulainya aktivitas selama satu pekan, kemudian terulang lagi terus-menerus. Sama seperti pertengkarannya dengan Izhar yang selalu bercabang dan terus terulang.

"Harusnya kamu pergi cari kerja aja," ketus Gianna.

"Nggak, aku mau luruskan bareng ibu."

Gianna membuang napas sangat kasar. "Kalau udah nggak percaya sama omonganku, kenapa harus bertahan hidup bareng?"

Izhar mengerang kesal, ingin selalu meluapkan emosi, tetapi masih ingat bahwa Zein duduk di jok belakang, sedang melihat jalanan ibu kota. Anaknya itu sudah terlalu sering melihat pertengkaran orang tua, ia tidak ingin mengulang lagi.

Mobil mereka memasuki gang, mendapati rumah pertama di gang tersebut, Izhar memacu mobil masuk ke pelataran halaman rumah. Ya, rumah masa kecilnya kini ditinggali oleh ibu, kakak, keponakan, dan suami kakaknya.

Bukan berarti kakak perempuannya itu tak memiliki rumah, tetapi mereka tinggal di rumah ini karena suaminya dipindahkan tugas di Jakarta, dan terpaksa meninggalkan rumah yang berada di Bandung.

Izhar lebih dulu keluar dari mobil, Gianna sendiri menghela napas dahulu, kemudian menyiapkan hati untuk menghadapi kenyataan. Ah, seharusnya Izhar yang merasa tersudut, bukan dirinya. Hanya saja, yang membuat Gianna khawatir adalah pertemuannya dengan kakak dari Izhar, tentu akan lebih membela adik semata wayangnya.

Gianna keluar dari mobil, menatap halaman rumah yang sangat bersih, banyak bunga tumbuh bermekaran. Siapa pun tahu bahwa yang merawat bunga-bunga itu adalah Susanti. Kata beliau, ketika punya masalah dan anak tak boleh tahu, ibu mertua Gianna itu selalu mengalihkan perhatian dengan merawat bunga.

"Woi, Gi!" sapa seseorang dari pagar samping.

Gianna menoleh, sebab suara itu tidak asing untuknya. "Baru mau pergi kerja lo?"

Kevin merapikan kemejanya. "Iya, nih. Lo kalau mau ngutang, ke bank tempat gue kerja, ya."

"Nggak! Entar lo ketawain gue punya banyak utang, nggak bakal gue ke bank lo," sahut Gianna.

Terdengar dehaman dari teras rumah, Gianna mendengkus kesal, sementara Kevin melotot memperingatkan temannya itu untuk tetap hormat kepada suami.

"Gue masuk dulu, lo kerja, gih." Gianna melambaikan tangan dan segera masuk ke rumah mertuanya.

Sementara itu tatapan Izhar masih mengarah ke Kevin yang bingung mengapa suami dari Gianna tersebut terlihat marah padanya.

"Ada yang salah di wajah gue?" Kevin menyentuh tiap sudut wajahnya, "gue kelihatan lebih cakep kali, ya."

**

Setelah Zein diminta untuk bermain dalam kamar, kini Gianna dihadapkan oleh tiga orang dewasa yang memiliki hubungan darah. Ya, jika tak memiliki anak, mungkin sekarang Gianna akan dianggap orang asing.

Izhar ada di pihaknya?

Hah, jangan berharap lebih, saat ke sini saja, pria itu memaksa Gianna untuk tidak pergi bekerja dan tidak perlu repot mengurus Zein ke sekolah. Pada akhirnya, ia benar-benar sendirian jika berhadapan dengan keluarga ini.

"Apa yang mau kamu bahas?" tanya Susanti. Wajahnya tak terlihat santai, baru memulai percakapan saja, nada bicara terdengar sangat tegas.

"Ibu ada bilang pisah ke Gianna?" Izhar tentu tak ingin memulai semuanya dengan basa-basi.

Gianna melirik ke arah Stefy yang bingung mendengarkan percakapan antara ibu dan putra tersebut. Selang beberapa detik, kakak iparnya menatap ke arah Gianna, seakan bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi.

Susanti masih dengan ketegasan, tersenyum miring pada putranya. "Kamu salah, Gianna pantas bahagia," tukasnya.

Izhar menahan napas sekian detik, tak menyangka ibunya pernah menyarankan untuk mereka berdua berpisah. "Bu, aku bisa selesaikan masalah keluargaku, jangan pernah ikut campur, apalagi saranin buat cerai," rengeknya.

Gianna melengos mendengarkan ucapan suaminya, perasaannya campur aduk, tetapi yang lebih terasa adalah ingin memasukkan bantal sofa yang di pangkuannya, ke dalam mulut Izhar agar berhenti mengucapkan omong-kosong.

"Ibu udah pernah hadapi laki-laki kayak kamu, Har, nggak ada jauh berbeda dengan ayahmu," Susanti tersenyum miris, "kamu lihat Ibu baik-baik aja waktu itu, bukan berarti Ibu sanggup hadapi semua."

"Bu...." Izhar bingung memilih kata-kata.

"Ibu jalani hidup tanpa cinta ke ayahmu, bertahan demi anak-anak. Setelah kalian cukup dewasa, Ibu berpikir untuk nyerah, tapi Tuhan lebih dulu ambil ayahmu," Susanti tak bisa melepaskan tatapan pada putranya itu, "dengar, bukan berarti Ibu nggak pernah berpikir buat pisah. Hal yang paling tidak bisa dimaafkan dalam pernikahan adalah selingkuh."

Detik kemudian Izhar merasakan bantal sofa melayang ke wajahnya, ia menoleh, mendapati Stefy kini melompat ke arahnya dan memberikan pukulan bertubi-tubi menggunakan bantal.

"Gila kamu! Gila!" umpat Stefy, tak tahan dengan gejolak amarah yang meletup-letup.

"Ampun, Kak, ampun!" Izhar menangkap tangan sang kakak, "aku udah berubah, aku udah akui kesalahan."

Stefy menatap nyalang. "Kamu pikir dengan ngaku aja bisa merubah keadaan? Ha?" tangan terangkat untuk menarik telinga adiknya, "kamu tahu kita dulu kayak gimana? Malu ketemu keluarga besar karena penyakit ayahmu yang nggak bisa berubah! Ditambah lagi waktu sekolah, gimana teman-teman ngeliatin kita kayak aib dunia!"

Gianna membuang pandangan, tak ingin ikut dalam percakapan tersebut. Dibiarkan Stefy mencerca dan memaki kepada Izhar. Mendapatkan pembelaan begini saja, membuat Gianna tenang, memang benar kata orang, yang ia butuhkan hanya dukungan dari sesama perempuan.

"Kamu lihat istrimu! Lihat anakmu!" Stefy tak berhenti mengeluarkan emosinya, "waktu ngelakuin itu, kamu sama sekali nggak ingat mereka berdua?"

"Kak, aku salah, aku emang salah." Izhar sadar tak bisa membela diri, meskipun alasan dirinya mendua karena Gianna yang terlalu menuntut dan memandang rendah dirinya, tetapi kali ini ia sadar bahwa ialah yang salah paham kepada sang istri.

Stefy kembali duduk di singgel sofa, mencoba mengatur napas dan detak jantungnya yang tak tenang. "Sujud di kaki istrimu," titahnya.

"Eh, Kak," sela Gianna, "nggak, nggak perlu kayak gitu." Ia segera mengambil jarak dari Izhar yang duduk di sebelahnya.

"Cepat, Har, sujud di kaki istrimu," ulang Stefy, penuh penekanan.

Gianna menelan ludah susah payah, ia segera bangkit dari duduk dan berpindah tempat ke sebelah ibu mertua. "Ibu aja, jangan aku," tolaknya, "Kak, tolong jangan kayak gini."

Stefy menggeleng cepat. "Dia salah, Gi, harus diluruskan, dimulai dari kamu, lalu Ibu."

Izhar menggigit bibir bawahnya, melirik Stefy yang sama sekali tak terlihat bercanda, mau tak mau ia bangkit dari duduk dan berjalan menuju sang istri. Ia memang pernah berencana melakukan hal tersebut, tetapi selalu tertahan ego karena tiap kali bertatap muka dengan istrinya, pasti mereka akan bertengkar.

"Gi," Izhar hendak berlutut, tetapi segera ditahan oleh Gianna.

"Mas, jangan kayak gini," cegah Gianna, kemudian mendekatkan bibir ke telinga sang suami, "gimana rasanya, Har?" bisiknya.

Izhar segera menjauh dari sang istri, menatap tak percaya. Ya, nada itu terdengar sangat meledek dirinya, tetapi ketika mata mereka bertemu, Gianna memasang topeng yang sangat tebal, bak seorang bidadari yang sebenarnya berhati iblis.

**

Makasih sudah mau bacaaaaa

Guys. Aku sibuk ngurus kucingku yang sakit. Kalau kalian kangen Gianna, silakan ke karyakarsa. Cari menggunakan judul, ya.

Di karyakarsa udah tamat + 5 bonus bab.

Makasih

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang