Dua hari berlalu, Gianna kini berada di meja kerjanya. Bagaikan sebuah keajaiban, yang ia pikir selama ini tidak akan kembali merasakan bekerja di luar rumah, kini Gianna benar-benar berada pada titik di mana dirinya bukan hanya mengurus rumah tangga, melainkan menjadi wanita karir.
Meskipun baru berlangsung dua hari, Gianna tak menampik bahwa ia bisa merasakan kebebasan, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dirinya merindukan Zein. Tadi pagi ia mengantarkan anak itu ke sekolah mengendarai mobil, kemudian segera ke restoran untuk bekerja.
Tentang Izhar, sekarang pria itu kelimpungan di rumah, yang Gianna lihat terakhir kali, Izhar sedang menyapu halaman rumah. Entah akan bersih atau tidak, ia tak berharap banyak akan hal itu.
Dunia benar-benar terbalik dan Gianna menyukai hal ini.
Mobil yang sering digunakan suaminya untuk bekerja, kini menjadi miliknya, sementara itu di rumah tak ada kendaraan satu pun yang bisa digunakan dengan bebas. Ah, jangan salah, Gianna pun kemarin meminta operator wifi untuk mencabut perangkatnya, sebab Gianna tak membutuhkan lagi.
Saat sedang meluruskan bahu akibat otot-otot yang menegang, dering ponsel terdengar. Nama Flora terlihat di layar, segera ia mengangkat telepon tersebut.
"Flo, makasih banget," selorohnya tanpa sapaan.
"Gila lo, Gi. Udah dua hari ini keluarga Devira nggak keluar dari rumah."
Gianna tertawa mendengarkan itu. "Berarti, cewek itu udah balik ke rumahnya?"
"Udah, sepupu gue yang anterin ke rumah, setelah lo labrak dia," Flora menjeda ceritanya, "kayaknya ada yang intip gue dari jendela, deh."
"Ha?" Gianna menjadi penasaran, "lo sekarang di mana?"
"Duduk di teras, sambil natap rumah mereka."
"Entar ketahuan lo yang ngadu," ujar Gianna.
Flora berdecak. "Tenang aja, mereka mana tahu gue temenan sama lo. Di sini, kan, gue cuma pendatang, ngikutin suami, bukan pribumi." Tawanya mengalun dengan indah.
"Hati-hati aja kalau gitu, takutnya dinding bertelinga."
"Iya. Ngomong-ngomong, si Devira udah dua hari ini nggak ke kampus, kata sepupu gue, videonya dilabrak udah kesebar di fakultas mereka."
Gianna hampir tersedak ludahnya sendiri. Ia berdiri dari duduk dan menuju jendela, di sana terlihat area parkir yang ramai pengunjung di waktu makan siang. Sebelumnya ia merasa hidup tak adil, tetapi ternyata semesta membalas seadil mungkin, bahkan lebih.
"Tapi hebatnya yang nyebar, wajah lo ditutupi stiker," Flora tertawa, "gue kirimin videonya, bentar."
Gianna membuka aplikasi whatsapp dan menunggu kiriman dari Flora. "Ini nggak ada di pikiran gue. Ternyata orang-orang sekarang masih punya hati, ya, nggak kayak mereka berdua."
Flora mengiyakan. "Lebih tepatnya anak-anak zaman sekarang kecanduan HP, ngelihat apapun pasti yang pertama diambil, ya, HP. Ngerekam, bagikan, selesai. Tapi dalam kasus lo, gue dukung banget tindakan yang rekam, apalagi wajah lo ditutupi stiker."
"Nah, itu dia. Kayak ngelindungin gue yang udah jadi korban, ya." Gianna tertawa.
Video yang dikirimkan Flora telah terunduh. Selesai mengobrol dengan temannya itu, Gianna bersiap menonton video tersebut, bibirnya tak henti menyeringai, merasa bangga pada diri sendiri karena suaranya tak bergetar sedikit pun. Tegas, tanpa ada yang bisa menyela.
Padahal, saat melihat Izhar memeluk Devira, sumpah mati hati Gianna sudah tak berbentuk. Dikiranya tak akan melihat secara langsung, nyatanya tidak. Sakit Gianna kini berganti menjadi benci dan dendam, bahkan saat ini, bukannya kasihan pada takdir yang menimpa keduanya, ia malah tertawa merasa senang.
Akan tetapi, bukan berarti dirinya puas hanya dengan hal itu saja.
**
Bagi Gianna, menjadi manager restoran adalah hal yang sangat mudah, sebab sebelum menjadi ibu rumah tangga, Gianna punya pengalaman bekerja di restoran pertama milik abangnya.
Saat itu Bintang tengah mengandung anak pertama mereka, maka Gianna menggantikan selama hampir tiga tahun, sebab nyatanya setelah menjadi ibu, Bintang enggan meninggalkan sang anak, sedangkan Gavin masih aktif sebagai karyawan tetap di perusahaan furnitur.
"Capek?"
Gianna cukup terkejut melihat secangkir teh mendarat di atas meja, tepat di hadapannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Izhar. Setelah ia mengatakan tidak akan bercerai, tetapi menggantikan posisi Izhar, nyatanya pria itu dengan sangat mudah mengatakan iya.
"Nggak terlalu," Gianna melepaskan sepatunya, "Zein?"
"Di kamar, tidur." Izhar duduk di sebelah sang istri.
Melihat itu, Gianna segera mengambil jarak, sedangkan senyum tulus Izhar seketika berubah menjadi kecewa. Ia akui apa yang dilakukannya salah, tetapi kini dirinya telah berubah, lalu mengapa masih saja Gianna terlihat jijik jika berdekatan dengannya?
"Aku nggak tahu berapa kali kamu lakukan hal itu bersama perempuan lain. Daripada aku kena penyakit, jadi lebih baik jaga jarak dulu," ujar Gianna tanpa perasaan, "nggak masalah, kan, Har?"
Izhar mengeratkan rahangnya, tak bisa marah, sebab ini bukan salah istrinya. "Hanya dua bulan, Mas nggak pernah lakuin hal itu dengan wanita lain selain kamu," jelasnya membela diri, "dan lagi, sampai kapan kamu mau manggil Har? Emangnya nggak bisa manggil Mas kayak kemarin-kemarin?"
"Buat aku, kemarin udah nggak ada artinya, sekarang kita memulai lembaran baru," ucap Gianna sembari berdiri, bersiap meninggalkan ruang nonton, "ah, aku nggak percaya soal berhubungan intim. Jadi, gimana kalau kamu cek kesehatan dulu, sebelum minta jatah ke aku."
"GIANNA!" murka Izhar.
Gianna tertawa geli melihat wajah suaminya itu yang merah bak kepiting rebus, benar-benar sangat marah. "Kalau mau, silakan gugat cerai." Sedikit menantang.
Izhar mengepalkan tangannya, kemudian membuang napas kasar. "Oke, Mas bakalan cek kesehatan. Tapi kalau sampai terbukti Mas nggak punya penyakit kelamin, kamu jangan lagi ngomongin cerai."
Gianna membalas dengan seruan mengejek, "Huu... takut," perlahan meninggalkan ruangan tersebut, "astaga, orang baik kalau udah ketahuan bejatnya, langsung nggak dihargai, ya. Mau kasihan, tapi udah risiko," ucapnya, sengaja membesarkan suara.
Mendengarkan itu, Izhar hanya bisa bersandar di sofa dan memejamkan mata. Apa yang diucapkan oleh istrinya memanglah kejam, tetapi Izhar tahu bahwa lebih keji dirinya yang membohongi selama dua bulan.
Namun, Izhar berani bersumpah, tak pernah menyentuh Devira dalam hal memuaskan nafsu. Tidak. Yang dilakukannya hanyalah rasa penasaran, memiliki Gianna sudah sangat cukup, tetapi godaan iblis tak bisa ditahan, meskipun sadar bahwa itu adalah sebuah kesalahan.
"Giliran kayak gini, yang disalahkan iblis," imbuh Gianna yang kini sibuk memasukkan sepatunya ke rak.
"Gi," Izhar membuka matanya, "udah, berhenti. Mas salah, Mas akui itu."
Gianna menoleh dan membalas tatapan suaminya yang menyedihkan. "Sayangnya mulut aku nggak bisa berhenti," balasnya, "rasanya maaf saja nggak bisa ngilangin sakitku, kayak nggak adil gitu. Kamu senang-senang, aku malah dapat sakitnya."
Izhar berdiri dari duduknya. "Terus mau kamu gimana? Mas nggak bisa ubah masa lalu, Gi."
"Hmmm... gimana kalau aku juga selingkuh?"
"GIANNA!"
**
Helloooo
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
عاطفيةGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...