"Itu yang di depan rumahnya," Flora menunjuk rumah yang terlihat dari kaca jendela ruang tamu, "noh, noh, itu ibunya."
Gianna menatap ke luar jendela, rumah tersebut sama seperti dengan rumah yang ada di video kemarin. Ya, untuk saat ini Gianna hanya bisa menemui Flora, mencari tahu tentang perempuan yang dicintai oleh sang suami.
"Lo baik-baik aja, kan, Gi?" tanya Flora, wajahnya terlihat sangat iba.
"Tenang, kemarin gue udah nangis kencang, sekarang gue biasa aja."
Meskipun Gianna mengatakan begitu, nyatanya rasa iba tak langsung hilang di dada Flora. Ia saja yang bukan Gianna, merasakan sesak di dada, apalagi jika dirinya yang berada di posisi tersebut. Flora tak bisa membayangkannya.
"Sekarang rencana gue mau ketemu si cewek itu," imbuh Gianna.
"Ah, kalau sekarang kayaknya nggak bisa. Dia mahasiswi, katanya ngekos di dekat kampusnya."
Gianna mengangguk mengerti, keduanya menjauh dari jendela dan duduk di sofa. "Boleh lo cari di mana kosnya?" Wajahnya penuh permohonan.
"Kalau soal itu kayaknya mudah banget, Gi. Soalnya adik gue sekampus, sekelas sama dia, tinggal minta alamatnya ke adik gue."
Merasa bahwa mendapatkan angin segar, Gianna tersenyum. "Makasih banget, ya, Flo. Tanpa lo, mungkin gue bakalan dibodohi terus, makasih banyak."
Flora menyentuh tangan temannya itu, terasa begitu hangat, tak ada getaran di sana, menandakan bahwa Gianna benar-benar siap dan tegar dengan keadaan. Entah apa yang membuat wanita itu sampai saat ini belum menunjukkan wajah sedih.
"Gue hanya sekadar membantu, karena kita sesama perempuan," ujar Flora, "lo kuat banget, Gi."
Gianna menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. Jika ada yang mengatakan seperti itu, rasanya ia akan meneteskan air mata dan membuka topengnya. Namun, demi harga diri, Gianna menelan kepahitan, menutup kesedihan, dan menahan air mata.
"Kemarin gue kacau banget, Flo. Sampai-sampai gue pecahin cermin, dan berantakin dapur. Tapi pas sadar kalau di sini gue yang bodoh, perlahan gue terima dan beresin kekacauan yang gue buat," jelasnya, tanpa bergetar sedikit pun.
"Terus, anak lo sekarang di mana?"
Gianna menggigit dalam bibirnya. "Di rumah Abang gue, lagi-lagi ngerepotin Abang. Parah banget, ya, gue?"
Flora menggeleng. Sejak kecil Gianna hanya tinggal bertiga dengan nenek dan abangnya, sebab sang ayah telah meninggal dunia dan tiga tahun kemudian ibu mereka menikah lagi. Empat tahun lalu nenek Gianna telah berpulang, sekarang ia hanya memiliki Abang.
"Nggak, Gi. Abang lo udah tahu?"
"Belum," Gianna menggeleng, "kalau sampai tahu, dia pasti murka, nggak bakal dikasih ampun si Izhar."
Ia sangat hapal dengan watak abangnya, waktu itu saja saat Gianna sakit, abangnya menyuruh Izhar untuk pulang dan tinggalkan pekerjaan. Tidak cukup sampai di situ, sampai di rumah Izhar kena omel habis-habisan.
Ya, Izhar memang bekerja di restoran milik abang dari Gianna. Tentu, diterimanya Izhar di pekerjaan tersebut karena Gianna meminta kepada sang abang untuk memberikan suaminya pekerjaan.
Lantas, setelah kejadian ini, apakah yang akan terjadi?
Izhar akan dipecat?
Gianna tak tahu, tetapi mungkin itu bisa diambil sebagai pelajaran. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis, ide itu tiba-tiba datang ke kepalanya.
**
Ternyata cukup mudah mendapatkan alamat indekos milik perempuan yang baru diketahui olehnya bernama Devira. Usianya 21 tahun, masih menjadi mahasiswa aktif di universitas negeri. Gianna tak tahu semester berapa, yang jelas kehadirannya saja sudah sangat mengganggu.
Alisnya bertaut saat menyadari bahwa indekos tersebut tak jauh dari restoran cabang milik abangnya, tempat sang suami bekerja. Kira-kira hanya butuh naik motor sepuluh menit untuk tiba di indekos tersebut.
Melihat banyak orang berlalu-lalang di sana, tak mengenal gender, membuat Gianna tahu bahwa itu adalah indekos bebas, di mana siapa saja bisa masuk di sana. Ia mendecih, ternyata dirinya benar-benar telah dibodohi.
Gianna tak melihat mobil suaminya terparkir di sana, maka bisa disimpulkan bahwa Izhar masih berada di restoran, bekerja seperti biasanya.
"Nomor tujuh," Gianna melihat ke sekitar, mencari kamar bertuliskan angka tujuh di pintunya, "itu dia."
Pintu itu terbuka, ada beberapa orang di sana, seperti sekumpulan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas. Jika dilihat, itu sangat normal, tetapi ketika Gianna menatap ke arah yang lebih dalam, di ruangan tersebut ada seorang lelaki memeluk perempuan dari belakang.
Mereka tertawa bersama dan kemudian si perempuan kembali sibuk dengan laptopnya. Melihat itu, siapa saja merasa mereka tengah dimabuk cinta, begitu pula dengan Gianna, ia pun menilai bahwa suaminya benar-benar mencintai perempuan yang bernama Devira tersebut.
"Selamat siang." Gianna sebisa mungkin tidak terpancing emosi, suaranya dibuat tegas tak bergetar, meskipun mata masih fokus pada titik luka tersakit yang baru pertama dirasakannya.
"Siang," balas beberapa orang yang ada di sana.
Kali ini Gianna menjadi pusat perhatian, Izhar yang mulanya bersandar di bahu Devira, ikut mengangkat pandangan menuju ke arahnya. Mata itu terbuka lebar kala manik mereka berdua bertemu, kaget dibalas sakit, begitulah arti pandangan keduanya.
Akan tetapi tak berlangsung lama bagi Gianna membagi kesakitannya dalam tatapan, ia menghapus semua itu dalam satu kedipan.
"Ada yang bisa dibantu, Kak?" Salah satu mahasiswi bertanya padanya.
"Saya mencari suami saya," ucap Gianna, tegas.
Matanya masih tetap menajam pada Izhar, membuat semua orang di sana ikut memandang ke arah Izhar. Kini Devira yang dibuat terdiam, tawa tadi seakan menghilang ditelan bumi, dan Gianna tahu bahwa detik ini ialah pembuat skenario.
Ia tertawa sumbang, mencoba meredap emosi dengan tawa tersebut, tetapi nyatanya mata ini tak bisa berbohong, marah, benci, dan sakit menjadi satu. Gianna megangkat tangannya, memberikan kode kepada Izhar untuk keluar dari ruangan itu dan mendekat padanya.
"Aku nggak tahu mau ngomong apa, Mas," aku Gianna, "Mbaknya tahu kalau Izhar udah punya istri?" Beralih pada Devira.
Izhar berdiri dari duduknya, bergegas mendekati sang istri. "Gi, Mas bisa jelasin."
"Diam," menunjuk sang suami, "urusan aku sama mbaknya dulu, giliran kamu di rumah."
Ditatapnya lamat-lamat sang selingkuhan, memang wajahnya cantik, masih muda, tubuhnya pun elok, dan terlihat mendapatkan perawatan yang baik. Namun, itu semua menjadi nol di mata Gianna, karena Devira dengan sadar mengambil suaminya.
"Apa yang kamu suka dari dia?" tanya Gianna, "rumah masih nyicil, mobilnya juga. Sifat?"
Devira masih diam, menunduk menyembunyikan wajah. Gianna tak suka begini, menurutnya ini bujan reaksi yang diinginkan. Semua orang di sana pun ikut diam, tetapi dari ekor mata bisa Gianna lihat salah satu mahasiswi mengangkat ponsel dan sengaja mengabadikan apa yang terjadi di sana.
"Berkomitmen dengan bawa nama Tuhan saja, dia ingkar, apalagi janji ke manusia," imbuh Gianna, "dia udah punya istri dan anak, Mbak. Mbaknya juga masih muda, cari yang lebih baik."
"Gi, udah, kita selesaikan di rumah," Izhar menggenggam tangan sang istri, "ayo pulang."
"Belum, urusanku belum selesai." Gianna menepis lengannya. "Mbak, putus sekarang atau saya temui orang tuamu! Kita lihat, bagaimana reaksi mereka kalau sampai tahu anaknya memacari suami orang, ayah dari seorang balita," ancam Gianna.
Devira masih tetap menunduk, tangannya saling bertaut, gemetar bukan main. Perempuan itu sulit menyembunyikan ketakutannya, bahkan duduknya saja tak terbilang nyaman, Devira tak bisa berbuat apa-apa. Entah malu atau mencari rasa kasihan di antara teman-temannya.
"Mbak berharap saya mau mengalah?" Gianna tertawa sinis, "tunggu sampai saya mati."
**
Hellowww
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...