9 : Astaga

17.2K 1.1K 4
                                    

Ucapan Gavin memang sangat menohok, tetapi benar adanya. Meskipun  Gianna baru bekerja selama satu minggu dan belum mencicipi yang namanya gaji, tetap saja semua orang akan menilai sama dengan yang dikatakan Gavin.

Suami di rumah, istri bekerja. Itu adalah pemandangan yang membuat orang-orang risi, hanya pasangan hebat yang bisa tahan dengan komentar-komentar pedas tersebut. Gianna sangat tak peduli dengan komentar seperti itu, tetapi lain cerita dengan Izhar.

Bagaimana jika Izhar memilih cerai, di saat dendam Gianna belum hilang sepenuhnya?

Gianna seketika menghapus pikiran aneh tersebut. Ia tak suka, tak mau, sebab yang ada dalam pikirannya, Izhar dan Devira berlutut di hadapannya, menangis, hingga pingsan, karena balas dendam yang ia lakukan.

Dering ponsel menyita perhatiannya, nama Emir tertera di sana. Hari sudah siang, Gavin dan Bintang pun telah pulang sebelum pukul dua belas. Tinggallah Gianna bersama anak dan suaminya di ruang nonton.

Gianna segera berdiri dan menuju ruang tamu, tentu ia akan menjauh dari Izhar. Tak ingin ada yang namanya kecurigaan, sebab permainannya masih berlanjut.

"Halo, Pak," sapanya.

"Bu Manajer, maaf banget, Bu, saya repotin Ibu kemarin." Terdengar suara penuh penyesalan di sana.

Gianna sudah menduga, cepat atau lambat Emir akan menghubunginya, meskipun itu hanya untuk mengucapkan kata-kata yang sudah bisa ditebak. Bisa Gianna nilai bahwa Emir adalah pria yang baik, sungkan, dan sangat ramah. Sayang sekali, sifat sucinya tersebut harus ternodai karena kelakuan sang putri.

"Nggak apa-apa, Pak, selama saya bisa membantu, nggak ada masalah." Gianna menjawab dengan nada penuh kelembutan.

"Tapi saya nggak enak, Bu. Gimana kalau sebentar malam saya traktir Ibu," ucap Emir, "sebagai permohonan maaf saya, dan juga ucapan terima kasih."

"Ah, nggak perlu, Pak, saya melakukan karena kita sesama manusia, dan Bapak tengah kesusahan waktu itu."

"Nggak apa, Bu. Besok saya kirim alamatnya, kita ketemu di sana, ya, Bu."

Gianna tersenyum lebar. "Baik, Pak, jika Bapak maksa." Suara tawanya mengalun di udara.

Pembicaraan diakhiri dengan keputusan mereka akan bertemu malam nanti, sudah pasti Gianna tidak akan menolak, tadi itu hanya akting saja.

"Siapa?"

Gianna seketika menoleh, mendapati Izhar berdiri di pintu yang menghubungkan dengan ruang nonton. Matanya itu memicing dengan pandangan penuh kecurigaan.

"Rekan kerja," ujar Gianna.

"Harus, gitu, nelponnya pas hari libur?"

Gianna melengos. "Mending tidur siang." Beranjak dari ruang tamu dan segera menuju kamar tidur.

Bisa dirasakan suaminya mengikuti dari belakang, Gianna berbalik dan menatap pria itu. "Ada yang salah?" tanyanya, sedikit risi diikuti seperti itu.

"Nggak," Izhar menjawab, "tapi Mas mau nanya, kamu udah lihat hasil dari dokter?"

Ah, Gianna lupa soal itu, ia melihat amplop tersebut terdapat di atas meja riasnya. Hanya melihat, kemudian memasukkan ke dalam laci, tanpa membuka dan baca.

"Udah lihat, kok." Gianna tidak berbohong, ia benar melihat, meskipun tak membuka. "Itu aja?"

Izhar menelan ludah susah payah, ada hal yang ingin disampaikan, tetapi tertahan di ujung lidah. Melihat wajah istrinya yang kurang ramah, membuat niat itu hilang seketika.

"Aku tahu, kamu pasti denger obrolan aku sama Bang Gavin. Iya, 'kan?"

"Iya."

Begitulah istrinya, tanpa diberi tahu, pasti akan langsung paham hanya dengan melihat ekspresi. Sejujurnya, ia cukup terganggu dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh Gavin. Ada bagian hati yang terluka, karena merasa diinjak-injak, ada juga yang membenarkan ucapan tersebut.

"Mas mau cari kerja," ucapnya, penuh keseriusan.

Tentu Gianna terkejut, hal ini tak ada dalam bayangannya tentang balas dendam. Jika Izhar bekerja, otomatis mobil yang sekarang dikendarainya, tidak akan bisa leluasa digunakannya.

"Jangan masukin ke hati, diam aja di rumah, aku yang kerja." Gianna segera masuk ke dalam kamar, menghindari obrolan tersebut.

"Tapi Mas juga cukup tahu diri, nggak mungkin selamanya bergantung di kamu."

Gianna berbalik. "Aku nggak keberatan. Lagi pula, kalau kamu kerja, anak siapa yang jemput dari sekolah? Yang nemenin di rumah?"

Izhar diam sedetik, kemudian menjawab, "Ibu, kita bisa titipin ke Ibu."

"Selama kita nikah, kenapa aku nggak pernah mau titipin Zein ke Ibu?" tanya Gianna, "kamu pasti tahu jawabannya."

Pria itu diam, tak bisa menyahuti ucapan Gianna. Tentu Izhar tahu betul mengapa ia sangat menghindari membuat repot sang ibu mertua. Selain karena beliau sudah tua, Gianna juga tak ingin karena kini di rumah mertuanya ada sang kakak ipar.

Ya, ibu kandung Izhar kini tinggal bersama kakak perempuannya yang juga sudah menikah. Siapa yang mau mendapatkan lirikan sinis dari perempuan tersebut. Jujur saja, Gianna tidak pernah ada masalah dengan ibu mertuanya, bahkan ia menyayangi beliau. Hanya saja, tidak dengan kakak iparnya.

**

Sore hari Gianna sudah sangat rapi, duduk di restoran mewah dengan ditemani seorang pria yang mengatakan ingin menebus kesalahan karena sudah membuat Gianna kerepotan di malam itu. Padahal, ia sendiri tak mempermasalahkan, sama sekali tidak.

"Dimakan, Bu," Emir mempersilakan, "kalau masih kurang, bisa pesan lagi."

Gianna sedikit sungkan, meski begitu tetap mengambil garpunya dan dengan sangat pelan menggulung pasta di hadapannya. Sejujurnya, ini kali pertama Gianna duduk di restoran yang menyajikan makanan Italia.

"Devira udah baikan, Pak?"

Emir seketika melepaskan garpunya, kemudian mendesah sedikit kasar. "Nggak ada perubahan, Bu. Istri saya juga nggak bantu apa-apa, saya bingung harus berbuat apa lagi."

Bisa Gianna lihat frustrasi yang ada di wajah Emir, seakan semua cara telah dilakukan. Sebagai seorang ayah, tentu sangat ingin melihat anaknya ceria dan bersemangat, apalagi sudah berada di semester akhir perkuliahan. Pasti Emir mengharapkan anaknya lulus tepat waktu.

Akan tetapi, rupanya takdir berkata lain. Datangnya masalah ini membuat segala bayangan masa depan yang cerah, seketika buyar. Gianna rasa Emir sangat kecewa dengan anaknya, tetapi lebih banyak rasa protes menyalahkan takdir.

"Teman-temannya nggak ada yang datang buat nengokin Devira?" Gianna ikut terlihat iba, agar pria itu tak mencurigainya.

"Nggak ada." Emir terlihat sangat kecewa, tetapi detik kemudian matanya berbinar. "Kenapa saya baru kepikiran datangi temannya, ya?"

Gianna mengangguk. "Iya, datangi mereka, minta tolong bu—"

"Bu Manajer mau temenin saya?"

"Ha?" Gianna tercengang. "Ah, nggak bisa, Pak. Sebaiknya Bapak datang bersama istri," sarannya, demi menghindar bertemu dengan teman-teman Devira.

Gianna tak ingin jika mereka bertemu dengannya nanti, identitasnya akan terbongkar di depan Emir. Tidak, ia baru saja memulai, maka tak akan dibiarkan berakhir sebelum benar-benar puas.

"Istri saya mana mau ribet," ungkap Emir dengan nada pilunya, "saya juga bingung, kenapa nggak bisa marah ke istri, ya minimal negur dia yang terlalu cuek ke Devira."

Menurut Gianna, Emir adalah ayah baik yang tak memiliki tempat untuk curhat. Itu mengapa selalu datang kepada Gianna untuk membahas tentang Devira, bahkan sampai meminta saran. Ia kasihan melihat Emir, tetapi tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Saya takutnya, masalah dia pacaran sama suami orang, diketahui sama teman-temannya. Makanya dia nggak mau pergi kampus buat ngurusin proposalnya." Emir lagi-lagi menghela napas frustrasi.

Makanan di hadapan menjadi hambar untuk Gianna, sebab teman mengobrol seperti kehilangan gairah hidup.

**

Hei
Aku update

Jangan lupa vote

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang