Sebelum Gianna pergi ke kantor, seperti biasa dirinya akan membuat sarapan dan menyiapkan bekal untuk anaknya. Namun, kali ini Gianna tak melakukan sendiri, sebab Susanti keluar dari kamar tamu dengan senyum merekah sempurna.
Ya, wanita itu membantunya memasak, tanpa mengomel atau bertanya bagaimana keadaan keluarga ini sekarang, layaknya seseorang yang sudah sangat tahu keadaannya. Susanti malah bercerita tentang betapa kesalnya Stefy yang ingin liburan, tetapi suami tak mendapatkan cuti.
"Lain kali kita liburan bareng, ya, kata Stefy di Bandung banyak tempat wisata yang bagus," ujar Susanti, penuh harap.
Gianna hanya bisa mengangguk. Dalam keadaan seperti ini, tentu berlibur adalah hal yang dibutuhkan, tetapi mengingat pengeluaran materi, ia tak akan bisa janji akan melakukan permintaan mertuanya. Ya, mungkin Gianna akan mendapatkan kesenangan. Akan tetapi, saat pulang ke rumah, sudut bibirnya ini pasti akan menekuk ke bawah.
"Aku siapin keperluan Zein dulu, Bu." Gianna meninggalkan dapur setelah mendapatkan anggukan dari Susanti.
Hendak melangkah ke kamar milik Zein, tetapi dehaman Susanti menghentikan langkahnya. Gianna menoleh, mendapati wanita itu tengah menatapnya dengan sangat dalam dan lembut.
"Jangan terlalu capek, Zein pasti sedih kalau kamu sakit," ucap mertuanya.
"Iya." Gianna mengangguk.
Di kamar pribadi milik Zein, Gianna mengeluarkan seragam sekolah putranya itu dari dalam lemari, kemudian menyiapkan kaus kaki, dan memeriksa perlengkapan tulis di dalam tas. Biasanya anak kecil suka ceroboh, setiap hari ada saja alat tulisnya yang hilang.
Itulah mengapa Gianna sangat rajin mengecek satu per satu alat tulis dan mewarnai milik Zein. Kadang jika hilang, anak itu akan menangis karena merasa bersalah telah menghilangkan barang yang berharga.
Setelah merasa semua itu tak ada masalah, Gianna menuju kamarnya dan Izhar untuk membangunkan Zein. Tentu Izhar pun jam begini masih tidur. Karena dirumahkan, membuat suaminya itu sering bangun kesiangan. Biasanya bangun di saat Gianna telah pergi mengantarkan Zein ke sekolah dan pergi bekerja.
"Bangun, Sayang," Gianna mengguncang pelan tubuh putranya, "Sayangnya Mama."
Zein menggeliat, nampaknya berusaha terbangun, tetapi mata begitu berat untuk dibuka. Gianna selalu sabar menghadapi Zein yang seperti itu, ini bukan kali pertama baginya.
"Gi, jam berapa sekarang?"
Gianna mendengkus mendengar suara berat milik suaminya. "Bangun aja, sarapan udah siap."
Melihat pria itu dengan wajah tak merasa bersalah, bangun tanpa beban, membuat Gianna ingin sekali melemparkan pisau hingga menancap dada. Ya, Izhar bak raja yang bangun, makan, dan tidur, tak ada pekerjaan yang produktif dilakukan oleh suaminya itu.
**
"Gimana? Menurut kamu dia selingkuh?"
Gianna menatap lima lembar foto yang ada di tangannya, menampakkan wajah istri dari Emir yang berdiri di sebelah seorang pria berkemeja hitam. Keduanya terlihat berdiri di area parkir pusat perbelanjaan, Gianna menilik dengan seksama pria yang nampak dari belakang itu.
Tak asing baginya, apalagi melihat kemeja hitam tersebut.
"Harus cari lebih detail, sih, Mas," saran Gianna, "ini sekarang kita ke mana?"
"Rumahku."
Pasalnya siang ini Emir menjemputnya di restoran dan mengatakan akan ke suatu tempat untuk mencari sesuatu. Gianna tak menanyakan secara detail saat masuk ke dalam mobil Emir, sebab foto-foto di tangannya memperjelas apa yang ingin dicari oleh pria itu. Ya, kebenaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
Roman d'amourGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...