21 : Lelah Dua kali Lipat

11.1K 760 6
                                    

Semua itu ada sebab dan akibatnya, mendengarkan kisah bahwa ibu dari Devira sangat cuek pada keadaan dari sang putri, telah memunculkan kecurigaan. Dalam pencahayaan yang remang, Gianna tersenyum miring mendengarkan kabar bahwa pria di hadapannya ini akan diceraikan oleh sang istri.

Tak ada yang tahu alasannya, Emir saja terkejut saat mendengarkan kata cerai, padahal keadaan keluarga sudah jauh lebih baik karena Devira akan segera menikah. Gianna bersandar, menatap Emir yang benar-benar terlihat sangat frustrasi.

Lama menilik ekspresi terpuruk itu, Ia bangkit dan mendekati Emir. Ya, tentu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, duduk di sebelah Emir, Gianna kini lebih dikenal sebagai perempuan penggoda. Satu tangannya terangkat mengelus bahu pria itu.

"Yang sabar, Mas, sabar," ucap Gianna, "coba tanya baik-baik, apa salah kamu, pasti bakalan dijawab. Perempuan itu maunya diberi perhatian, bukan dicueki, kadang juga istri bisa cemburu lihat suami lebih perhatian ke anak di saat istri pun punya masalah sendiri."

Emir memejamkan mata, kemudian mengusap wajah. "Kurang perhatian gimana aku? Aku ngelakuin apapun untuk keluarga, tapi tiba-tiba minta cerai tanpa alasan yang jelas, mana bisa aku terima." Menunduk dalam.

Gianna bukan penghibur yang handal, tetapi jika keadaan memaksa untuk dirinya bersilat lidah, kenapa tidak? Akan disanggupinya apapun yang terjadi.

"Mas tahu istilah pillow talk?"

Pria itu menoleh. "Ah, yang itu, ya." Menatap ragu kepada lawan bicaranya. "Emang nggak masalah bahas kayak gitu ke Mbak Gianna?"

Tertawa geli, Gianna mengangguk. "Nggak masalah, aku bukan orang baru, kok, dalam hal kayak gini. Meskipun masih 28 tahun, aku udah punya pengalaman."

Emir tersenyum kecut. "Nggak, ah, nanti kamunya malah mikir yang jorok-jorok, lagi."

Gianna tertawa renyah, sembari menepuk bahu lawan bicaranya. "Mas bisa aja. Kan, kita hanya bahas tentang obrolan," celetuknya.

"Tapi biasanya obrolan kayak gitu pasti menuju ke...."

Ia menjentikkan jari di depan wajah Emir. "Yang pertama Mas lakuin adalah peluk istri, terus bilang makasih. Itu satu kata simpel, tapi jarang diucapkan suami ke istri." Gianna tahu, tak semestinya memberikan saran kepada Emir, sebab tujuan awal adalah mengacak-acak keluarga tersebut.

"Oke, terus?" Emir sepenuhnya menghadapkan tubuh ke arah lawan bicaranya. "Setelah dipikir-pikir juga, aku jarang ngomong makasih ke istri."

Gianna tersenyum cerah. "Lalu bilang, apa maumu sekarang, bakalan aku turuti."

Emir segera menggeleng cepat. "Nggak, nggak, pasti dia bakal jawab mau cerai."

Gianna mendengkus, sebenarnya itu yang diinginkan olehnya, tetapi ia tak boleh terlalu mencolok. "Kalau dia masih sayang sama kamu, Mas, pasti dia bakalan bilang apa yang dimau dari kamu. Dan pasti, dia bakalan bilang, maunya Mas merubah satu hal buruk yang nggak disukainya."

Seketika ekspresi wajah Emir yang tadinya tertekan, berubah menjadi lebih lunak. "Kayak gitu, ya, Mbak."

Gianna mengangguk pasti, demi meyakinkan. "Kalaupun masih tetap ingin cerai, lepaskan. Nggak ada gunanya kita mempertahankan apa yang nggak mau dipertahankan," ucapnya, menutup pembicaraan malam ini.

**

Penasaran, tetapi tak bisa menerobos masuk masalah internal keluarga orang, begitulah yang Gianna rasakan sekarang. Saat pulang ke rumah di waktu hampir berganti tanggal di kalender, didapatinya Izhar duduk tak tenang di sofa ruang tamu.

Gianna melengos melihatnya, apalagi setelah merasakan telapak kakinya geli karena lantai terlihat kotor. Ia hanya bisa mengelus dada, saat menatap Izhar, ekspresi suaminya itu tak terlihat santai. Gianna tahu bahwa akan dimarahi.

"Yang penting aku ingat pulang," ucapnya, kemudian menaruh tas di atas sofa dan bergegas ke dapur.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, mau mengeluh pun tak ada yang akan mendengarkan. Anak dirawat dan dijaga dengan baik saja, Gianna sudah sangat bersyukur, setidaknya Zein tak merasa kekurangan kasih sayang.

Gianna bersiap mencuci piring kotor, membersihkan minyak, dan sisa makanan di kompor, serta atas meja makan. Diliriknya Izhar yang hanya berdiri memperhatikan, bergeming bak patung.

Sungguh, ia tak tahu bagaimana suaminya itu dibesarkan, tak pernah sekalipun bertanya kepada ibu mertuanya, seperti apa Izhar di rumah, apakah diajarkan mencuci piring, menyapu, atau sekadar membantu ibu membeli garam di warung?

Gianna tak tahu jawabannya. Hanya saja, melihat betapa berantakannya rumah ini, membuat Gianna menyimpulkan sendiri jawaban tersebut. Ya, mungkin saja Izhar hidup seperti pangeran di keluarganya.

Setelah membersihkan meja makan, Gianna beralih ke meja setrika. Tentu harus menunggu dirinya yang melakukan, barulah baju-baju itu tersusun rapi di lemari. Sementara itu Izhar masih terus mengikutinya bak hantu penasaran.

Gianna mendengkus. "Aku pikir kamu mau omelin aku, Har," katanya, "omelin aja, mumpung aku lagi sibuk ngurusin ini. Janji, nggak bakal aku bantah, kok."

Pria itu tetap bergeming. Gianna kembali melirik, ekspresi yang tadinya siap meledak mencerca Gianna dengan ribuan pertanyaan, kini melunak dan hanya kesedihan yang ada di sana.

"Kamu istirahat aja, biar Mas yang setrika baju," ucap Izhar, "kamu pasti capek kerja seharian."

Gianna menghela napas kasar. "Nggak, kok, segini doang," ujarnya, enteng.

Hanya saja Izhar tak mengindahkan kata-kata tersebut, setrika yang ada di tangan Gianna direbut begitu saja. Tersentak kaget, Gianna melotot ke arah pria itu. Apa yang dilakukan oleh Izhar sangat bahaya, bagaimana jika mereka berdua terkena panas dari setrika tersebut.

"Bahaya!" sentak Gianna, "kenapa harus direbut kayak gitu? Bilang baik-baik, kek."

Izhar mulai menggosok setrika di atas pakaian. "Kamu nggak bakalan denger, makanya Mas rebut. Udah sana, tidur."

"Nggak!" Gianna mencabut colokan setrika itu, "kamu aja yang tidur, aku mau beresin pekerjaanku dulu."

"Biar Mas bantu," sela Izhar, bersikeras tak melepaskan setrika dari tangannya, "kamu bersihin badan dulu, Mas yang lanjutin pekerjaan ini."

Gianna berdecak. "Nggak ada gunanya bersihin badan, kerjaanku belum selesai, entar keringetan lagi. Awas, minggir!" Mendorong pelan Izhar dari depan meja setrika.

"Kapan kamu mau dengerin Mas? Biar bagaimanapun Mas ini masih suamimu."

Memutar bola mata, Gianna merebut setrika tersebut dengan sangat kasar. "Kalau kamu yang kerjain nggak bakal rapi. Udah sana, mending tidur. Semakin kamu ngeyel mau bantuin, semakin lama kerjaanku selesai."

Rupanya Izhar segera menjauh dari Gianna, mungkin sadar bahwa hanya memperlambat jalannya pekerjaan. Ia sangat tidak percaya jika Izhar diberikan pekerjaan menyetrika baju, sebab yang ada malah Gianna akan menyetrika kembali karena terlihat kurang rapi.

"Gi, Mas minta maaf nggak bisa bantu kamu," aku Izhar, "tapi sumpah, Mas mau belajar, Gi."

Gianna menghela napas kasar. Menurutnya, kalaupun benar ingin belajar, pasti waktu satu bulan berada di rumah, dipergunakan oleh Izhar untuk belajar mencuci piring, menyapu dengan bersih, mengepel, menyetrika baju, membersihkan kamar mandi, dan lain-lain. Namun nyatanya, Gianna sendiri yang mengerjakan semua itu.

"Pekerjaan kamu gimana?" tanya Gianna, merubah topik.

"Mas udah cabut, nggak sanggup jadi tukang angkat barang."

"Baguslah, soalnya aku nggak punya waktu ngurusin orang sakit," ketus Gianna, "cari pekerjaan yang nggak berat, meskipun gajinya kecil. Aku nggak nuntut kekayaan, Har, tapi setidaknya kamu punya uang sendiri, dan bisa ngasih jajan ke Zein."

Begitu saja cukup untuk Gianna, tak masalah gaji kecil, yang penting anaknya punya uang jajan. Soal cicilan rumah dan mobil, bisa Gianna atasi sendiri.

**

Yang merasa lama banget update-nya, silakan ke karyakarsa ya. Udah tamat dan ada bab bonusnya.

Cari menggunakan judul atau nama pena Kanalda Ok.

See you

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang