24 : Langsung Saja

9.6K 804 5
                                    

Devira di hadapan Gianna kini bak anak kecil yang kebingungan membalas setiap ucapannya. Selama lima tahun, meskipun berada di rumah bersama anak dan jarang berkomunikasi dengan orang lain, bukan berarti Gianna kehilangan ketegasannya selama menjadi manajer di restoran sang abang.

Ya, meskipun waktu itu usianya terbilang sangat muda, tetapi Gianna terkenal tegas, bahkan tak segan memecat seorang pelayan yang sering terlihat kurang ramah pada pelanggan.

"Sekarang katakan, apa mau lo?" tanyanya, penuh penekanan.

Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, menatap takut pada Gianna. Postur tubuh Gianna yang lebih tinggi darinya, serta tatapan tajam bak akan menerkam, membuat nyalinya ciut seketika. Padahal, Devira adalah perempuan yang berani, tetapi kali ini dirinya tak sanggup melawan.

"Mau minta perhatian sama suami gue?" tantang Gianna, "silakan."

Devira mengeratkan bibirnya, jalanan ibu kota masih sangat ramai, ia berasumsi jika Gianna berani berbuat kekerasan padanya, maka tidak akan segan berteriak dan meminta tolong. Namun, wanita itu tak melakukan hal tersebut, hanya dengan ketegasan saja, sudah membuat Devira terpojok.

"Atau mau nyuruh gue jauhi bokap lo?" Alis Gianna terangkat, menatap lurus mata milik lawan bicaranya. "Kenapa? Lo mulai khawatir bokap lo suka ke gue?"

"Mati aja lo!" maki Devira, menatap nyalang. "Bokap gue nggak mungkin kayak gitu."

Gianna pura-pura membersihkan kukunya, kemudian melayangkan tatapan mengejek. "Oh, ya? Di dunia ini, nggak ada yang nggak mungkin," tertawa sinis, "mau tahu satu fakta?"

Ia mendekat ke arah Devira membisikkan sesuatu di sana. Seketika perempuan itu mendorong Gianna untuk menjauh, sedangkan Gianna sendiri tertawa senang melihat ekspresi Devira yang tak mampu membalikkan ucapannya.

"Kalau gitu, gue masuk dulu," Gianna menoleh ke arah restoran, "kayaknya orang tua lo udah nggak ada di sana."

Devira mendengkus. "Lo nggak takut karma, Mbak?"

Gianna merapikan rambutnya dengan tangan, kemudian beralih ke blazernya. "Gue siap akan segala hal, termasuk karma. Nggak kayak lo, baru gini aja, udah ciut duluan," ucapnya, kemudian melambaikan tangan dan beranjak pergi.

Ngomong-ngomong, apa yang Gianna bisikkan pada Devira adalah sebuah fakta yang akurat. Ya, selama ini Emir yang mencari keberadaan Gianna, bukan sebaliknya. Mereka bercerita segala hal, bahkan sekarang topik tentang Devira bukan lagi alasan pertemuan mereka.

"Bokap lo yang sering nyari gue, dan gue diam aja. Kasihan banget, katanya nyokap lo kurang ngasih perhatian." Itulah yang Gianna bisikkan pada Devira.

**

Pulang dari bekerja, Gianna duduk di sofa ruang nonton beberapa menit, sembari memijat pelan kakinya. Lelah dan pegal, matanya tertuju pada jari kelingking yang memerah. Ya, sebenernya sepatu yang dikenakan sudah terasa sempit, tetapi Gianna memaksa untuk memakainya.

Sepatu itu pemberian Bintang, dua tahun lalu saat Gianna berulang tahun. Sebab tak memiliki pekerjaan yang mengharuskan mengenakan sepatu hitam berhak, Gianna tak pernah mencobanya. Baru sekarang ia sadar bahwa ukuran sepatunya terlalu kecil untuknya, atau mungkin jari-jari ini sudah bertambah daging.

Gianna tersenyum geli menyadari lagi-lagi dirinya bergurau dalam pikiran. Ia beranjak dari duduknya dan menuju laci yang berada di ruang nonton, mengambil hansaplast dari sebuah kotak khusus obat-obatan, kemudian kembali duduk di sofa.

Malam sangat tenang, Gianna menoleh ke kamar miliknya dan suami yang telah mematikan lampu. Kemudian beralih ke kamar tamu, pintu sedikit terbuka, menunjukkan wajah seorang wanita di sana.

"Astaga, Ibu!" Gianna kaget melihat Susanti mengintipnya dengan tatapan begitu intens.

Wanita itu tersenyum lembut, keluar dari tempat persembunyian dan duduk di sebelah Gianna. Sebenernya Gianna sangat malu dilihat oleh Susanti seperti ini, seakan menunjukkan kelemahannya. Namun, semua sudah terlanjur terlihat, maka ia teruskan membalut jari kelingkingnya yang lecet menggunakan hansaplast.

"Ibu kenapa belum tidur?" tanyanya.

Susanti membelai rambut Gianna, membuatnya merasakan sensasi hangat di dada. Tidak, ia tak boleh terus mendapatkan perhatian begini, itu mengapa Gianna sedikit menjauh dari ibu mertuanya.

Susanti tak melepaskan senyuman hangatnya, ketika menantu menjauh, maka dirinya segera bergerak mendekat. "Ibu udah masak, kamu tinggal makan aja. Baju kotor juga udah Ibu cuciin, kamu jangan sungkan kalau mau minta tolong."

Gianna menggigit bibir bawahnya. "Bu, aku nggak apa-apa ngerjain semuanya sendiri. Aku sanggup, kok, Bu," ucapnya, penuh permohonan agar mertuanya itu tak ikut campur dalam rumah tangganya.

Tak mengindahkan ucapan menantu, Susanti mengelus bahu Gianna. " Yuk, makan. Ibu temenin."

Dada Gianna seketika merasakan beban yang begitu berat. Ia tak ingin ada yang mengasihaninya, sebab sekarang telah menanam bom yang kapan saja akan meledak. Ya, Gianna tak ingin Susanti ikut campur, dan nanti malah kecewa kala tahu bahwa dirinya tengah melancarkan aksi balas dendam.

"Bu," Gianna menyebut lembut wanita itu, "tolong ngerti, aku nggak bisa nerima kebaikan kayak gini. Maksudnya—"

"Ibu ngerti," interupsi Susanti, "Ibu tetap akan baik ke kamu. Bahkan sampai kamu milih pergi dan ketemu laki-laki yang lebih perhatian dari Izhar, Ibu akan tetap sama, Gi."

Gianna hampir ingin menangis ketika mendengarkan ucapan tersebut, terhanyut dan percaya bahwa ucapan Susanti dari hati. Namun, ketika mengingat lagi bahwa Izhar adalah anak dari Susanti, Gianna urung untuk berharap pembelaan.

"Maksud Ibu apa?"

Keduanya tersentak kaget mendengarkan suara berat tersebut. Izhar berdiri di belakang Gianna, menatap sang ibu dengan tatapan tak percaya bahwa ibunya sendiri malah berharap Gianna mendapatkan laki-laki lain di saat masih bersuami.

"Aku masih suami Gianna, kenapa Ibu tega ngomong kayak gitu ke istriku, Bu," ucapnya, penuh kekecewaan, "aku anak Ibu, kenapa gituin aku, Bu."

Gianna hendak mendesis menyuruh Izhar untuk diam, tetapi Susanti sudah lebih dulu berdiri dan menghampiri sang putra. Satu tamparan mendarat di pipi Izhar, Gianna memekik kaget melihat mertuanya itu tak segan melakukan kekerasan.

"Terus kenapa? Suka-suka Ibu ngomong kayak gitu," Susanti malah menantang, "Ibu nggak mau Gianna nyesel kayak Ibu, ngurus suami nggak guna sampai meninggal. Nggak, Gianna pantas bahagia."

Susanti berbalik dan kembali duduk di tempatnya tadi. Gianna masih tercengang dan tak percaya bahwa Susanti bisa melakukan hal tersebut untuk membelanya.

"Apalagi umurnya masih muda, seumur hidup tinggal sama suami kayak kamu, yang ada dia habisin hidupnya tanpa bahagia," imbuh Susanti, "kamu nggak pantas ngomong masih suami, masih suami. Kemarin waktu selingkuh juga kamu itu masih berstatus suaminya."

Gianna menelan ludah susah payah, ditatapnya Izhar yang mengeratkan rahang, seakan menahan segala amarah, tak mampu meledak karena tidak ingin bertengkar dengan sang ibu. Hal itu membuat Gianna tersenyum miring, meledek suaminya yang tak bisa berkata-kata. Mumpung sekarang dirinya membelakangi Susanti.

"Kamu tidur lagi, Mas, biar Ibu aku yang tenangin," ucapnya dengan suara lembut.

Tentu, ekspresi dan nada bicaranya sangat bertolak belakang. Izhar melotot sempurna mendengarkan ucapan istrinya itu, apalagi kata 'Mas' kembali terdengar setelah sekian lama.

"Iya, suruh dia masuk kamar. Ngelihat mukanya buat Ibu emosi mulu," dumel Susanti.

**

Hello 😁

Kalo bosan nunggu update yang lama, kalian ke karyakarsa aja ya... Di sana udah versi full, gak perlu nunggu update.

Atau beli versi e-book di no WA yang tertera di bio.

Aku udah jarang di wattpad, jadinya lupa update. Maaf yaa...

Balas Dendam Istri Sah (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang