"Kenapa bisa lari ke alkohol? Padahal, kalau ada masalah bisa dibicarakan ke pasangan." Gianna menatap lawan bicaranya.
Emir tertawa kecil. "Iya, kalau istri aku mau dijadiin tempat curhat, atau sekadar berbagi pendapat. Lah, istriku, baru buka mulut soal Devira, malah langsung pergi," keluhnya.
Sudah satu bulan mengenal Gianna, tentu Emir tak akan menahan mulutnya menceritakan tentang keburukan keluarga setelah mendapatkan masalah akibat omong kosong Izhar. Lagi pula, Gianna tahu sisi gelapnya, tetapi kini mulai berkurang karena Emir memiliki tempat untuk mencurahkan segala gundah.
Gianna berdecak berkali-kali, sembari menunjuk bunga yang ada di hadapannya. "Saya ambil ini, Mbak," ucapnya pada seorang penjaga toko bunga yang melintas, "mungkin nada bicara Mas bikin istri tersinggung."
Emir menghela napas kasar. "Harus selembut apa, sih? Lagi pula, kami sedang membahas soal anak, bukan orang lain."
"Pasti ada yang bikin beliau nggak suka, coba tanyai, nyamannya kayak gimana?"
Mereka berdua menuju meja kasir, pada siang ini Emir menawarkan diri untuk menemani Gianna membeli bunga yang akan digunakan menghias meja ruang tamu. Sebenarnya Gianna hanya bilang akan ke toko bunga dan mengirimkan alamatnya, saat tiba di sana, rupanya Emir sudah berdiri di depan toko seakan menunggunya.
"Udah berkali-kali aku tanyai, katanya malu kalau bahas Izhar, soalnya sekeluarga kena tipu sama dia," jawab Emir, "anehnya, kenapa aku nggak tahu kalau selama ini Izhar pembohong? Bener-bener itu cowok, ya, kayak udah berpengalaman banget nipu orang."
Gerakan Gianna terhenti sejenak kala ingin membayar bunganya, ia menoleh pada Emir yang menghela napas kasar, setiap kali membicarakan Izhar, pasti pria itu terlihat selalu menahan emosi.
"Yang kayak gitu, emangnya berpengalaman?" tanya Gianna.
Emir membalas tatapannya. "Iya, dari tingkahnya kelihatan kalem banget waktu minta izin ajak Devira jalan. Di rumah ada empat anggota keluarga, dan semua ketipu sama Izhar. Dan selama itu pula kita punya pendapat yang sama, Izhar itu cowok yang kalem."
Gianna menerima bunganya, kemudian berjalan keluar toko dengan sangat pelan. Ya, tentu ia pun memiliki pendapat yang sama dengan Emir ketika mendengarkan bahwa Izhar benar-benar seperti pembohong yang sudah berpengalaman.
Berpengalaman? Itu berarti, bukan kali ini Gianna dibohongi?
"Habis dari sini mau langsung ke restoran?" tanya Emir saat berada di area parkir.
"Iya, kalau Mas?"
"Mau balik kantor," ujarnya, "besok mau pergi bareng Devira untuk ketemu WO, kamu mau ikut, nggak? Anak aku itu suka nggak bener milihnya. Jadi, aku butuh orang kayak kamu."
Gianna berdeham, menghilangkan tegangnya sebab ditawarkan bertemu Devira. Sudah pasti, ia akan menolak. Tidak akan, belum sekarang untuknya menampakkan diri.
"Besok aku nggak bisa, Mas. Orang tua mau datang dari kampung, makanya harus ke bandara buat jemput," kilahnya, "nanti aku sempetin waktu di lain kesempatan."
Emir mengangguk. "Oke, hati-hati di jalan. Salam juga ke orang tuamu."
**
Gianna mengernyit mendapati pintu utama rumahnya terkunci rapat, biasanya masih terbuka dan Izhar tengah duduk di ruang tamu menunggunya pulang. Ia mengeluarkan kunci cadangan dari dalam tasnya, kemudian membuka perlahan.
"Mama!" sambut sang buah hati.
Kaget, Gianna menatap anak itu yang baru kali ini menunggunya pulang ke rumah. Biasanya sudah tertidur. "Kenapa belum tidur?"
Zein berlari ke arahnya, menarik tangan untuk segera menuju kamar. "Cepat, Ma, cepat!"
"Mama kunci pintu dulu," ujar Gianna, "Papa mana?"
"Di kamar, lagi sakit."
Selesai mengunci pintu, Gianna segera menuju kamar. Zein mengikuti dari belakang. Sesampainya di kamar, bisa dilihat Izhar meringis kesakitan, sembari memijit bahu kirinya, kemudian ke kaki.
"Kamu sakit apa, Har?" tanya Gianna, wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa khawatir.
"Badan aku sakit semua, pegel, capek, dan nggak bisa tidur," jawab Izhar, "kamu baru pulang?"
Gianna berdecak, keinginan untuk segera menuju alam mimpi nyatanya tak akan terealisasi semudah itu. Menuju lemarinya, ia mengeluarkan balsem yang mungkin bisa meredakan kesakitan Izhar.
Meski terlihat peduli, tetapi sebenarnya Gianna menggerutu berkali-kali. Wajah Zein yang khawatir membuatnya harus turun tangan. Padahal, kalau anaknya itu tidur, akan dibiarkan Izhar kesakitan seperti ini, sebab Gianna belum percaya pria tersebut seratus persen. Apalagi ditambah cerita Emir tadi siang, siapa yang mau terjerumus kedua kali?
"Kamu kalau sakit, jangan terlalu dilihatin ke anak," tegurnya, "lagian, ngapain, sih, sampai kayak gini?"
Di sela meringis kesakitan, Izhar menjawab pertanyaan istrinya. "Mas dapat pekerjaan di gudang, jadi tukang angkat barang. Mas iyain aja, karena langsung diterima, tapi ternyata pekerjaannya berat banget."
Gianna berdecak berkali-kali, menatap penuh ejekan kepada sang suami. "Oles sendiri, aku mau bersih-bersih dulu," suruhnya, sembari memberikan balsem tersebut. "Makanya, jangan suka main-main di luar, udah dapat pekerjaan bagus, malah disia-siakan."
Setelah mengatakan itu, Gianna menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Pintu kamar mandi terbuka, Zein berdiri di ambang pintu dengan wajah sedihnya.
"Mama, kok, marahin Papa?" tanya anak kecil itu, "Papa, kan, lagi sakit."
Gianna menoleh, tangannya memberikan isyarat untuk sang anak mendekat kepadanya, dan Zein segera mendekat. Gianna mengelus kepala putranya itu, yang belum mengerti keadaan. Mungkin karena sekarang lebih sering bersama Izhar, maka kepedulian anak itu lebih besar ke papanya.
"Mama nggak marah, hanya negur biasa, biar Papa berpikir ulang buat ninggalin kita berdua," kata Gianna, "Zein jangan ambil hati, ini masalah Mama dan Papa. Emangnya Zein mau, keluarga kita hidup terpisah?"
"Kenapa harus pisah?" Wajah polos Zein membuat Gianna gemas, dicubitnya pipi itu.
"Karena di hati Papa bukan hanya ada kita berdua, Sayang. Ada satu perempuan lain. Zein belum mengerti, nanti kita obrolin pas Zein udah SMP. Oke?" Mengacungkan jempolnya.
Meskipun belum mengerti, Zein ikut mengacungkan ibu jarinya. "Oke."
"Nah, sekarang Zein balik ke kamar. Kalau mau pijitin Papa, silakan. Mama mau bersih-bersih dulu."
Sebenarnya Zein sudah diajari tidur sendiri di kamar sebelah, tetapi karena ada masalah ini, Gianna menggendong anaknya dan menidurkan di antara dirinya dan Izhar, sebab itu bisa menjadi alasan Gianna ketika pria hidung belang tersebut meminta jatah.
Meski begitu, sejauh ini Izhar cukup tahu diri bahwa mereka masih dalam suasana bersitegang dan memilih mengambil hati Gianna dengan pelan-pelan. Gianna mendengkus, pria itu seperti di masa pendekatan, mengejarnya setengah mati, kemudian dipatahkan tanpa memikirkan hati.
Ia menatap cermin di hadapannya, menyadari bahwa tak selamanya perjalanan pernikahan akan seperti ini, pasti tidak akan sehat untuk pertumbuhan sang anak. Mengingat kalimat yang diucapkan mertuanya waktu itu, Gianna sadar bahwa ia harus mengambil keputusan setelah bencinya terpuaskan.
**
Hei
KAMU SEDANG MEMBACA
Balas Dendam Istri Sah (On-going)
RomanceGianna Ardiani hanyalah korban dalam perselingkuhan suaminya dan seorang mahasiswi muda bernama Devira. Saat mendengarkan perselingkuhan tersebut, Gianna merasa tak bisa berlarut-larut dalam kesedihan, sebab dirinya ini begitu gatal untuk menunjukka...