Nayeon menatap penuh harap pada pria yang masih menggenggam tangannya saat ini. Demi apapun,ia belum siap mendengar sebuah berita buruk. Tapi disisi lain ia juga ingin mengetahui kondisi janinnya. Apakah baik-baik saja atau tidak.
"Jeongyeon.. kenapa diam?" tanya Nayeon dengan suara purau. Jeongyeon menggigit bibirnya sendiri. Haruskah ia berkata sejujurnya sekarang? Tapi jika itu terjadi sudah dipastikan Nayeon akan syok berat.
"Kau harus beristirahat sayang. Kau baru saja sadar.." Jeongyeon mengusap rambut Nayeon yang berantakan dimana bagian kepalanya masih dililit perban.
"Tidak! Bukan itu yang ingin aku dengar! Bagaimana keadaan bayi kita?! Apa dia baik-baik saja?!" Nayeon mulai menjatuhkan air matanya. Geram melihat Jeongyeon yang mengalihkan pembicaraan mereka.
Jeongyeon membuang muka. Matanya menatap ketiga sahabatnya yang kini terdiam dan tidak berani menjawab. Setidaknya mereka membantu Jeongyeon untuk membuat Nayeon tenang. Tapi sepertinya nyali mereka hanya sebesar biji kacang.
"Jeongyeon jawab aku!" Nayeon mengguncang bahu Jeongyeon meminta jawaban. Sementara pria itu telah menitikkan air mata. Menatap Nayeon dengan sendu.
"Kau harus kuat sayang.. semuanya sudah takdir. Kita tidak bisa melakukan apa-apa.." Jeongyeon mencium tangan Nayeon cukup lama.
Nayeon menggeleng pelan. Walaupun ia tahu makna kata yang Jeongyeon ucapkan,tapi hatinya masih berharap jika itu tidak terjadi.
"Andwae! Itu tidak benar! Dia tidak pergi kan? Dia masih di dalam sini! Kemarin..aku bahkan merasakan kehadirannya.." suara Nayeon terdengar berbisik. Tangannya mencengkram perutnya dengan kuat sembari menahan suaranya agar tidak meledak. Nayeon ingin menangis kencang namun entah kenapa tidak bisa.
"Bibi.. kenapa eomma menangis? Apa dia masih sakit?" Bae memegang tangan Mina. Menatap orang dewasa itu dengan wajah takut.
"Eomma baik-baik saja sayang. Ayo..kita biarkan eomma istirahat. Yujin..ayo kita membeli makanan untuk eomma nanti.." Mina menarik kedua anak itu keluar. Saat berhadapan dengan Chaeyoung,ia memberi isyarat agar pria itu ikut dengannya.
Melihat situasi memburuk,Mina tidak memiliki pilihan lain selain membawa si kembar untuk pergi dan membiarkan Jeongyeon menenangkan Nayeon.
Jackson pun turut meninggalkan Jeongyeon dan Nayeon berdua. Rasanya sangat sedih melihat Nayeon yang belum bisa menerima jika janinnya sudah tidak ada.
"Maaf...ini semua salahku yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Seharusnya aku pulang cepat.." lirih Jeongyeon.
"Hikksss..aku yang salah! Aku tidak becus menjaganya! Seharusnya aku tidak nekat untuk pergi sendirian!"
"Jangan menyalahkan dirimu sayang. Semua sudah takdir. Dia sudah pergi dan kita tidak bisa berbuat apa-apa.." Jeongyeon mengusap air mata Nayeon. Sesak melihat wanita yang ia cintai harus menderita akibat orang yang tidak bertanggung jawab.
"Maafkan aku yang tidak bisa menjaganya dengan baik.." lirih Nayeon.
"Tidak apa-apa. Ini bukan kesalahan mu. Kita harus mengikhlaskannya. Ingat,ada Yujin dan Bae yang masih membutuhkan kasih sayang kita. Jangan menangis Nayeon..melihatmu seperti ini membuatku ikut merasakan sakitnya.."
Nayeon memeluk tangan Jeongyeon dengan erat. Mereka sama-sama merasakan kehilangan. Sosok yang mereka impikan pergi sebelum melihat dunia.
+++
"Sayang.. makanlah.." Jeongyeon menyodorkan sesendok bubur dihadapan Nayeon. Wanita itu hanya diam,enggan membuka mulut. "Sedikit saja.." bujuk Jeongyeon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where Is Secretary Im? | 2yeon (END)
أدب الهواةSetelah kejadian satu malam itu, Nayeon menghilang tanpa jejak membuat Jeongyeon frustasi. Sekretaris pribadinya pergi meninggalkan dirinya di hotel tempat mereka menghabiskan malam.