Tok Tok Tok.
"Assalamualaikum. Yan! Jevian! Samlikum."
Dara nampak amat sangat antusias berdiri di depan pintu rumah Jevian, membayangkan bagaimana wajah kakaknya itu ketika nanti melihat dirinya datang dan berkata bahwa akan tinggal bersamanya. Yah meskipun sejujurnya, ia amat sangat enggan meninggalkan Jevan sendirian.
Clak.
Pintu dibuka. Seorang wanita dengan rambut panjang yang dicepol hadir di hadapan mereka. Aneh. Asing.
Bukan. Itu bukan Alma. Dia orang lain. Lantas mereka satu sama lain hanya bisa menatap saling bingung.
"Cari siapa ya mas?" kata perempuan itu.
Jevan geming. "Jevian ada?" katanya tanpa basa-basi.
"Jevian? Ini rumah saya mas, nggak ada yang namanya Jevian di sini."
Dan pernyataan itu sontak membuat Jevan dan Dara ceming seketika. Mereka saling menatap, dan Jevan coba mengingat-ingat. Benar kok, ini rumahnya Jevian. Jevan pernah kesini dahulu dan ia masih ingat betul letaknya. Iya. Di sini.
"Siapa toh, bu?"
Suara berat seorang lelaki hadir dari dalam, yang kemudian si pemilik suara itu datang menghampiri. Lagi-lagi orang asing. Pria paruh baya berbadan gempal dengan kaos oblong dan sarung yang dililit di perutnya.
"Ini loh pak, mas sama mbak ini cari wong jenenge Jevian. Lah sopo toh Jevian ibu yo ndak tau (Ini loh pak, mas sama mbak ini cari orang namanya Jevian. Siapa Jevian ibu nggak tau."
Si bapak yang sepertinya suami ibu tersebut memandang Jevan barang sejenak. "Loh ya sampeyan toh Jevian? (Loh bukannya kamu ya Jevian?)," kata si Bapak.
Jevan tersenyum kecil. "Bukan pak. Saya Jevan. Jevian adik kembar saya, setau saya rumah dia di sini."
"Oh walah, aku ya ora tau Jevian duwe kembaran toh bu (Ya ampun, aku nggak tau Jevian punya kembaran bu)," kata si Bapak pada istrinya.
"Jevian kuwi sopo toh pak? (Jevian itu siapa sih pak?)," jawab si Ibu.
"Sing duwe omah iki dulu, loh ya kan bapak tuku omah iki karo cah lanang kuwi bu, cah lanang sing sampeyan bilang ganteng kuwi loh bu (Yang punya rumah ini dulu, lah kan bapak beli rumah ini dulu sama anak laki-laki itu bu, anak laki-laki yang kamu bilang ganteng itu loh bu)."
"Oh walah cah lanang kuwi tooohhhhh. Aku ya mesti lupa pak, sampeyan tuku iki omah wis dari jaman jebot (Ya ampun anak laki-laki itu. Aku ya udah lupa pak, kamu kan beli rumah ini udah lama banget."
Si Bapak yang asik sendiri ngobrol sama istrinya kemudian kembali menatap Jevan dan kemudian tersenyum. "Iya kamu nggak salah, ini emang tadinya rumah si Jevian," kata bapak itu dengan pelafalan bahasa indonesia yang kental dengan logat Jawa nya. "Cuma anak itu udah pindah ke Sleman. Udah lama banget. Dia jual rumah ini, dan saya yang beli."
Deg
Wajah Jevan maupun Dara keduanya sama-sama langsung berubah getir. Ini sudah sangat jauh dari rumah, dan orang yang mereka cari-cari justru sudah pergi lebih jauh.
Bagian perihnya, mereka sebagai keluarga tidak tau apa-apa.
"Saya udah nggak kontakan lagi sama Jevian itu sekarang, cuma setau saya dia pindah ke Sleman karena katanya faktor kerjaan juga," bapak itu kemudian bertanya. "Loh ya kamu kembarannya masa ndak tau apa-apa?"
Dan apa yang bisa Jevan jawab? Tidak ada. Dia hanya tertawa sumir. Sial, orang lain kini perlahan tau buruknya hubungan mereka sebagai saudara.
"Bapak tau alamat jelasnya Jevian?" tanya Jevan mengalihkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jevandara
FanfictionAdara Aleandra, remaja pembuat onar yang menikmati kehidupan dalam ruang lingkup pergaulan bebas, bernafas setiap detik dengan satu tekanan batin yang selama tujuh belas tahun terakhir ia sebut Jevan.