- delapanbelas -

73 6 0
                                        

Kadang, orang suka nggak sadar kalo udah kelewatan sama diri mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kadang, orang suka nggak sadar kalo udah kelewatan sama diri mereka. Jevan contohnya.

- Dara -

Jev langsung kembali menyikat lantai setelah ia berucap bahwa ia akan mengantar sang adik menuju Jogja. Jev mendengar suara langkah Dara yang kian menjauh, lalu suara pintu ditutup yang Jev yakini bahwa Dara pasti sudah masuk kamar.

Jev hela napas pelan, menyiram lantai hingga darah tersebut mengalir ke lubang pembuangan. Jev menyeka dahinya yang berkeringat, sembari menahan lapar karena ia belum sempat menyentuh nasi untuk lambungnya. Namun, keadaan dirinya sekarang tidak lebih menyedihkan daripada perasaannya.

Percayalah, laki-laki setangguh dan sebengis Jevan Rafendra Putra, kini diam-diam menangis meskipun tak terisak. Ia menyamarkan suara napas beratnya dengan suara sikatan yang sengaja ia buat berisik. Entah kenapa, tapi hatinya benar-benar remuk detik ini. Mendengar secara langsung bagaimana sang adik berkata seolah-olah hidup dengannya adalah sebuah malapetaka.

Jev sendiri akui bahwa ia memang tak becus mengurus Dara, tetapi mendengar bagaimana bibir gadis itu secara ringan berucap kalimat demi kalimat pedas tersebut, Jev bahkan tak tau ia harus jawab apa. Menangis bukan jawaban, tetapi itu satu-satunya hal yang kali ini bisa ia lakukan. Tak ada lagi.

Bun, Jev bakal ditinggal lagi.

[ j e v a n d a r a ]

Sementara itu di kamarnya, Dara menangis sembari menutup wajahnya dengan bantal agar suaranya teredam. Ini bukanlah hal yang ia mau. Sungguh. Ia berani sumpah ia bahkan tidak mau pergi dari Jev. Bahkan jika ia disuruh pilih mau ayah atau Jevan, maka ia akan dengan lantang menjawab nama sang kakak.

Dibanding Jevian, Jev lebih dekat dengan Dara sedari kecil, sementara Jevi sibuk belajar, belajar, dan belajar. Dara bahkan tidak tau apakah Jevi sudi menerimanya nanti? Apakah tidak akan ada kecanggungan antara mereka? Dara carut-marut, tapi ia tak punya pilihan lain.

Dara sudah sangat jauh memberatkan hidup Jev. Ini sudah terlalu kelewatan baginya menjadi beban seorang Jevan Rafendra. Ia tak mau tinggal dengan ayah dan istri barunya, jadi pilihan satu-satunya hanyalah Jevian. Dara pikir, tanpa dirinya mungkin Jev bisa lebih tenang, tak perlu memikirkan sebuah tanggung jawab, cukup pada dirinya sendiri. Dara tau Jev sudah sebisa mungkin merawatnya dengan baik sampai-sampai lelaki itu lupa bagaimana merawat dirinya sendiri dengan cara yang sama. Satu-satunya solusi;

Dara harus pergi.

Jevian adalah kakak yang baik, sikapnya jauh lebih lembut daripada Jevan —yang sekarang—, tapi sedari kecil lelaki itu sibuk belajar dan mengejar prestasi, ia kadang menemani Dara bermain, tapi hanya kadang, sisanya ya ia habiskan untuk membanggakan bunda dan ayah. Kerja kerasnya selama ini terbayar dengan panggilan kerja di perusahaan ternama dengan gaji yang fantastis, dan Dara pun bangga dengan kakanya yang satu itu.

Jevian memang pantas dibanggakan dan diakui sebagai 'orang', namun jika ditanya soal 'siapa yang selalu ada untukmu?' maka jawabannya adalah Jevan. Laki-laki dengan akademik pas-pasan yang bahkan belum jelas kedepannya bakal jadi apa. Sedari kecil, Jevan yang selalu hadir untuk Dara. Dia memang tidak pintar-pintar amat, tidak ada bakat membanggakan ayah bunda lewat prestasi, tapi Jevan ini sedari kecil orangnya tulus, tak segan hadir bagi siapapun yang memang butuh dirinya. Jevan bahkan tak segan menerima perintah bunda untuk pergi ke pasar beli sayur dan ayam potong, bergelut dengan ibu-ibu lain juga suasana pasar yang kotor dan tak dipedulikan kebersihannya, berbeda dengan Jevi yang ogah disuruh hal-hal seperti itu karena ia malu dan alasannya 'ah Jevi nggak ngerti ah bun.'

Jevan memang miskin, urakan, kere, bego, dan terkesan tak punya masa depan cemerlang, tapi soal kasih sayang dan ketulusan, Dara berani bertaruh soal kakaknya itu.

Maaf ya bang, tapi abang udah keterlaluan sama diri abang sendiri.

Dara sesegukan, ingin rasanya jujur dan memuntahkam segala unek-uneknya pada Jev, tapi mengingat hubungan mereka yang retak sejak lama, rasanya itu mustahil dilakukan.

"Abang kok diem aja waktu kak Alma dibawa ke rumah sama bang Jevi?"

"Nggak apa-apa, kalo emang jodoh ada aja jalannya, kalo emang nggak jodoh juga ada jalannya. Kalo misalkan kak Alma emang jodohnya Jevi, ya mungkin emang ini cara Tuhan nyatuin mereka."

"Nggak ada yang bagus dari ngerebut pasangan orang, berarti kan bang Jevi salah."

"Tapi kan kak Alma nya juga mau. Berarti emang udah alurnya harus kayak gini. Nggak ada yang pantes disalahin."

Dara masih ingat perbincangan malam bertahun-tahun silam. Malam di mana ketika hari itu Jevian Dwipradipta membawa seorang gadis untuk dikenalkan ke ayah bunda. Ayah bunda tidak tau bahwa gadis itu milik Jev sebelumnya, karena memang selama mereka pacaran, Jev belum pernah sekalipun membawa Alma ke rumah, alasannya sederhana "aku masih belom punya apa-apa, kamu sabar sebentar ya." Namun Dara yang sudah seperti tempat peraduan bagi Jev, menceritakan soal Alma padanya, Jev dan Dara seterbuka itu sama lain—dulu—. Dara memang belum pernah bertemu langsung dengan Alma, tapi foto-fotonya di ponsel Jev yang Jev tunjukkan, cukup untuk mengetahui bagaimana perawakan si cantik itu, dan ketika Alma justru datang ke rumah bersama Jevi, yang Dara lakukan hanya geming, awalnya ia pikir Alma ini juga kembar sama seperti kakaknya, tapi tidak, dia hanya satu orang, yang dicintai dua orang sekaligus.

"Abang, itu kayak kak Alma, pacar abang?" Dara ingat ucapan pelannya yang ia katakan ketika di dapur sementara ayah bunda di ruang tamu menyambut hangat kedatangan Jevi dan Alma.

"Sssttt, udah bukan."

Sesederhana itu jawabannya.

Mungkin bagi Alma, Jev sudah terlalu lama menyuruhnya bersabar sampai-sampai wanita itu muak dan merasa dipermainkan. Padahal demi Tuhan, Jev cinta mati dan berniat serius pada gadis itu. Tapi ya bagaimana, alur Tuhan kan tidak selalu mulus, dan Alma dengan kejamnya menganggap bahwa Jev hanya coba-coba padanya.

Berbanding terbalik dengan Jevi yang mendekati Alma saja sudah menyandang status mahasiswa teladan dan menoreh prestasi sana-sini. Bahkan, gadisnya itu pernah bilang;

"Kamu harusnya kaya Jevian tuh, coba ikut CPNS, siapa tau lolos."

Dan bukannya Jev tidak mau jadi sukses atau bagaimana, tapi ia sadar porsi dirinya sendiri. Namun, mau bagaimanapun ia menjelaskan, yang ada di pikiran Alma hanyalah 'Jevi pokoknya lebih baik daripada Jev'. Padahal, dahulu gadis itu tidak pernah membandingkan Jev dengan siapapun dan menerima Jev apa adanya, sampai ketika Jevi hadir, ia berubah pikiran.

"Kamu nggak ada usahanya."

Jev bahkan tak pernah lupa ucapan Alma yang satu itu.

Dara serius berani bertaruh soal ketulusan, maka Jevan akan ia masukkan ke dalam opsi pertama. Bahkan memang hanya satu-satunya. Jevan adalah makhluk paling tulus setelah bunda. Dan ketika bunda pergi, maka ia cuma memiliki Jevan.

Dan mungkin memang hanya Jevan.

[ j e v a n d a r a ]

Jevandara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang