- sembilanbelas -

56 5 1
                                    

Tolong, semoga semua ini cuma mimpi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tolong, semoga semua ini cuma mimpi.

- Jevan -

Siang ini, pukul dua lewat lima belas menit, Jev geming menatap Dara di hadapannya yang kini berjongkok untuk mengikat tali sepatunya.

"Sendal lo udah dimasukin?" tanya Jev, Dara mengangguk.

Tak lama, Dara bangkit berdiri dan mengenakan tasnya ke kedua pundaknya, sementara tas besar yang isinya segala pakaian, alas kaki, dan perlengkapan lainnya di tenteng oleh tangan kanan Jev.

Dara berjalan lebih dulu keluar rumah, disusul Jev yang kemudian langsung mengunci pintu. Kawasan rumahnya pada saat itu sepi, mungkin karena sudah siang ditambah matahari benar-benar mentereng kali ini, yang bapak-bapak mungkin sedang sibuk banting tulang, yang ibu-ibu mungkin terlalu malas mengerumun untuk sekedar bergosip, yang anak-anak mungkin sedang tidur siang atau malas main karena panas.

Sepanjang jalan menuju jalan raya, Dara melangkah jauh lebih dulu daripada Jev, sementara Jev dengan berat hati mengikutinya. Menatap bagaimana gadis itu kian menjauh, dan akan menjadi sangat jauh nantinya. Jev hela napas, ia diam-diam berdoa semoga saja uang yang ia punya cukup untuk ongkos ke Jogja berdua. Uang pinjaman dari Bagas masih ada sisa, dan sisanya Jev dengan terpaksa minta uang tante Farah menggunakan alasan bahwa uang itu ia butuhkan untuk keperluan kuliah, dan tentu saja Jev mengingatkan, "Jangan bilang ayah ya."

Sejatinya, Jev tidak seratus persen memikirkan soal uang, jauh dalam batinnya yang paling dalam, ia memikirkan soal adik kecilnya itu. Soal bagaimana ia nanti akan jauh dari Dara, soal bagaimana ia nanti tak akan lagi bertengkar dengan Dara, dan soal bagaimana ia nanti bisa atau tidak hidup tanpa Dara. Bahkan kini, melihat gadis itu melangkah menjauh saja sudah cukup membuat Jev teriris-iris hatinya. Sungguh, baru sampai sini saja ia sudah merasa tidak sanggup.

Nggak usah pergi, Ra

Selamanya hanya akan menjadi keinginan yang tidak pernah ia ucapkan.

[ j e v a n d a r a ]

Coba tanya pada Jevan perihal siapa-siapa saja gadis yang ia sayangi sepenuh hati. Maka ia akan menjawab tiga nama, pertama bunda, kedua Dara, dan ketiga Alma.

Singkirkan perihal bunda yang kini tenang di surga, singkirkan juga perihal Alma yang kini bahagia dengan kembarannya. Yang ingin ia ceritakan adalah gadis muda di sebelahnya yang kini duduk sembari bermain ponsel sembari kedua telinganya ia sumpal dengan earphone. Iya, Dara.

Lihat, bahkan dalam jarak kurang dari satu meter saja mereka sangat asing. Mereka kini duduk di halte bis, menunggu bis yang akan mengantarkan mereka ke Jogja datang lalu mereka bisa naik. Tidak terlalu banyak orang di sini, mungkin karena memang bukan jadwal mudik, tapi yang jelas suasana tersebut membuat Jevan semakin geming. Ia melirik sedikit ke arah ponsel Dara yang kini scroll akun Instagramnya, entah lagu apa yang di dengarnya di earphone putih itu, Jev tidak mau tau.

Jev menyandarkan tubuhnya pada bangku silver yang kelihatan seperti bangku klinik atau bidan, menghela napas sesaat dan merutuk pada dirinya sendiri untuk memberanikan diri bicara pada Dara. Tapi nihil.

Seumur-umur, Jev tidak pernah merasa se-kehilangan ini. Dahulu ketika bunda meninggal, Jev sedikit menangis dan hanya butuh beberapa hari untuk bisa ikhlas. Bukannya ia tidak sedih, ia jelas sedih teramat sangat, tetapi penyakit komplikasi bunda sudah diderita sejak lama, dan sebelum meninggal pun bunda sudah dirawat selama kurang lebih satu bulanan di rumah sakit. Jev bukannya su'udzon pada takdir, tetapi ia sudah merasakan bahwa memang bunda tak punya waktu lama kala itu, bunda sudah sangat lemah, ia bahkan nampak lebih renta daripada nenek-nenek yang tiap Minggu senam pagi pake baju serba merah di lapangan pos yandu daerah rumahnya. Ia senantiasa berdoa, tapi kondisi bunda pun tak bisa berbohong bahwa wanita itu memang sudah tak mampu lagi bertahan. Singkatnya, sebelum bunda meninggal, Jev sudah siap terlebih dahulu.

Namun detik ini, menyaksikan dan menemani detik demi detik adik tercintanya akan pergi, rasanya amat berat bagi Jev. Ia lebih baik disuguhi kematian, merasakan kehilangan dari seseorang yang sudah beda dimensi terdengar lebih mudah dibanding melepaskan seseorang yang masih satu dunia tapi tak bisa lagi bertatap muka bahkan bertegur sapa. Jev berani sumpah ia tidak rela Dara pergi. Tetapi, mendengar bagaimana gadis itu mengatakan bahwa hidup dengannya seakan adalah petaka, maka Jev tak punya pilihan lain.

Apa yang ia pikirkan detik ini? Bagaimana perjalanannya nanti? Kalimat apa yang akan ia ucapkan untuk Jevi dan Alma? Atau akankah mereka baik-baik saja selama perjalanan?

Bukan.

Yang Jev pikirkan, tak jauh-jauh dari, bagaimana hidupnya akan berjalan tanpa seorang Adhara Aleandra?

Memang, mereka bukan kakak-beradik rukun yang terkesan membutuhkan satu sama lain, namun jika nanti Dara pergi, lantas untuk siapa Jev bekerja keras?

"Ayo itu bis nya tuh," Jev menyenggol lengan Dara dan langsung bergegas mengangkat barang bawaannya, ia diam sebentar sampai akhirnya Dara jalan lebih dulu dengan sebuah tas gemblok di punggungnya. Bukan tanpa alasan, Jev hanya ingin bisa terus berada di belakang Dara, menjaga gadis itu, selama yang dia bisa.

Bau aspal dan kesibukan ibukota khas terminal tercium jelas di sini. Knalpot-knalpot angkot, bis, ojek, dan sebagainya menjadi pengharum dalam suasana tersebut, terik mentari khas siang bolong, serta riuh berisik dari preman-preman atau supir-supir di terminal tersebut menjadi pemandangan biasa. Dara melangkah pelan untuk kemudian memijak lebih tinggi pada tanjakan bis, ada nyeri menjalar di perutnya, tapi ia tahan. Dara ambil alih duduk di dekat jendela sementara Jev di sebelahnya. Pria tampan itu meletakkan tas bawaan mereka ke bagasi penyimpanan di atas kepala mereka, lalu duduk.

Dara masih saja sibuk pada ponselnya, seakan tak ada orang di sebelahnya. Jev semakin getir, ia sudah duduk di bis detik ini yang artinya perpisahan akan menyapa sebentar lagi. Ya Tuhan, Jev tidak sanggup.

Mengurangi kegundahan hatinya, Jev mencoba tengok kanan kiri, menyaksikan penumpang lain masuk dan ambil duduk di kursi pilihan mereka, beberapa penumpang ada yang membawa kardus yang Jev tebak pasti isinya makanan atau oleh-oleh, ya bisa jadi juga pakaian sih.

Penumpang lain sama sekali tak ada yang nampak getir, mereka datang, masuk, duduk, lalu ya biasa saja, seakan memang kepergian ini bukanlah hal yang harus mereka takutkan. Berbeda dengan Jev yang getir hati setengah mampus.

"Ra?"

Dara yang memang sejatinya tidak mendengar karena kedua telinganya tersumpal hanya diam saja dan lanjut sibuk pada ponselnya. Jev pun sebetulnya tau itu, tetapi ketakutan benar-benar mengurungnya kali ini, melihat bagaimana seisi bis mulai terisi penumpang hampir sebagian besar, juga melihat bagaimana seorang pria bertubuh tambun perlahan naik lalu menegak air mineral dari botol berukuran satu setengah liter itu, pria tambun yang Jev tebak adalah sang sopir —terlihat dari seragam yang ia pakai— kini menyampirkan sehelai handuk kecil di lehernya, lalu duduk di kursi kemudi dan mengecek apapun yang Jev tidak paham.

"Ra?"

Jev memanggil sekali lagi, kali ini diiringi perasaan lebih getir karena ia tebak pasti bis akan berjalan sebentar lagi. Jev masih punya sedikit waktu untuk setidaknya merubah pikiran Dara lalu kemudian turun dari bis dan kembali ke rumah.

"Ra," final, kali ini ia memanggil sembari menyentuh pundak Dara, gadis itu otomatis menoleh dengan wajah "kenapa?"

"Lo... beneran mau pergi?"

Percayalah, perlu segenap keberanian dan sedikit waktu untuk mengucapkan kalimat sependek itu, yang sialnya hanya dijawab anggukan super kilat sarat kepastian dari Dara, dan kemudian gadis itu kembali menyumpal telinganya.

Sudah, pintu sudah ditutup, dan bis mulai berjalan.

[ j e v a n d a r a ]

Jevandara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang