Beberapa hari kemudian.
"Lo nggak istirahat?"
Dara hanya ikut bangkit ketika Putri --teman sebangkunya-- berucap demikian. Ini jam istirahat di sekolah, baru saja bel berbunyi dan guru yang mengajar keluar, para murid sudah banyak yang berbondong-bondong menjelajahi kantin.
Dara yang nampak ogah-ogahan hanya berjalan bersamaan dengan Putri dan tiga teman perempuan sekelasnya yang lain. Mereka mah asik ngobrol, julid soal Doni --teman sekelas mereka juga-- yang bandelnya minta ampun dan baru masuk sekolah lagi setelah tiga hari alpa, atau soal desas-desus study tour pra-wisuda kelas dua belas yang katanya jalan-jalan ke Bali. Dara hanya diam saja, wajahnya datar, pura-pura menikmati obrolan teman-temannya dan kemudian tertawa jika teman-temannya tertawa.
"Lo pada ke kantin duluan aja, gue lupa ada urusan bentar," kata Dara canggung.
"Kenapa, Ra?" tanya Rahma sembari menyampirkan hijabnya ke belakang.
"Pengen ke kelas sebelah dulu, ada urusan sama temen. Gue titip batagor ya," lalu Dara memberikan lima ribu rupiah pada Rahma.
"Oh yaudah, entar kalo kita belom di kelas, berarti masih antri ya."
Dara tersenyum dan kemudian mengangguk. Lantas tak lama teman-temannya pun berjalan, dan jangan lupa mereka masih julid.
Dara kemudian balik badan dan melewati koridor untuk kemudian tiba di sebuah kelas.
"Eh, mau tanya dong," kata Dara pada seorang siswi yang baru saja keluar dari kelas tersebut.
Siswi itu memasng wajah ramah. "Kenapa?"
"Saka masih nggak masuk hari ini?"
Sedikit informasi, ini sudah enam hari berlalu sejak hari berengsek itu. Dan sejauh ini, Saka sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. WhatsApp nya pun tidak aktif, masih saja centang satu sampai detik ini, ditelpon menggunakan pulsa pun selalu tidak terhubung.
"Enggak. Baru aja tadi walas kita bilang Saka udah pindah sekolah."
Deg!
"Hah? Kemana?"
Siswi itu menggeleng. "Nggak tau, nggak ada yang nanya juga tadi."
Dara geming. "Lo tau nggak rumahnya di mana?"
Siswi itu menggeleng. "Nggak tau. Coba lo tanya Adit noh," siswi itu menunjuk seorang pria di dalam kelas yang sedang bermain game ponsel. "Dia temen sebangkunya Saka. Mungkin dia tau."
Dara memandang siswa itu yang kini heboh bersama dua teman lain dengan mata yang sama sama tertuju pada ponsel miring mereka. Dara malu masuk kelas orang begitu saja.
"Ayo gue temenin," kata siswi itu yang sepertinya paham bahwa Dara ragu-ragu.
Dara otomatis langsung tersenyum sarat terima kasih. Dan kemudian mereka masuk.
"Dit," panggil si perempuan.
"Ha?" jawab si laki-laki masih pada ponselnya.
"Lo tau nggak rumah Saka di mana?"
"Pindah dia."
"Kemana?"
Laki-laki itu diam sejenak saking fokusnya. "Ih anjing yah yah yah yah. Akh asu."
"Dit woy!" pekik si perempuan. "Ini ada yang mau nanya!"
Lelaki bernama Adit itu lantas menurunkan ponsel dari jangkauan matanya, dan melihat ke arah Dara. "Eh hai," kata Adit sok ramah. Centil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jevandara
Fiksi PenggemarAdara Aleandra, remaja pembuat onar yang menikmati kehidupan dalam ruang lingkup pergaulan bebas, bernafas setiap detik dengan satu tekanan batin yang selama tujuh belas tahun terakhir ia sebut Jevan.