"Kalo bunda masih ada, lo mau ngomong apa?"
Perjalanan bis terus berlanjut ketika Dara berucap demikian. Sepuluh menit tadi, mereka sudah selesai bergelut dengan rest area, dan kembalilah mereka di dalam sini untuk melanjutkan perjalanan. Dan tanpa dugaan apapun, adiknya mau mengajaknya bicara lebih dulu.
"Banyak."
"Apa salah satunya?" Dara masih saja mendesak.
Jev nampak berpikir. "Mungkin keluh kesah gue ngampus. Dosen ribet. Tugas numpuk. Banyak lah pokoknya."
"Nggak mau cerita soal lo ngojol atau jadi pelayan di kafe deket kampus lo itu?"
Jev tertegun, lantas langsung menoleh penuh tanya kearah Dara. "Lo tau dari mana?"
Dara terkekeh, terkesan merendahkan. "Lo selama ini balik malem dengan alasan lo ngampus, nugas, atau nongkrong, lo pikir gue percaya?"
Jev diam.
"Gue pernah liat lo lagi ngojol, pernah juga liat lo lagi nganter-nganter minuman di kafe."
"Salah orang kali lo."
"Di dunia ini yang punya muka modelan lo siapa lagi kalo bukan Jevi? Terus lo mau gue percaya kalo yang gue liat itu Jevian gitu?" Dara tertawa kecil. "Jevian sukses, nggak bakalan kerja serabutan kayak gitu."
Demi Tuhan, Dara ingin mengutuk dirinya sendiri karena sudah berkata demikian.
"Itu gue kerjain ngisi waktu luang aja," jawab Jev enteng.
"Ngisi waktu luang apa emang butuh duit?"
"..."
Gue tau lo ngelakuin itu semua buat gue bang, batin Dara. "Goblok," ujarnya.
Jev hanya hela napas. "Ya mau gimana lagi, gue bukan Jevian yang banyak duit," katanya enteng, lebih terkesan seperti merendahkan dirinya sendiri.
Dara memalingkan wajahnya kembali menatap jendela, merasa bersalah? Tentu saja. Tapi biarkan, biar Jev sadar bahwa yang sejauh ini ia lakukan keterlaluan. Kelewatan membebani dirinya sendiri.
"Nanti kalo udah sama Jevi, jangan bandel," dalam sunyinya, Jevan berucap demikian.
Dara sontak kembali menatap ke arah Jev. "Urusan lo?" ketusnya.
Jev hela napas. "Ya bukan, cuma kan kasian nanti si Jevi repot. Dia banyak kerjaan, belom lagi urusan sama istrinya," percayalah, di kata-kata terakhir, suara Jev memelan.
Dara menyadari itu, ia bahkan bisa melihat jelas bagaimana sorot mata yang biasanya bengis itu kini melemah.
"Kalo nanti di sana lo ketemu kak Alma, gimana?" kata Dara.
"Ya nggak gimana-gimana, emang pasti ketemu."
"Emang lo nggak sedih gitu?"
"Kalopun sedih, gue bisa apa? Masa iya gue mau rebut Alma dari Jevi?"
"Lah, dulu aja bang Jevi rebut kak Alma dari lo."
Tepat ketika Dara menyebut Jevi dengan kata "bang", pada detik itu juga hatinya teremat. Sejauh ini, panggilan itu sudah hilang untuknya.
"Ya biarin, itu kan dia. Gue nggak usah ikut-ikutan," kata Jev kemudian.
Dara paham betul bahwa dalam cueknya seorang Jevan, ada perih mendalam yang ia simpan.
"Ini kalo bunda masih hidup dan tau soal kak Alma, kira-kira bunda marah nggak ya ke bang Jevi?"
Jev hela napas. "Kalopun marah tapi kenyataannya si Alma jodohnya Jevi, ya percuma juga Ra."
Dara kemudian diam, mencoba memberi waktu pada Jev untuk bisa menenangkan hatinya yang Dara tau, pasti sudah hancur berantakan. Dara pernah bilang kan, bengis-bengis begini, Jev orangnya tulus. Jevian mungkin menang soal kesuksesan, tapi perihal kasih sayang, Jev tetap juara satunya.
Mirisnya, tak ada satupun pertandingan atau penghargaan perihal kasih sayang.
Maka dari itu, Jev dipandang selalu kalah.
"Lo sebenernya masih sayang nggak sama kak Alma?"
Dara tau ia bodoh menanyakan hal itu, tetapi demi Tuhan ia penasaran akan jawabannya.
Jev nampak geming sebentar, lalu menoleh datar pada adiknya. "Urusan lo?" katanya.
Dara berdecak dan memutar bola matanya, lalu diam.
"Sayang."
Dan menit berikutnya, jawaban dari bibir Jev muncul.
"Kenapa sih waktu dulu lo nggak terus terang aja ke ayah sama bunda kalo kak Alma itu punya lo?" Dara mulai kesal, kakaknya ini kelewatan baik.
"Coba lo pikir. Waktu itu, Alma udah sayang sama Jevi dan udah nggak sayang sama gue. Semisal gue ngaku, terus ayah sama bunda nggak ngerestuin hubungan Jevi gimana? Pasti Jevi sakit hati, Alma juga sakit hati, dan gue? Emangnya lo pikir gue bakal dapet apa dari cewek yang cintanya udah buat orang lain?" Jev hela napas. "Intinya, kalo waktu itu gue ngaku, justru nggak ada satupun yang bahagia."
"Ya sekarang bang Jevi sama kak Alma bahagia, dan lo enggak!"
Jev diam sebentar. "Kata siapa?"
Dara berhasil dibuat bungkam.
"Gue bahagia kok. Orang-orang yang gue sayang bahagia, jadi ya gue bahagia. Alma sama Jevi bahagia, bunda sama ayah juga bahagia."
Yang belom bisa abang lakuin, bahagiain kamu Ra.
"Tolol," kata Dara lirih.
"Perihal cinta kan nggak harus memiliki."
"Nggak usah belaga puitis bahasa lo. Klise itu. Sampah."
"Nanti gedean dikit lo bakalan paham."
Dara sengaja berkata seketus itu, sejujurnya Dara pun sudah paham perihal istilah "cinta tidak harus memiliki" namun dalam kehidupan Jev, ia sama sekali tidak menyetujui itu. Ia sengaja berkata sedemikian kasar, agar Jev berpikir bahwa dirinya juga pantas bahagia. Pantas dicintai. Sangat pantas.
"Kalo nanti di Jogja gue dapet cowok yang modelan Saka lagi gimana ya?" kata Dara.
Jev hela napas kesal. "Gue matiin itu orang."
Dalam hati, Dara mencaci maki dirinya sendiri, bagaimana bisa ia jadi beban terbesar bagi seseorang yang susah payah menjaganya.
Jika memutar balikkan waktu, Jev ini memang agak bangsat pada Dara. Tukang pukul, omongannya kasar, seakan tidak memandang yang dia sakiti adalah adiknya sendiri. Tapi di lain sisi, Jev juga menjadi satu-satunya orang yang menjaga Dara mati-matian. Kerja serabutan demi uang makan dan biaya hidup sampai-sampai lupa dirinya sendiri pun butuh istirahat.
Jev bukan kakak yang baik. Tapi dia juga bukan kakak yang jahat. Dia adalah definisi seimbang.
"Jev, kalo nanti gue udah lama di Jogja, lo bakal sesekali dateng nggak?"
Dan jawaban dari Jev... hanya diam.
[ j e v a n d a r a ]
![](https://img.wattpad.com/cover/202018505-288-k748041.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jevandara
Hayran KurguAdara Aleandra, remaja pembuat onar yang menikmati kehidupan dalam ruang lingkup pergaulan bebas, bernafas setiap detik dengan satu tekanan batin yang selama tujuh belas tahun terakhir ia sebut Jevan.