- duatiga -

64 5 0
                                    

Jev yang sedang minum air mineral dari botol aquanya langsung menoleh ketika mendapati Dara menggeliat dari tidurnya dalam posisi duduk, nampak sekali gadis itu kelalahan kelamaan duduk. Dara mengucek matanya sejenak, lalu melihat ke sampingnya yang tak lain adalah jendela yang memperlihatkan pemandangan jalanan. Ya, masih sama seperti tadi malam, bedanya kali ini langit sudah berkabut, awan sudah sedikit membiru meskipun matahari belum muncul begitu terang. Benar, pagi telah datang.

"Anjir sejuk banget hawanya," kata Dara kagum, ia bahkan sampai benar-benar mendekatkan wajahnya ke jendela seakan ingin keluar dan menghirup langsung udara itu.

Jev tersenyum kecil, bahagia melihatnya bahagia.

"Gila, Jev. Liat. Anjir ini asri banget kanan kiri pohon, tuh masih ada sawah. Ih Jev liat ada sapi!"

Ah, sudah entah berapa lama Jev tidak mendengar suara antusias Dara seperti itu. Dulu, Dara sering berisik seperti itu, antusias pada film Barbie Mariposa yang diulang di kanal televisi setelah lama tidak ada di televisi, antusias pada lagu kesukaannya yang tiba-tiba terputar di saluran radio yang ayah dengar, atau antusias pada tepung fried chicken yang tebal. Bahagia Dara sebetulnya sederhana, hanya saja Jevan terlalu banyak memberinya luka, maka segala hal sederhana itu kini tak ada apa-apanya.

Mereka sepertinya sudah di tanah Jawa Tengah detik ini, kelihatan jelas dari pemandangan tempat ini yang masih sangat asri, berbeda dengan tempat tinggal mereka yang isinya cuma polusi. Jevan juga senang melihat pemandangan ini sama seperti Dara, tapi satu sisi hatinya yang lain menjerit, hey ini sudah sangat jauh dari rumah dan tak lama lagi kamu harus melepasnya.

Sejenak Jevan berpikir, ia tidak pernah melihat Dara sesenang ini lagi untuk beberapa tahun terakhir, itu karena Dara hidup bersamanya. Dan detik ini, ketika kedatangannya pada Jevian semakin dekat, kebahagian Dara seakan perlahan-lahan kian membesar. Itu cukup membuat Jevan sadar, bahwa memang gadis delapan belas tahun di sebelahnya ini tidak bahagia setiap hari bangun dan bernapas dengan dirinya dihidupnya.

Maaf Ra.

Cuma itu yang bisa ia simpan jauh dalam relung hatinya. Pengecut.

"Ini bentar lagi udah mau sampe?" tanya Dara.

"Belom, masih beberapa jam lagi, ini mah masih jauh."

Dara mengangguk-angguk paham.

"Lo inget nggak sih Jev dulu waktu gue masih SD deh kalo nggak salah, kan kita punya sodara tuh di Sukabumi, waktu dia nikah kita sekeluarga dateng. terus pemandangan jalanannya juga kayak gini. Asri banget masih banyak pohon-pohon. Iya kan? Inget nggak lo?"

"Oh, yang nikahan Om Adit ya, sepupunya ayah."

"Nah iya dia. Inget kan lo perjalanan pas kita ke Sukabumi nya."

"Iya inget."

"Tapi masih bagusan ini ya Jev. Ini asri banget gila sih parah."

"Enak nanti tinggal di rumah Jevian hawanya begini mulu."

Dara tersenyum memabayangkannya. Benar juga.

Terus abang mesti tinggal sendirian di rumah, Ra?

Demi Tuhan, Jevan semakin tidak sanggup. Membayangkan rumahnya di kota dan dirinya yang tinggal di sana sendirian. Dia bisa saja minta teman-temannya untuk menginap, malah justru bakalan asik. Tetapi ketika sedang sendiri, bagaimana ia bisa menerima kenangan yang diberikan di tiap sudut rumah itu? Tentang bagaimana dirinya tumbuh, tentant kehadiran Dara yang lahir ke dunia, tentang dia dan Jevian yang bertengkar rebutan robot, tentang omelan bunda yang geram karena si kembar tidak mau makan sayur, tentang rengekan rewel Dara yang kolokan minta susu, tentang ayah yang pulang kerja bawa jajanan enak, tentang ini, tentang itu, banyak sekali hal yang bahkan ia sendiri tidak mampu jika disuruh ingat satu per satu.

Itu adalah rumah penuh kenangan. Rumah yang jadi saksi bisu keharmonisan yang kini hilang. Semuanya sudah pergi, lantas kenapa takdir memaksa Jevan yang harus menetap di kubangan kelam penuh memori itu?

Miris. Tolong.

[ j e v a n d a r a ]

"Udah sampe kita?" tanya Dara sembari perlahan turun dari bis.

"Iya udah," balas Jevan.

Lagi-lagi pemandangan terminal, bedanya ini agak lebih adem dibanding terminal di Jakarta waktu mereka berangkat. Terik mataharinya masih ketolong, preman-preman terminalnya pun ngomongnya bahasa jawa yang justru kedengeran lebih halus dibanding preman terminal Jakarta yang logatnya udah kayak ngajakin ribut.

"Itu ada warteg, kita makan dulu, belom makan lo hari ini," kata Jevan sambil berjalan lebih dulu menuju warteg tersebut.

Setibanya di sana, mereka berdua sontak jadi pusat perhatian siapapun yang ada di warteg tersebut. Tidak ramai, tapi cukup membuat mereka risih.

"E alah cah lanang gantenge pol (Ya ampun anak laki-laki ini ganteng banget)," kata ibu-ibu paruh baya yang sepertinya pemilik warteg tersebut. "Arep mangan opo toh, le? (Mau makan apa?)," tanyanya lagi.

"Ehm... ini aja budhe, nasi pake sayur sama ayam. Yang satunya nasi aja pake orek tempe sama sambel sedikit ya," kata Jevan.

"Ra iso jowo toh, le? (Nggak bisa bahasa jawa ya?)," kata si budhe (panggilan khas masyarakat Jawa untuk wanita tua yang sepantaran ibu mereka).

"Bisa budhe, cuma nggak lancar. Tapi ya kalo budhe ngomong Jawa, saya masih ngerti kok."

"Oh yowes, saya juga bisa bahasa Indonesia kok, cuma ya campur Jawa."

Jevan kemudian hanya tersenyum lantas di Budhe memberikan pesanannya ke hadapan Jevan. Nasi sayur ayam Jevan berikan untuk Dara, dan nasi sambel tempe ia hidangkan untuk dirinya sendiri.

"Kok lo lauknya begitu doang?" kata Dara.

"Lagi nggak mau makan berat-berat," balas Jevan yang langsung melahap makanannya.

Dara tau betul, kakaknya begini karena menghemat uang. Persetan soal tak mau makan berat, padahal dirinya lapar setengah mampus.

Dara kemudian menyendokkan sedikit sayur yang kemudian ia tuangkan di piring Jevan. "Makan, ngapain di kasih gue?"

"Nggak mau banyak-banyak, perut gue masih suka eneg," kata Dara. Tentu saja sama-sama dusta.

Alhasil, keduanya kemudian lanjut makan makanan mereka masing-masing. Ditemani hiruk pikuk suara terminal dan celotehan berbahasa jawa yang terdengar sana sini, mereka justru diam. Tidak ada obrolan, seperti selalu.

Dara makan sambil memainkan ponselnya dan scroll medsos dengan begitu asik, tanpa tau bahwa di sebelahnya Jevan mati-matian menahan agar tangannya tak nampak gemetar karena kecemasan yang semakin menjalar kuat dalam dirinya. Makanannya sama sekali tidak nikmat, bahkan sekalipun ia disuguhi daging panggang berkualitas mahal, ia akan tetap ketar-ketir jika posisinya seperti sekarang.

Ya Tuhan, tolong buat Dara berubah pikiran.

Begitu saja doanya semenjak angkat kaki dari Jakarta. Tapi sampai detik ini, tak ada ucapan sedikitpun bahwa gadis itu ingin pulang.

Jevan melihat Dara sekali lagi, tetap saja gadis itu fokus pada ponselnya. Cantik. Adiknya yang cantik itu sebentar lagi akan pergi.

Jevan jujur sama sekali tidak keberatan jika Dara akan hidup dengannya sekalipun gadis itu tetap hamil dan punya anak, ia akan bekerja lebih keras, bahkan kalau perlu putus kuliah. Tidak apa-apa, asal Dara bersamanya, maka itu cukup.

Ra, asal kamu tau ya, abang nggak bisa kalo kamu nggak ada.

[ j e v a n d a r a ]

Jevandara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang