- tiga -

176 8 0
                                    

21.00 WIB

"Bunda pulang ya," kata tante Farah. "Besok kalo sempet bunda ke sini lagi," lanjutnya.

"Nggak usah ke sini lagi juga nggak pa-pa," umpat Dara.

"Dara," tegur ayah. "Yang sopan sama orang tua," sambungnya.

Dara hanya hela napas, ia yang berdiri sandaran dengan ambang pintu pun hanya memainkan rambut panjangnya sebagai alibi untuk tidak mau menjawab. Alhasil, ayah yang dari beberapa menit lalu sudah menjemput tante Farah pun akhirnya pulang setelah sebelumnya berpamitan dengan kedua anaknya. Ayah sempat berpesan pada Jev untuk bisa menjaga baik-baik adik perempuannya, dan jawaban lelaki itu hanyalah bungkam.

Seperginya ayah dan istri barunya itu, Dara langsung balik badan dan masuk ke dalam kamarnya, diikuti Jev, ia pun ikut balik badan dan pergi ke kamarnya setelah sebelumnya menutup dan mengunci pintu utama. Jev memberhentikan langkahnya sejenak, melihat sekeliling rumah yang terlihat jauh lebih rapi daripada kemarin-marin. Ya jelas saja ini kerjaan tante Farah, ia yang membereskan semuanya, mulai dari menyapu, mengepel, bahkan mengelap semua perabotan yang ada.

Jev hela napas lalu lanjut berjalan, memikirkan tentang ayahnya yang meninggalkan dirinya dan juga Dara dalam keadaan terpuruk setelah bunda meninggal tahun lalu. Dara marah besar karena hal itu, ia membenci sang ayah sebenci-bencinya, dan ketika tau bahwa ternyata ayah menikah lagi, kebencian Dara semakin membabi buta. Dara tak mau tinggal satu rumah dengan ayah dan istri barunya si Farah, ia tak sudi, ia bahkan muak melihat wajah ayahnya sendiri, karena itu ia tetap di rumah ini, rumah lamanya. Sementara Jev, ia memilih berpihak pada Dara, karena jika ia ikut sang ayah, Dara bisa-bisa tambah bebas tanpa pengawasan.

Clak!

"Tidur! Besok lo sekolah!"

Begitu ucapan Jev yang lagi-lagi membuka pintu kamar Dara tanpa permisi, lantas ia langsung menutup balik pintu itu tanpa menunggu jawaban dari sang adik. Dara yang tengah rebah di atas kasur sembari mendengar musik lewat earphone hanya mendecak merespon ucapan kakaknya itu. Ia sebenarnya tidak mendengar musik apapun, earphone itu hanya bertengger di telinganya namun tak bersuara dan aplikasi musik di handphonenya pun belum ia sentuh, dan Jev selalu tau hal itu.

Dara hela napas dan menatap sebentar langit-langit kamarnya. Tak ada yang spesial, hanya langit-langit biasa dengan sebuah lampu dan kipas angin. Dara bukan orang kaya, ia tak pernah merasakan sejuknya AC, ya mungkin pernah, tapi bukan di rumahnya. Dara lagi-lagi hela napas, mengusap wajahnya, lalu bangkit merubah posisinya menjadi duduk. Ia merogoh dompet miliknya di atas meja belajar samping tempat tidur, membuka dompet itu tapi bukan untuk melihat sisa jumlah uang yang ia miliki, melainkan untuk menatap sebuah foto usang yang ia selipkan dalam dompet tersebut.

Dara tersenyum kecil menatap potret lama itu. Potret dirinya yang tersenyum begitu manis dan tulus disebelah seorang lelaki, kakaknya. Dara mengelus pelan foto usang itu, foto lama di mana dirinya masih bisa merasakan apa itu bahagia, di mana dirinya masih bisa tersenyum dengan tulus bahkan di hadapan kakaknya sekalipun. Tidak, Dara tidak menangis detik ini, hanya saja hatinya terasa agak perih menerima kenyataan yang memaksanya untuk melepas semua rasa bahagia itu. Ia menoleh ke samping, menatap tembok dengan cat kuning pucat, di mana di balik tembok tersebut adalah kamar Jev dan mungkin kini sang kakak sudah tertidur.

Dara untuk yang kesekian kalinya kembali menghela napas, ia meletakkan lembaran foto usang itu ke dalam dompetnya lagi, lalu kembali rebah di atas kasur. Dara masih sempat memikirkan sejenak soal kakaknya, dan ia muak. Ia lantas menyalakan handphonenya dan mengklik aplikasi musik, lalu mendengar sebuah lagu yang ia pikir mampu membuatnya lupa dengan kakaknya. Ia muak. Benar-benar muak. Dara langsung menarik selimut hingga ke kepalanya, menutup seluruh tubuhnya dan dibawa tenggelam oleh alunan musik halus yang saut-sautan.

Semua yang sirna kan kembali.

Semua yang sirna kan terganti.

Dan ku bertanya untuk apa?

Angan yang belum dijawab juga.

Amin paling serius.

Dara makin terbawa tenggelam oleh alunan suara berat pria yang bernyanyi dalam lagu tersebut. Mata Dara terpejam dalam bungkusan selimutnya, mencoba untuk tertidur dengan membiarkan musik terus bergema di kedua telinganya, ini bukan hal yang baik memang, dan Dara tau itu, namun ia masa bodo, terkadang justru ia berharap ia tuli agar tidak mampu mendengar kegaduhan apapun lagi di muka bumi ini.

Detik jam sang gerilyawan.

(Simpul jari yang erat. Doa semakin berat)

Berdentang mengingatkan.

(Rasakanlah, semua perasaanmu)

Ciri pikiran khas pagi buta menyerang aku.

(Malam ini)

Yang tegang.

(Milikmu sendiri)

Terus-terusan.

Perlahan, semakin suara itu terus saut-sautan, semakin jauh Dara tenggelam dalam lelap.

***

Jevandara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang